Sunday 18 December 2011

> Pesan Terpenting Bagi Manusia



Pesan Terpenting Bagi Manusia
Ustadz Abu Minhal

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ٨:٢٩

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. [al-Anfâl/8:29]

ALLAH SUBHANAHU WA TA'LA MEMANGGIL DENGAN PANGGILAN YANG BAIK DAN MENARIK
Di ayat ini, Allah Azza wa Jalla memberikan contoh terbaik dalam mentarbiyah manusia agar mau menerima ajaran-ajaran-Nya. Allah Azza wa Jalla memanggil para hamba-Nya dengan sebutan terbaik ' wahai orang-orang yang beriman '. Setelah itu, perintah atau larangan datang menyertainya. Panggilan ini mencakup seluruh umat Islam dengan berbagai strata keimanannya. Baik mereka yang sudah mencapai derajat keimanan yang tinggi, atau masih berada dalam level pertengahan, maupun mereka yang keimanannya masih dangkal, mudah terpengaruh dengan fitnah-fitnah yang menerjang. Orang yang baru memeluk Islam pun termasuk di dalamnya. Intinya, seluruh kaum mukminin dengan beragam tingkat keimanannya masuk dalam konteks ayat ini.

Penggunaan bentuk khithâb (arah pembicaraan) demikian ini mengandung dua manfaat sekaligus pada diri mukhâthab (kaum mukminin).
Pertama : Ajakan kepada mereka supaya memahami konsekuensi gelar iman tersebut hingga tergerak untuk menyempurnakan keimanan mereka dan melengkapi seluruh cabang-cabangnya, secara lahiriah maupun batiniah.
Kedua : Agar mereka ingat gelar sangat mulia itu dan pada gilirannya tertuntut untuk mensyukurinya dengan mematuhi perintah dan larangan-Nya.[1]

SANGAT PENTING, WASIAT UNTUK BERTAKWA KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA'LA
Perintah untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla senantiasa relevan dengan waktu dan tempat, kapanpun dan dimanapun. Mengingat, ragam fitnah yang mengancam hati seorang hamba, lingkungan yang tidak kondusif ataupun lantaran hati manusia yang rentan mengalami perubahan dan sebab-sebab lainnya yang berpotensi menimbulkan pengaruh negatif pada keimanan dan ketakwaan.

Urgensi berwasiat untuk takwa dapat disaksikan dari kenyataan bahwa Allah k menjadikannya wasiat bagi orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Allah k berfirman: (an-Nisâ/4:131)
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ

… dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang dibumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [an-Nisâ/4:131]

Ketakwaan juga merupakan wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Pada haji wada', Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ

Bertakwalah kepada Allah, kerjakan sholat lima waktu, berpuasalah di bulan (Ramadhan), tunaikan zakat harta kalian, taati para penguasa, niscaya kalian masuk syurga Allah. [HR. at-Tirmidzi. Lihat Shahîhul Jâmi' no. 109]

Beliau juga menyampaikan pesan penting ini kepada pasukan ekspedisi (sariyyah) sebelum mereka berangkat menyelesaikan misinya. Dan ini, selanjutnya membudaya pada generasi Salaf sejak dahulu.

'Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu pernah berpesan:
أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ - عَزّ وَجَلَّ – فَإِنَّهُ مَنْ اتَّقَاهُ وَقَاهُ , وَمَنْ أَقْرََضَهُ جَزَاهُ وَمَنْ شَكَرَهُ زَادَهُ

Amma ba'du, sesungguhnya aku berwasiat kepadamu untuk bertakwa kepada Allah Azza Wa Jalla. Sungguh orang yang bertakwa kepada-Nya, Allah akan melindunginya. Barang siapa menginfakkan hartanya, niscaya Allah akan memberinya balasan. Barang siapa mensyukuri-Nya, niscaya akan diberi tambahan

KEUTAMAAN TAKWA DALAM AYAT DI ATAS
Ketakwaan (at-taqwa, Arab) bermakna luas. Hal ini dapat diketahui dari definisi para ulama yang menerangkan bahwa ketakwaan ialah upaya seorang hamba membuat pelindung antara dirinya dengan sesuatu yang ia takuti. Dengan begitu, seorang hamba yang ingin bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, berarti ia ingin membangun pelindung antara dirinya dari Allah Azza wa Jalla Ta'ala yang ia takuti kemarahan dan kemurkaan-Nya, dengan melaksanakan amal ketaatan dan menjauhi larangan.

Berdasarkan keterangan Ibnul Jauzi rahimahullah [2], seseorang mesti menjaga hal-hal berikut hingga berhasil memperoleh ketakwaan:

Mata: Karena mata pemberi perintah kepada hati. Apa saja yang dilihat, akan ia kirim ke hati, baik yang diperbolehkan maupun terlarang. Dengan pelindung takwa, mata hanya mengirimkan obyek-obyek yang diperbolehkan saja kepada hati

Telinga: Penerima suara-suara yang juga berperan besar mengantarkannya ke hati. Kebatilan yang datang lebih banyak ketimbang kebenaran. Oleh sebab itu, kewajiban seorang hamba mengekang dari berbaur dengan kebatilan, dan menjauhkan diri dari orang-orangnya. Bila mendengar perkataan, hanya mengikuti yang terbaik, dan mencerna yang paling selamat, dan memelihara telinga dari lainnya atau melontarkannya jauh-jauh bila telah sampai ke telinga.

Lisan: Terdapat 20 lebih pelanggaran yang dapat dilakukan oleh lidah. Bila ia dibentengi dengan kejujuran, ketakwaan akan menjadi sempurna dan kedudukan tinggi pun teraih

Tangan: Alat untuk mengambil atau berbuat aniaya. Cara pemeliharaannya deng menahannya dari segala sesuatu kecuali yang dikehendaki Allah k

Kaki: Untuk melangkah kepada hal-hal yang halal atau tidak. Pemeliharaannya dengan menghalanginya dari hal-hal yang tidak boleh.

Hati: Ini bagaikan lautan yang luas. Selain berfungsi positif, hati juga dapat melakukan perkara-perkara negatif. Bila telah dibentengi, maka akan menanggalkan seluruh potensi buruknya, memenuhinya dengan niat yang murni dan melapangkannya untuk bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla.

Allah Azza wa Jalla telah memberitakan bahwa penghuni syurga adalah al-muttaqîn (insan-insan yang bertakwa kepada-Nya). Karenanya, sudah menjadi kewajiban seorang manusia (muslim) untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, guna menggapai pahala dari-Nya dan mengharap keselamatan dari siksa-Nya.

Ketakwaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla akan memunculkan banyak manfaat dan keutamaan. Secara khusus, dalam ayat di atas, Allah Azza wa Jalla mengetengahkan empat keutamaan besar dari buah ketakwaan seseorang kepada Allah Rabbul 'alamîn. Dikatakan Syaikh al-Jazâiri , bahwa ayat ini merupakan himbauan dan anjuran untuk bertakwa dengan cara mengetengahkan manfaat-manfaat besarnya [3]. Manfaat-manfaat tersebut, ialah:

Pertama: Memperoleh furqân. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا

(Jika kamu bertaqwa kepada Allah) niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân [Al Anfaal : 29]

Inilah manfaat pertama bila seseorang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Sebagian ulama memaknai kata furqân dengan pengertian makhraja, yaitu jalan keluar, sesuai dengan kandungan firman Allah k dalam surat ath-Thalâq/2 berikut ini :
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.

Sebagian lain, memaknainya dengan fathan (penaklukan kota musuh), nashran (kemenangan) atau najâtan (keselamatan).[4]

Sementara itu, Muhammad bin Ishâq rahimahullah mengatakan: "(niscaya Dia Azza wa Jalla akan memberikan kepadamu) kata pemutus (fashlan) antara kebenaran dan kebatilan". Penafsiran terakhir ini dinilai Imam Ibnu Katsîr rahimahullah lebih kompleks dari apa yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan bisa mengandung konsekuensi-konsekuensi pengertian yang ada pada pendapat-pendapat sebelumnya. Lantas, beliau menjabarkannya dengan berkata: "Barang siapa bertakwa kepada Allah k dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-larangan, akan mendapatkan taufik (kemudahan) untuk mengenali antara kebenaran dan kebatilan. Dan itu (pada gilirannya) merupakan faktor yang mendatangkan kemenangan, keselamatan dan solusi bagi masalahnya di dunia dan kebahagiaannya di hari Kiamat". [5]

Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah dalam tafsirnya juga merajihkan pendapat Ibnu Ishaq rahimahullah. Kata beliau, "Pendapat yang dikuatkan oleh ayat al-Qur`an dan bahasa Arab adalah pendapat Ibnu Ishaq rahimahullah. Sebab kata furqân merupakan bentuk washf (sifat, adjektif) yang berarti pembeda antara kebenaran dan kebatilan". Kemudian beliau membawakan beberapa ayat yang memuat makna sepadan dengan furqân yang ada dalam ayat di atas. Salah satunya, firman Allah Azza wa Jalla dalam surat al-Hadîd/57: 28 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kami.Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Cahaya yang dimaksud dalam surat al-Hadîd/28 di atas maknanya ilmu dan hidayah guna membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Hal ini akan semakin jelas bila juga diperhatikan firman Allah Azza wa Jalla berikut ini, yang membicarakan mengenai orang yang kafir kemudian memperoleh hidayah Allah Azza wa Jalla dan memeluk Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia,…. [al-An'âm/6:122]

Allah Azza wa Jalla menjadikan cahaya yang disebutkan dalam surat al-Hadîd bermakna furqân yang termaktub dalam surat al-Anfâl. Begitu juga, pengguguran kesalahan dan penghapusan dosa yang merupakan buah ketakwaan juga disebutkan pula di surat al-Hadîd.[7]

Jadi, pengertian furqân ialah alat pembeda antara kebenaran dan kebatilan maupun saat menghadapi perkara-perkara musytabih (yang hakikatnya masih kabur). Dengan 'piranti' ini, kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) – setelah dengan taufik dari Allah k - dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara yang berbahaya dan hal-hal yang bermanfaat, antara halal dan haram, serta orang-orang yang berbahagia dan orang-orang celaka di akhirat kelak.[8]

Termasuk dalam konteks ini, seseorang memperoleh ilmu dari Allah k yang tidak berhasil digapai orang lain. Dengan ketakwaan, seseorang mendapatkan tambahan hidayah, ilmu, pemahamahan dan hafalan.

Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada orang yang bertakwa. Dengan firasat shadiqah (benar), kendatipun hanya dengan melihat saja, seorang muslim mampu mengetahui si A berkata dusta, jujur, orang baik atau seorang yang berkepribadian jahat. Bahkan terkadang ia dapat menilai orang lain meski belum pernah berinteraksi dengannya sekalipun karena memperoleh kekuatan firasat dari Allah Azza wa Jalla.[9]

Kedua: Penghapusan segala kesalahan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ

dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan

Ini artinya seseorang yang bertakwa, Allah akan memudahkannya untuk beramal sholeh yang nantinya menjadi penghapus dan menggugurkan dosa-dosanya.[10]

Ketiga: Pengampunan dosa-dosa.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَيَغْفِرْ لَكُمْ
dan mengampuni (dosa-dosa)mu.

Allah Azza wa Jalla memudahkan untuk beristighfar dan taubat. Itu termasuk nikmat Allah kAzza wa Jalla yang tercurah pada seorang hamba yang bertakwa. [11]

Menurut pandangan Syaikh as-Sa'di rahimahullah terdapat sisi persamaan antara manfaat kedua (pengguguran dosa) dengan manfaat ketiga (mengampuni dosa), baik secara mutlak (saat disebutkan sendiri-sendiri) dan saat keduanya disebut secara bersamaan. Takfîrudz dzunûb bermakna menghapuskan dosa-dosa kecil. Sedangkan maghfiratudz dzunûb, demikian juga bermakna menghapuskan dosa. Namun dikhususkan pada dosa-dosa besar.[12]

Keempat: Pahala besar berupa Jannah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Dan Allah mempunyai karunia yang besar.

Penutup ayat di atas mengindikasikan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah k dan mengutamakan ridha-Nya di atas keinginan nafsu pribadi akan memperoleh pahala agung dan ganjaran besar di akhirat, yaitu Jannah.[13]

Diantara Pelajaran dari ayat di atas:
1. Keutamaan takwa yang sangat besar
2. Luasnya karunia Allah Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya yang beriman
3. Dengan furqân adalah cahaya di hati yang dipakai oleh orang bertakwa untuk membedakan antara perkara-perkara yang meragukan dimana kebenaran masih tampak kabur dan belum kentara.
Wallahu a'lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Qawâid al-Hisân kaidah no. 9 hal. 30-31
[2]. Ahkâmul Qur`ân (2/320-321) dengan diringkas
[3]. al-Aisar (1/439)
[4]. al-Jâmi Li Ahkâmil Qur`ân (7/347-348), Ahkâmul Qur`ân (3/321), Tafsîrul Qur`ânil 'Azhîm (4/43)
[5]. Lihat Tafsirul Qur`ânil 'Azhim (4/43), Jâmi'ul Bayân (9/264)
[6]. Adhwâul Bayân (2/313)
[7]. Adhwâul Bayân 2/313
[8]. Silahkan lihat at-Taisîr hal. 330, al-Aisar (1/440)
[9]. Kitâbul 'Ilmi hal. 58
[10]. Ibdi hal. 59
[11]. Ibid
[12]. at-Taisîr hal. 330
[13]. Lihat at-Taisiir dan al-Aisar (1/440)

Kategori: Kategori Al-Qur'an : Tafsir
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Senin, 10 Januari 2011 23:14:32 WIB

Dibuat oleh SalafiDB
http://salafidb.googlepages.com

> Ilmu Kalam dan Filsafat

[Klik Kanan, untuk Lihat Pembesaran]

Ilmu Kalam dan Filsafat

Perlukan Kita kepada Ilmu Kalam dan Filsafat Untuk Memahami Manhaj Ahlus Sunnah wal jama`ah?
Di antara bid`ah besar yang mempurukan kaum muslimin kembali ke alam jahiliyah yang amat kelam adalah bid`ah filsafat, ilmu kalam atau ilmu mantiq Yunani dalam memahami Islam. Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia.

Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Untuk mencapai Kebahagiaan menurut mereka hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan, baik dengan mengetahui kebenaran maupun melaksanakan kebaikan.

Filsafat yang merupakan manhaj orang-orang Yunani dalam berfikir dan merenung untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan telah menipu sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jahil. Padahal Islam sama sekali tidak membutuhkan ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami dan menerapkannya. Logika sehat ini telah menjadi aqidah yang sangat dalam di kalangan kaum muslimin di masa sohabat, tabi`in dan tabi`ut tabi`in. Mengapa Islam tak membutuhkan sama sekali ilmu filsafat, ilmu kalam atau mantiq? Jawabnya dapat kita renungkan dari poin-poin berikut ini:

1. Islam yang termaktub dalam Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw sama sekali tidak memerintahkan atau menganjurkan umatnya untuk memahami Islam melalui ilmu filsafat, ilmu kalam atau logika. Bahkan banyak sekali ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rosululloh saw yang membantah dan meluluhlantahkan logika-logika di luar wahyu yang telah menjadi manhaj umumnya manusia di saat itu (masa jahiliyah yang tersebar di seluruh bagian dunia seperti Persia, Romawi dan bangsa Arab).

Alloh Swt berfirman :
Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Alloh, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepada kalian dengan terperinci? orang-orang yang telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Rob kalian dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. Telah sempurnalah kalimat Rob kalian (yaitu Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil.

Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika kamu (Ya Rosululloh) menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka, dan mereka hanyalah berdusta (terhadap Alloh). Sesungguhnya Robmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.
(Qs. Al An`am [6]: 114-117)

Ibnu Katsir rhm (Wafat: 774 H) berkata tentang tafsir ayat ini :
“Firman Alloh Swt (Telah sempurnalah kalimat Rob kalian/ yaitu Al Qur`an sebagai kalimat yang benar dan adil) menurut Qotadah : benar tentang janji-janjiNya dan adil tentang hukumNya. Artinya : Jujur dalam berbagai beritaNya dan adil dalam berbagai perintah laranganNya. Setiap khobar yang disampaikanNya adalah kebenaran yang tidak mengandung keraguan atau kegamangan. Setiap perintah yang diberikanNya adalah keadilan yang tidak ada lagi tandingan selainNya. Setiap yang dilaranganNya adalah kebatilan, karena Dia tidak melarang sesuatu kecuali pasti mengandung mafsadah…”

Di bagian lain beliau menjelaskan :
“Alloh swt mengkhabarkan (dalam ayat ini) tentang kondisi mayoritas manusia penghuni bumi yang berada dalam kesesatan”.
(Tafsir Ibnu Katsir : 3/1351)

2. Kaum salafus solih (para ulama yang hidup di 3 kurun terbaik umat Islam) sama sekali tidak mengenal ilmu kalam apalagi untuk digunakan sebagai alat memahami kebenaran atau kebaikan hakiki.

Kita telah mengetahui dengan sangat jelas bahwa Rosululloh saw telah memuji para salafus solih dengan gelar masa terbaik, terbaik dalam agamanya, akhlaknya, dalam seluruh sifat-sifat kemuliaan. Rosululloh saw bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِى يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian manusia-manusia satu masa setelah itu, kemudian manusia-manusia satu masa lagi setelah itu…”
(Hr. Bukhori: 6429)

Bahkan Alloh Swt memerintahkan manusia untuk mengikuti salafus solih (terutama para sohabat Nabi saw) dengan baik dan mengukur semua kebenaran iman dan keberagamaan mereka dengan iman dan keberagamaan para sohabat beliau saw.

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh rido kepada mereka dan merekapun rido kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
(Qs. At Taubah [9]: 100)

Jika mereka beriman seperti apa-apa yang kalian (hai orang-orang yang beriman bersama Rosululloh saw) telah imani, sungguh mereka telah mendapat hidayah; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan. Alloh akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Qs. Al Baqoroh [2]: 137)

Alloh Swt juga telah menetapkan bahwa berpaling dari cara berpikir dan beramal para sohabat Rosululloh saw merupakan ciri kaum munafiqin.

Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana orang-orang itu (yaitu para sohabat Nabi saw) beriman." mereka menjawab: "Kami harus beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?" Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.
(Qs. Al Baqoroh [2]: 13)

Akan tetapi sepanjang sejarah kehidupan mereka, kita tidak pernah dapati mereka mengetahui ilmu kalam atau menggunakannya dalam keilmuan dan keberagamaan mereka. Mereka sudah sangat cukup cerdas dan mulya dengan apa yang mereka dapatkan dalam Al Qur`an dan Sunnah Rosululloh saw. Mari kita simak beberapa perkataan mereka yang mulia, di antaranya :

Abu Dzar rda berkata :
“Sesungguhnya Nabi saw telah meninggalkan kita.. tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan sayapnya di atas langit, kecuali beliau saw sebutkan ilmu tentangnya”.
(Hr. Imam Ahmad dalam Musnadnya: 5/153)

Waktu seseorang bertanya kepada Salman Al Farisi rda :
“Apakah nabi kalian mengajarkan segala sesuatu sampai masalah beristinja?”
Beliau rda menjawab :
“Ya betul”.
(Hr. Muslim: 262)

Az Zuhri rhm berkata :
مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ اَلرِّسَالَةُ وَعَلَى الرَّسُوْلِ اَلْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا اَلتَّسْلِيْمُ

“Dari Alloh adalah risalah, kewajiban Rosululloh saw adalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah taslim (menerima total dan utuh)”.
(Hr. Bukhori: 46)

Ilmu kalam dilahirkan oleh logika dan mantiq orang-orang musyrik yang sama sekali tidak beriman kepada Alloh Swt. Ilmu kalam, filsafat atau mantiq merupakan aturan logika yang dilahirkan oleh para filosof Yunani (plato, aristoteles dengan teori filsafatnya masing-masing). Mereka adalah masyarakat paganisme (musyrikin) yang tidak sama sekali mengenal ajaran para nabi dan rosul.

Pantaskah logika kaum musyrikin kafir dijadikan manhaj atau metode berpikir dan menerapkan Islam yang benar?

Syihristani rhm berkata :
“awal syubhat yang terjadi pada makhluk adalah syubhat Iblis (semoga Alloh melaknatnya). Sumber Iblis adalah keterlaluanyya dalam ro`yu (pandangan-pandangan logika) untuk menentang nash dan upayanya lebih memilih hawa untuk menentang perintah Alloh serta kesombongannya dengan bahan mentah asal pencptaanya, yaitu api dibandingkan bahan mentah asal penciptaan Adam, yaitu tanah”. (Al Milal wa An Nihal: 1/16)

Bencana filsafat, ilmu kalam atau logika yunani ini sebenarnya dibawa ke dalam tubuh umat Islam telah dimulai sejak masa Dinasti Umayyah (40-132 H/661-750 M) tepatnya pada masa pemerintahan Khalid Bin Yazid Bin Muawiyah (wafat thn 85 H/704 M) sebagaimana dipertegas oleh Ibn An Nadim dan Al Jahizh. (lihat: al fihrist karya Ibn An nadim, Hal: 242 dan rasa’il jahiz karya al jahiz, Hal: 93). Akan tetapi titik terparah pengaruh Yunani ini terjadi pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada masa al Ma’mun dimana pada tahun 830 H membangun Bayt al Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemah, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya museum Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M.

Era Penerjemahan pada masa Dinasti Abbasiyah berlangsung selama satu abad yang telah dimulai sejak 750 M. Karena kebanyakan penerjemah adalah orang yang berbahasa Aramik, maka berbagai karya Yunani pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Aramik (Suriah) sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Salah satu penerjemah pertama dari bahasa Yunani adalah Abu Yahya ibn al Bathriq yang dikenal karena menerjemahkan karya-karya Galen dan Hippocrates untuk al Mansur, dan karya Ptolemius untuk khalifah lainnya. Penerjemah awal lainnya adalah seorang Suriah Kristen, Yuhanna (Yahya) ibn Masawayh, murid Jibril in Bakhtisyu, dan guru Hunayn ibn Ishaq yang diriwayatkan telah menerjemahkan beberapa manuskrip untuk al Rasyid, terutama manuskrip tentang kedokteran yang dibawa khalifah dari Ankara dan Amorium.

Hunayn ibn Ishaq disebut-sebut sebagai “ketua para penerjemah”, seorang sarjana terbesar dan figur terhormat pada masanya. Hunayn adalah penganut sekte ibadi, yaitu pemeluk Kristen Nestor dari Hirah. Dalam faktanya, Hunayn memang telah menerjemahkan naskah berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suriah, dan rekan-rekannya melakukan langkah berikutnya, yaitu menerjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hermeneutica karya Ariestoteles, misalnya, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Suriah oleh ayahnya, untuk selanjutnya diterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Arab.

Seperti halnya Hunayn yang mengambil posisi terdepan dalam kelompok penerjemah dari penganut Kristen Nestor, Tsabit ibn Qurrah juga berada pada barisan pertama kelompok penerjemah lainnya yang direkrut dari orang Saba, penyembah berhala dari Harran. Prestasi besar Tsabit dilanjutkan oleh anaknya Sinan serta dua cucunya Tsabit dan Ibrahim, kemudian anak cucunya Abu al Faraj. Seluruh orang-orang tersebut dikenal sebagai penerjemah dan ilmuan.

Dari sini tampak jelas di hadapan kita bahwa orang-orang yang andil dalam dunia filsafat pada mulanya adalah kaum nasrani yang kafir serta kaum zindiq. Tak ada satu ulama pun di kalangan para tabi`in, maupun tabi`ut tabi`in apalagi di kalangan para sohabat yang menyebut-nyebutnya apalagi menggunakannya dalam memahami dan melaksanakan Islam. Bahkan banyak sekali riwayat yang menyatakan bahwa para ulama di saat itu sangat menentang penggunaan filsafat, ilmu kalam atau mantiq dalam memahami Islam.

5. Perlu diingat dengan sangat tegas bahwa saat seorang muslim lari dari jalan Al Qur`an, as Sunnah dan pemahaman salafus solih ternyata yang lahir setelah itu adalah kumpulan kegelisahan, kegamangan dan kebingungan. Kebingungan orang-orang berotak cerdas. Al Juwainy adalah salah satu contohnya. Anda mungkin tahu bahwa cendekiwan satu ini sangat dikagumi kecerdasannya, sehingga di zamannya ia diberi predikat Imam al Haramain
(imam dua negri suci, Mekkah dan Madinah).

Jiwanya gelisah dalam perdebatan-perdebatan filsafat itu. Meskipun ia dapat dikatakan telah sampai pada puncak kepakaran dalam banyak disiplin ilmu. Tapi tetap saja gelisah. Kegelisahan yang akhirnya melahirkan penyesalan mendalam. Di penghujung hayatnya, ia pernah berucap dengan tegas pada murid-muridnya : “Wahai sahabat-sahabatku, jangan sekali-kali kalian menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, andai saja dahulu aku mengetahui bahwa ilmu ini hanya akan membawaku pada keadaan sekarang ini, sungguh aku tak akan mempelajarinya.”

Sang cendekiawan ini kemudian meninggal dengan dada yang disesaki oleh penyesalan. Salah satu ucapannya yang sempat tercatat saat itu adalah “Sungguh aku telah tenggelam dalam laut yang mengombang-ambingkan, kutinggalkan ilmu-ilmu kaum muslimin yang sesungguhnya, lalu aku masuk mempelajari apa yang telah mereka larang. Dan sekarang, duhai, jika saja Allah tidak menolongku dengan rahmatNya, maka kebinasaanlah untuk putra Al Juwainy ini. Inilah aku, aku mati dengan meyakini agama orang-orang badui.”

Al Ghazaly –semoga Allah mengampuni kita dan beliau- adalah contoh lain dalam masalah ini. Siapa gerangan yang tak mengenal sang hujjatul Islam ini. Perjalanan panjang dan kesungguhannya yang kuat mengantarkan ia menjadi seorang ulama yang dikenal sangat cerdas (meskipun cerdas saja tak cukup). Tapi siapa yang mengira bahwa dengan karya sepopuler Ihya’ ‘Ulumuddin ternyata ia juga terjebak dalam kegelisahan dan kebingungan. Hal itu kemudian mendorongnya menulis sebuah buku yang mengingatkan orang untuk tidak mengikuti jejaknya mempelajari ilmu Kalam. Buku itu berjudul Iljaam Al ‘Awaam ‘an ‘ilmil Kalam.

Ibnu Rusyd al-Hafiid (Muhamad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Andalusi. Wafat tahun 595 H). Dia telah mendalami dan menyibukan dirinya dengan ilmu kalam sampai dia menjadi orang yang paling piawai dalam manhaj filsafat dan pandangan-pandangan para tokohnya. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak bahkan mendebat serta membantah manhaj ini setelah jelas kesalahan dan kerusakannya. Di antara kitab terbaiknya dalam hal itu adalah (Al-Kasyf ‘an Manahijil Adillah fii ‘Aqoidil Millah). Dia kembali meniti manhaj al-qur’an dan banyak mengkritisi madrasah-madrasah ilmu kalam. Dan dia mengatakan di dalam kitabnya (tahafutut tahafut): Apakah masih dianggap orang yang hanya pandai berbicara tentang ilahiyah?

Begitu juga Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Ar-Rozy, dia bersyair dalam kitabnya (Aqsamulladzat):
Akhir langkah logika adalah kekacauan.
dan penghujung usaha dunia adalah kesesatan.
Ruh-ruh yang berada di jasad selalu galau…
Hasil dunia hanyalah kepedihan dan bencana.
Kami tidak mendapatkan faidah dari pembahasan sepanjang usia, kecuali kumpulan katanya begini dan begitu.
Berapa banyak kami melihat seorang rijal dan sebuah negri, maka tampaklah semuanya lenyap dan sirna.
Berapa banyak gunung yang menjulang kemuliaannya, saat seorang rijal telah sirna tetapi gunung tetaplah gunung

Kemudian dia berkata: Aku telah memperhatikan manhaj kalam dan filsafat, maka kulihat hal itu tidak dapat menyembuhkan penyakit dan tidak dapat menghilangkan dahaga. Kemudian akupun melihat bahwa jalan yang paling benar adalah jalan al-Qur’an. Di dalam itsbat (penetapan sifat Alloh) aku membaca firmanNya:

Alloh yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy
(Thoha:5)

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik
(Fatir:10)

Dan di dalam nafyi (peniadaan sifat bagi Alloh) akupun membaca firmanNya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia
(Assyuro:11)

Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.
(Thoha:110)

Kemudian dia berkata: barangsiapa yang bereksperimen seperti eksperimenku, niscaya dia akan tahu seperti yang aku ketahui sekarang (kebingungan dan penyesalan).

Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Karim As-Sihrisytani yang wafat tahun 548 H, pun telah berkata: Tidak ada seorangpun yang mendalami falsafat dan ilmu kalam kecuali datang kebingungan dan penyesalan, kemudian dia bersyair:

Aku telah mengelilingi berbagai universitas sepanjang umurku,
Akupun telah menempuh berbagai lembaga-lembaga ilmiyah, tapi aku tidak pernah melihat kecuali orang yang meletakan tangannya di bawah dagu karena bingung kemudian menyesal.

Dan dikatakan pula bahwa Imam Zamakhsyari yang wafat tahun 537 H, pada akhir hayatnya bertaubat dari pemahaman mu’tazilah. Dari sebagian syairnya yang indah tentang masalah ini adalah:

Wahai Dzat yang melihat sayap nyamuk pada gelam malam. Dan melihat urat yang menempel pada lehernya juga sum-sum yang ada pada tulang lebah. Anugrahkanlah padaku ampunan yang akan menghapuskan dosa-dosaku pada zaman dahulu.

Semua ulama salafus solih sangat mencela ilmu kalam dan banyak sekali mengingatkan besarnya bahaya akibat mempelajari dan menyebarnya ilmu kalam. Marilah kita simak beberapa perkataan mereka:

Abu Hanifah rhm pernah ditanya : “apa pendapat anda tentang hal-hal baru yang diperbincangkan orang tentang `ard dan jism?” Beliau rhm menjawab : “Semua itu adalah makalah-makalah filsafat. Berpegang teguhlah anda dengan atsar dan metode salaf. Waspadalah setiap konsep baru, karena semua itu adalah bid`ah”.
(Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah: 8 serta Sounul Mantiq: 32).
Abdurrohman bin Mahdi rhm bercerita : Aku pernah menemui Malik di mana saat itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepadanya tentang Al Qur`an. Beliau rhm berkata : “Anda pengikut `Amr bin `Ubaid? Alloh melaknat `Amr, karena membuat-buat bid`ah ilmu kalam. Seandainya ilmu kalam itu ilmu, niscaya seluruh sohabat Nabi saw tabi`in menggunakannya dalam ilmu-ilmu hokum dan syari`at-syari`at mereka. Sesungguhnya ilmu kalam itu batil yang menunjukan kebatilan”.
(Dzammul Kalam : 294)

Abu Yusuf (Ya`qub bin Ibrohim al Qodhi. Wafat : 183 H) berkata :
“Barangsiapa mencari agama dengan ilmu kalam, pasti dia zindiq. Barangsiapa yang mencari makna-makna gorib hadits, pasti dia berdusta. Barangsiapa yang mencari harta dengan kimia (sulap), pasti dia bangkrut”.
(Dzammul Kalam: 326)

Sehingga Al Imam Syafi'i mengatakan : 'Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.'
(Hr. al-Harowi dalam kitab Dzammul Kalam: 356)

Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : “Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan
keimanan)."
(Talbis Iblis: 83)

Imam al Barbahari (Muhammad Al Hasan bin Ali bin Kholf. Wafat : 329 H) rhm berkata :
“Ketahuilah… Tidak ada kezindiqan, kekufuran, keragu-raguan, kebid`ahan, kesesatan dan kebingungan dalam agama kecuali disebabkan ilmu kalam, ahli kalam, perdebatan dan peseteruan”.
(Syarh as Sunnah : 38)

Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Memahami Islam
1. Sumber agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh dalam bentuk Al Qur`an dan Hadits yang shohih.
Islam diturunkan dan diajarkan oleh Alloh Swt kepada Rosululloh saw, baik dalam lafadz-lafadzNya, cara memahaminya maupun cara menerapkannya. Untuk itu, sumber yang benar dalam agama Islam dengan segala isinya adalah wahyu Alloh sendiri, yaitu Al Qur`an dan hadits-hadits yang shohih. Dalil-dalil prinsip ini adalah firman Alloh Swt :

48. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan pembatas kebenaran terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Alloh turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Alloh menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Alloh hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Alloh-lah kembali kalian semua, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan itu,
(Qs. Al Maidah [5]:48)

Imam Asy Syafi`i rhm berkata :
" ولا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله ، أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم ، وما سواهما تبع لهما "

“Satu pendapat bagaimanapun tidak akan menjadi keniscayaan kecuali dengan Kitabulloh atau sunnah RosulNya. Selain kedua sumber tersebut hanya mengikuti keduanya.”
(Jima` al `Ilm: 11)

2. Ijma` Sohabat adalah hujjah syar`iyyah.
Walaupun satuan sohabat Nabi saw tidaklah ma`sum, akan tetapi ketika mereka bersatu pendapat dalam satu faham atau cara penerapan tertentu dalam agama ini maka kedudukannya adalah ma`sum dan sebagai hujjah syar`iyyah.

Alloh swt berfirman :
Barangsiapa yang berselisih jalan dengan Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
(Qs. An Nisa [4]:115)

Imam asy Syafi`I rh memberikan kesimpulan tentang ayat ini sangat jelas:
“Alloh menggabungkan ancaman kepada orang yang berselisih jalan dengan Rosul saw bersama orang yang menyelisihi jalan (kesepakatan) orang-orang yang beriman. Seandainya mengikuti selain (kesepakatan) jalan orang-orang yang beriman itu boleh, niscaya Alloh tidak menggabungkan keharamnya dengan menentang Rosul. Mengikuti selain jalan (kesepakatan) mereka berarti menyelisihib pendapat-pendapat dan amal-amal mereka”. (Anwar at Tanzil, Baidowi : 1/243)

Rosululloh saw bersabda :
“Alloh tidak menyatukan umat ini dalam kesesatan selama-lamanya”.
(Hr. Al Hakim dalam Mustadroknya: 1/115)

3. Menolak semua bentuk bid`ah, baik bid`ah dalam aqidah, manhaj maupun amal.
Ahlus Sunnah wal Jama`ah berkeyakinan bahwa bid`ah dengan segala bentuknya dalam agama adalah kesesatan yang nyata. Bid`ah adalah semua aqidah atau peribadatan yang mengatasnamakan Islam tetapi tidak disyari`atkan atau diajarkan oleh Islam. Secara umum dan global bid`ah sangat berbahaya, lebih berbahaya daripada maksiat meninggalkan perintah atau melanggar larangan, karena pembuatnya telah menempatkan dirinya sebagai pemegang hak membuat hokum. Walaupun, dari segi satuan-satuannya keberbahayaan bid`ah bertingkat-tingkat.

Alloh swt berfirman :
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menyimpangkan kalian dari jalanNya (yang lurus). yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kalian bertakwa.
(Qs. Al An`am [6] : 153)

4. Semua hadits shohih diterima sebagai dalil dan dasar untuk semua masalah termasuk masalah aqidah, baik hadits itu berderajat mutawatir atau ahad.
Semua ulama salafus solih telah menjadikan hadits Nabi saw yang shohih berasal dari beliau sebagai sumber ilmu dan hokum. Mereka sama sekali tidak membeda-bedakan antara riwayat hadits yang dibawa oleh banyak orang yang berderajat mutawatir atau orang perorang yang tidak mencapai derajat mutawatir.

Alloh Swt berfirman :
apa yang diberikan Rosul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumanNya.
(Qs. Al Hasyr : 7)

Ibnu Hazm rhm berkata :
“Abu Sulaiman, Husein bin Ali al Karobisi , Harits bin Asad al Muhasibi dan ulama lainnya berkata : sesungguhnya khobar satu orang yang adil dari orang yang semisalnya sampai kepada Rosululloh saw meniscayakan keilmuan dan keharusan mengamalkannya. Inilah pendapat yang kami pegang”.

Ahmad Syakir rhm berkata :
“Kebenaran yang didukung oleh dalil-dalil yang shohih adalah pendapat Ibnu Hazm dan para ulama yang sependapat dengan beliau bahwa hadits yang shohih menyampaikan kepada ilmu qot`I, baik yang ada pada salah satu kitab bukhori muslim atau kitab hadits lainnya. Ilmu keyakinan ini adalah ilmu teoritis ilmiyah yang hanya bisa dicapai oleh seorang alim yang luas dalam ilmu hadits serta mengetahui kondisi para perawi dan cacat-cacatnya”.
(al Bais al Hasis:39)

5. Wahyu dari Alloh Swt tidak ada yang bertentangan dengan akal yang bersih.
Wahyu Alloh swt adalah kalamNya Yang maha berilmu dan Maha luas ilmuNya, Yang Maha adil lagi Maha bijaksana. Wahyu ini ditujukan untuk manusia-manusia yang berakal dan akallah tempat tugas-tugas keagamaan dariNya diberikan. Jadi tak mungkin wahyu bertentangan dengan akal yang bersih dan sehat. Kalau seakan-akan terjadi secara dzohir ada pertentangan di antara kedunya, maka kemungkinan yang paling meyakinkan adalah akal yang kurang bersih atau kurang tepat dalam memahaminya.

Dan Kami mengutus rosul-rosul hanya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.
(QS. Al Kahfi [18]:56)

6. Beriman kepada semua khabar-khabar goib yang datang dari Alloh melalui Al Qur`an dan As Sunnah dan tidak mempercayai khabar gaib apapun dari selain keduanya.
Sesuatu yang goib adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Hanya Alloh Swt Yang Maha luas ilmuNya yang mengetahui yang goib dan tak ada satu makhlukpun yang mengetahuinya kecuali yang diberitahu atau diajarkan oleh Alloh Swt sendiri, seperti para Nabi dan rosul. Siapapun yang mengaku mengetahui yang goib atau menganalisa dan melahirkan teori-teori tentang yang goib, maka orang itu pendusta dan telah melakukan kesyirikan yang amat besar.

Alloh Swt berfirman:
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Alloh ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepada kalian bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kalian tidak memikirkan(nya)?"
(Qs. Al An`am [6]:50)

Dan pada sisi Alloh-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"
(Qs. Al An`am [6] : 59

Sumber:
nurulilmi.com

> Ilmu Tasawuf



Ilmu Tasawuf

Pendapat KH Siradjuddin Abbas, dalam buku beliau “40 Masalah Agama” Jilid 3, hal 30.

Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu Tauhid (Usuluddin), ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf.

Ilmu Tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai keTuhanan, keRasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya .

Ilmu Fiqih bertugas membahas soal-soal ibadat lahir, seperti sholat, puasa, zakat, naik haji dan lain

Ilmu Tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain.

Ringkasnya: tauhid ta’luk kepada i’tiqad, fiqih ta’luk kepada ibadat, dan tasawuf ta’kluk kepada akhlak

Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (usuluddin), supaya beribadat sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.

Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan

Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut:
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata,

“Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”
Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.”

Kemudian dia bertanya lagi,
“Kini beritahu aku tentang iman.”
Rasulullah Saw menjawab,
“Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.”

Orang itu lantas berkata,
“Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.”
Rasulullah berkata,
“Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.

Dia bertanya lagi,
“Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).”
Rasulullah menjawab,
“Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”
Kemudian dia bertanya lagi,
“Beritahu aku tentang tanda-tandanya.”
Rasulullah menjawab,
“Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.”
Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.

Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar,
“Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.”
Rasulullah Saw lantas berkata,
“Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.”
(HR. Muslim)

Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syari’at lahir, umpanya, sholat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan, perdamaian dll.

Tentang Iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (usuluddin), sasarannya i’tiqad (akidah/ kepercayaan), umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap Tuhan, Malaikat-Malaikat, Rasul-Rasul, Kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari bangkit, surga, neraka, qada dan qadar (takdir).

Tentang Ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasauf, sasarannya akhlak, budi pekerti, bathin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan, bagaimana Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang dengan Tasawuf.

Setiap Muslim harus mengetahui 3 (tiga) unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari.

Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan atau dalam jama’ah/ manhaj/ metode/ jalan.

Waspadalah jika jama’ah/ manhaj/ metode/ jalan yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu karena itu memungkinkan ketidak sempurnaan hasil yang akan dicapai.

Ilmu Tasawuf itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan bahkan Qur’an dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya.

Andaikata ada kelihatan orang-orang Tasawuf yang menyalahi syari’at, umpamanya ia tidak sholat, tidak sholat jum’at ke mesjid atau sholat tidak berpakaian, makan siang hari pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang Tasawuf dan jangan kita dengarkan ocehannya.

Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”

Pendapat syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzili, ” Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits“.

Jadi syarat untuk mendalami ilmu Tasawuf (tentang Ihsan) terlebih dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid/ usuluddin (tentang Iman).

Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketaqwaan kita.

Mulai sebagai muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan.

Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu Tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.

Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.

Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.

Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.

Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.

Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu (kesuciannya)

Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu (kesetiaannya)

Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu (kefanaannya).

Huruf ya’ adalah huruf nisbat.

Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.

Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Firman Allah ta’ala yang artinya:
”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…”
(QS An-Nuur:21)

Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
---

Catatan tentang Tasawuf dari link lain.

Sumber:
ummatiummati.wordpress.com/2010/03/08/kisah-taubatnya-salafy-tobat

Dalam Thareqat bukan hanya diajarkan wirid saja. Tapi diajar banyak sekali ilmu-ilmu utk mendekatkan diri kepada Allah.

Karena ilmu dan dzikir adalah dua perkara yang tak boleh dipisahkan, keduanya sama2 untuk mendekatkan diri kpd Allah.

Tharekat adalah untuk mengangkat ilmu2 islam (aqidah, fiqh, muamalat, mu’asyarat, ahlaq) dari teori kedalam amal perbuatan yang dilakukan secara istiqamah, ikhlas dan ikut sunnah nabi sehingga menjadi sifat hakikat dalam dirinya….

Harus pake ijazah/izin dari guru dalam thareqat ini…..untuk membimbing kita dan agar tidak tersesat…

Ini juga disebut bai’ah sufiyah (kita berbaiat kepad mursyid untuk memegang teguh ajaran islam yg diajarkan kepadanya).

ini sangat penting dlm belajar thareqat, selain utk menjaga sanad thareqat (jika sanad ilmu terputus berarti ia tidak sambung lagi)…..juga sunnah.

ingat Nabi memberikan macam2 ba’iah. dalam kitab asyari’ah wa thareqah syaikul hadits maulana zakariya alkhandahlawi rah berkata: Bai’ah thareqat bukanlah bai’ah untuk jihad tapi bai’ah untuk mengamalkan ajaran islam dengan sempurna.

Dengan ikut thareqat bukan berarti kita berhenti menuntut ilmu, justru dgn ikut thareqat kita tingkatkan belajar kita. Karena klo kita ikut thareqat hati akan menjadi bersih shg ilmu akan begitu mudah masuk kedalam hati.

ingat nasihat imam maliki dan imam syafei:

1. Nasihat Imam Syafei:

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
sayang bait dari diwan ini telah dihilangkan oleh wahabi dalam kitab diwan safei yg dicetak oleh percetakan wahabi…..

2. Nashihat Imam Malik ra:

و من تصوف و لم يتفقه فقد تزندق
من تفقه و لم يتصوف فقد تفسق
و من جمع بينهما فقد تخقق

“dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia . hanya dia siapa memadukan keduannya terjamin benar .
---

Definisi Tasawuf
oleh: Ust Wahfiudin

Pandangan paling monumental tentang Tasawuf muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa Tasawuf atau Sufi muncul dari akar-akar historis, bahasa, intelektual dan filsafat di luar Islam.

Dalam buku Ar-Risalatul Qusyairiyah ia menegaskan bahwa kesalahpahaman banyak orang terhadap tasawuf semata-mata karena ketidaktahuan mereka terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah firman Allah swt:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 7-8)

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia mendzikirkan nama Tuhannya lalu dia shalat.”
(QS. Al-A’laa: 14-15)

“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa”
(QS. Al-A’raf: 205)

“Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”
(QS. Al-Baqarah: 282)

Sabda Nabi saw:
“Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”.
(HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)

Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:

Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”

Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan dirimu bersama dengan-Nya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’ dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
“Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”

Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”

Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem, bunyi.”

Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”

Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”

Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”

Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendaki-Nya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra dan memilih.”

Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.

Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”

Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”

Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”

Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya dan peduli orang lain ketika ada.”

Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”

Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, ‘Dan Aku telah memilihmu untuk Diri-Ku’ (Thoha: 41) dan memisahkanmu dari yang lain. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, ‘Engkau tak akan bisa melihat-Ku’.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”

Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”

Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”

Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”

Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”

Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, ‘siapakah, yang menurutmu Sufi itu?’ Lalu ia menjawab, ‘Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit’. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”

Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”

Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”

Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.”

Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, ‘Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang’.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”

Abu Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”

Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.

Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.

Sumber:
mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/ilmu-tasawuf

> Segeralah Bertaubat Kepada Allah


Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
SEGERALAH BERTAUBAT KEPADA ALLAH!

عَنِ اْلأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَآايُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.

Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,”Hai sekalian manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali”[1]

MAKNA TAUBAT
Asal makna taubat ialah:

الرُّجُوْعُ مِنَ الذَّنْبِ.

(kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan). Berasal dari kata:

تَابَ إِلَى اللهِ يَتُوْبُ تَوْباً وَتَوْبَةً وَمَتَاباً بِمَعْنَى أَنَابَ وَرَجَعَ عَنِ المَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ.

(orang yang bertaubat kepada Allah ialah, orang yang kembali dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat).

التَّوْبَةُ :َاْلإِعْتِرَافُ وَالنَّدَمُ وَاْلإِقْلاَعُ وَالْعَزْمُ عَلَى أَلاَّ يُعَاوِدَ اْلإِنْسَانُ مَا اقْتَرَفَهُ.

(seseorang dikatakan bertaubat, kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu).[2]

SYARAH HADITS
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata,”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.”[3]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk bertaubat, dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus segera dilaksanakan sebelum ajal tiba. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
": …Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.
[An Nur : 31].

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas) …
[At Tahrim : 8].

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.
[QS Hud : 3].

Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”[4]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.”[5]

Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain.

Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah.

Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Setiap hari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu majlisnya.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ، رَبِّ اغْفِرْلِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ تَوَّابُ الرَّحِيْمُ.

"Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,”Kami pernah menghitung di satu majelis Rasulullah n bahwa seratus kali beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan aku bertaubat kepadaMu, sesungguhnya Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang’.”[6]

Jika seorang muslim dan muslimah pernah berbuat dosa-dosa besar atau dosa yang paling besar, maka segeralah bertaubat. Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat.
Dalam sebuah hadits dari Abu Musa ‘Abdullah bin Qais Al Asy’ari Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat" [7]

Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukkan, bahwasanya Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi ampunan di setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia selalu mendengar suara istighfar dan mengetahui taubat hambaNya, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika manusia mengabaikan perkara taubat ini dan lengah dalam menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang mahsyar.

Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan, padahal di hadapannya ada air bersih, namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga datanglah maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.

Dan apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyadzubillah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu, maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”.
[Al An’am:158]

Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
"Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih".
[An Nisa` : 18].

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

"Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan".[8]

SYARAT-SYARAT TAUBAT
Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai berikut:
1. ِالإِقْلاَعُ(al iqla’u), orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia pernah lakukan.
2. النَّدَمُ (an nadamu), dia harus menyesali perbuatan dosanya itu.
3. اَلْعَزْمُ (al ‘azmu), dia harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
4. Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.[9]

Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang dinamakan Shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذَهِ الآيَةَ (وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسَتَغَفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ.

"Jika seorang hamba berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun kepada Allah (dari dosa tersebut), niscaya Allah akan ampunkan dosanya".

Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat ini: "Dan orang-orang yang apabila mengejakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui".
[Ali ‘Imran : 135].”[10]

TINGKATAN MANUSIA YANG BERTAUBAT KEPADA ALLAH[11]
Tingkatan Pertama:
Yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya hingga akhir hayatnya. Ia tidak berkeinginan untuk mengulangi lagi dosanya dan ia berusaha membereskan semua urusannya yang ia pernah keliru (salah). Tetapi ada sedikit dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa kecil ini, namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sabiqun bil khairat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

… وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ …

"Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah .."
[Fathir : 32)]

Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Nafsu yang demikian dinamakan nafsu muthmainnah.

Tingkatan Kedua:
Yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua perkara ketaatan dan menjauhkan semua dosa-dosa besar, tetapi ia terkena musibah, yaitu sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja. Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya sendiri dan menyesali perbuatannya. Orang-orang ini akan mendapakan janji kebaikan dari Allah Subhanahu w Ta'ala. Allah Azza wa Jalla berfirman :

"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunanNya…"
[An Najm : 32].

Dan nafsu yang demikian dinamakan nafsu lawwamah.

وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
"an aku bersumpah dengan nafsu lawwamah (jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri)".
[Al Qiyamah : 2].

Tingkatan Ketiga:
Orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia mengerjakan lagi sebagian dari dosa-dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allah. Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat dan berkeinginan agar Allah mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allah firmankan:

"Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
[At Taubah : 102].

Nafsu inilah yang disebut nafsu masulah

Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya dan mengakhirkannya. Bahkan ada kemungkinan, sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat Maut telah diperintah Allah k untuk mencabut ruhnya, sedangkan amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.

Tingkatan Keempat:
Yaitu orang yang bertaubat, tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi melakukan dosa-dosa dan maksiat, tidak peduli terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, serta tidak ada rasa menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa. Bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Nafsu yang demikian ini dinamakan nafsul ammarah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
[Yusuf : 53].

Tingkatan keempat ini sangat berbahaya, dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).

JANJI ALLAH KEPADA ORANG YANG BERTAUBAT DAN ISTIQAMAH DALAM TAUBATNYA
1. Taubat menghapuskan dosa-dosa, seolah-olah ia tidak berdosa.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ.

"Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa".[12]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allah akan ganti kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
[Al Furqan : 70].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَيَتَمَنَّيَنَّ أَقْوَامٌ لَوْ أَكْثَرُوْا مِنَ السَّيْئَاتِ الَّذِيْنَ بَدَّلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ.

"Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Allah Azza wa Jalla mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan".[13]

2. Allah berjanji menerima taubat mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang"
[At Taubah: 104]

Juga firmanNya:

"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap (istiqamah) di jalan yang benar".
[Thaha : 82].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ.

"Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya".[14]

3. Orang yang istiqamah dalam taubatnya adalah sebaik-baik manusia.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

"Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat" [15].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا، لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُوْنَ، ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

"Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[16]

TERAPI MUJARAB AGAR BISA ISTIQAMAH DALAM TAUBAT DAN TIDAK TERUS-MENERUS BERBUAT DOSA DAN MAKSIAT
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit-penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada doktor, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan kembali kepada agama yang benar.

Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan. Dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat tampak di dunia. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:

1. Mengingat ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah juz ‘Amma beserta artinya, dan sebaiknya hafalkanlah.
2. Bacalah hikayat para nabi ‘alaihimush shalatu was salam bersama ummatnya dan para salafush shalih, dan musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya disebabkan dosa yang mereka lakukan.
3. Ingatlah, bahwa setiap dosa dan maksiat berakibat buruk di dunia maupun akhirat.
4. Ingat dan perhatikanlah satu per satu ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi n yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
5. Bacalah istighfar dan sayyidul istighfar setiap hari.
Sayyidul istighfar, do’a memohon ampun kepada Allah

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

"Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan (apa) yang telah kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu (yang diberikan) kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau".[17]

Do’a memohon ampunan dan rahmat Allah

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

"Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tin-dakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
[Ali ‘Imran : 147].

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi".
[Al A’raf : 23].

FIQHUL HADITS
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits dalam pembahasan ini ialah:
1. Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan.
2. Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua sifat yang tercela.
3. Bertaubat wajib dengan segera, tidak boleh ditunda.
4. Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah (perbaikan).
5. Pintu taubat masih tetap terbuka siang dan malam.
6. Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat, apabila ruh sudah berada di tenggorokan, dan apabila matahari telah terbit dari barat (hari Kiamat).
7. Nabi Muhammad n setiap hari beristighfar dan bertaubat.
8. Allah Subhanahu wa Ta'ala cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allah Azza wa Jalla berfirman.

"... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri"
[Al Baqarah : 222].

Wallahu a’lamu bish shawab.

Maraji:
1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
2. Shahih Bukhari dan syarahnya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
3. Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
4. Sunan Abu Daud.
5. Jami’ At Tirmidzi.
6. Sunan An Nasa-i.
7. Sunan Ibnu Majah.
8. Musnad Ahmad.
9. Al Mu’jamul Kabir, oleh Ath Thabrani.
10. Riyadhush Shalihin, oleh Imam An Nawawi.
11. Mukhtashar Minhajul Qashidin, oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan.
12. Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim, Cet. Darul Hadits, Kairo.
13. Shahih Jami’ush Shaghir, oleh Imam Al Albani.
14. Silsilah Ahadits Ash Shahihah, oleh Imam Al Albani.
15. Shahih Al Wabilish Shayyib Minal Kalimith Thayyib, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
16. Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2702 (42), Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi (XVII/24-25). Diriwayatkan juga oleh Ahmad (IV/211), Abu Dawud (no. 1515), Al Baghawi (no. 1288) dan Ath Thabrani dan Al Mu’jamul Kabir (no. 883).
[2]. Lihat Fat-hul Bari (XI/103), Al Mu’jamul Wasith, Bab Taa-ba (I/90).
[3]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 322, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan.
[4]. Madarijus Salikin (I/297), Cet. Darul Hadits, Kairo.
[5]. Syarah Shahih Muslim (XVII/59).
[6]. HR At Tirmidzi )no. 3434), Abu Dawud (no. 1516), Ibnu Majah (no. 3814). Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
[7]. HR Muslim (no. 2759).
[8]. Hadits shahih riwayat At Tirmidzi (no. 3537), Al Hakim (IV/257), Ibnu Majah (no. 4253). Lafazh hadits ini menurut Imam At Tirmidzi.
[9]. Lihat Riyadhush Shalihin, Bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahih Al Wabilush Shayyib (hlm. 272-273).
[10]. Hadits hasan riwayat At Tirmidzi (no. 406), Ahmad (I/10), Abu Dawud (no. 1521), Ibnu Majah (no. 1395), Abu Dawud Ath Thayalisi (no. 1 dan 2) dan Abu Ya’la (no. 12 dan 15). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/438), Cet. Darus Salam.
[11]. Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin (hlm. 335-336), oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12]. HR Ibnu Majah (no. 4250), dari Ibnu Mas’ud z . Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 3008).
[13]. Hadits hasan riwayat Al Hakim (IV/252), dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 5359), dari sahabat Abu Hurairah.
[14]. Hadits shahih riwayat Muslim (no. 2703), dari sahabat Abu Hurairah.
[15]. Hadits hasan riwayat Ahmad (III/198), At Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251) dan Al Hakim (IV/244). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 4515), dari sahabat Anas.
[16]. Hadits shahih riwayat Al Hakim (IV/246), dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 967-970).
[17]. HR Al Bukhari (no. 6306, 6323), Ahmad (IV /122-125) dan An Nasa-i (VIII/279-280).
Kategori: Kategori Do'a, Dzikir, Taubat
Sumber: http://www.almanhaj.or.id
Tanggal: Rabu, 17 Februari 2010 02:01:13 WIB

Dibuat oleh SalafiDB
http://salafidb.googlepages.com