Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah
diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah
disampaikan dan dijelaskan Rasulullah kepada kita. Tidak ada sedikitpun
yang tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan
RasulNya, serta mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada
keduanya. Dan kita harus berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah
dan Sunnah RasulNya, meskipun hal itu datang dari seorang imam
mujtahid.
Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan
hukumnya dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang
ditetapkan dengan ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang
tidak qath’i dalam tsubut atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam
masalah tersebut, serta para ulama berbeda-beda pendapatnya.
Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya
mudah. Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh
menyelisihinya, baik dia seorang ulama atau seorang awam.
Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda
pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus
berijtihad untuk mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid
kepada ijtihad orang lain? Untuk boleh memahami persoalan ini, berikut
ini kami angkat penjelasan mengenai ijtihad dan taklid, sehingga seorang
muslim boleh menempatkan dirinya berkaitan dengan permasalahan hukum
yang dihadapinya. Apakah seseorang harus berijtihad ataukah bertaklid
kepada suatu pendapat tertentu? Makalah ini ditulis berdasarkan kitab
Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,
dan Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzabiyyah, Muhammad Syakir
Asy Syarif. Semoga bermafaat.
IJTIHAD
Pengertian Ijtihad, menurut makna leksikal berarti mencurahkan semua
kemampuan untuk menghasilkan perkara yang besar. Adapun menurut istilah,
ijtihad ialah, mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahui hukum
syar’i. Adapun seorang yang mencurahkan semua kemampuannya untuk
mengetahui hukum syar’i, disebut mujtahid.
Dengan demikian, seorang yang mengambil sebuah kitab, melihat
kandungannya, dan menghukumi dengan hukum yang sesuai dengan kitab
tersebut, maka dia tidak boleh dikatakan sebagai mujtahid, karena dia
hanya mengikuti penulis kitab. Adapun orang yang meruju‘ kepada
kitab-kitab dan mengkajinya bersama ulama untuk merumuskan hukum dalam
suatu masalah sehingga berhasil menyimpulkan suatu hukum tertentu, maka
orang ini dinamakan mujtahid, karena telah mencurahkan semua kemampuan
untuk mengetahuinya.
Syarat-Syarat Berijtihad
1. Mengetahui Dalil-Dalil Syar’i Yang Diperlukan Dalam Berijtihad.
Apabila seorang berijtihad dalam masalah ahkam (hukum-hukum), maka dia
harus mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum. Sedangkan ayat-ayat
dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah aqidah, tidak harus
diketahui karena hal itu tidak berkait dengan ijtihadnya.
2. Mengetahui Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Keshahihan Hadits Dan Kelemahannya.
Bila seseorang tidak mengetahui hal-hal yang berkait dengan keshahihan
hadits dan kelemahannya, maka ia bukan seorang mujtahid. Sebab, boleh
jadi, dia menetapkan hukum berdasarkan hadits dha’if dengan menolak
hadits yang shahih. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus memiliki
ilmu hadits dan rijalnya.
3. Mengetahui Nasikh Dan Mansukh Dan Perkara - Perkara Yang Sudah Disepakati Ulama.
Seorang mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh. Karena, jika tidak
mengetahuinya, maka terkadang dia menghukumi berdasarkan ayat atau
hadits yang telah dimansukh. Padahal sudah dimaklumi, hadits yang telah
dimansukh tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum, karena kandungan
hukumnya telah dihapus.
Demikian juga masalah-masalah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan
ulama, seorang mujtahid, harus mengetahuinya agar tidak menghukumi
dengan sesuatu yang menyalahi ijma’. Oleh karena itu, sebagian ulama
muhaqqiq, apabila mereka menyatakan suatu pendapat dan belum mengetahui
keberadaan pendapat yang menyelisihinya, mereka menggantungkan penetapan
hukumnya dengan “bila tidak ada ijma”. Seperti halnya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, yang masuk kategori ulama yang paling luas penguasaannya
tentang khilaf, kadang-kadang dia mengatakan “pendapat ini benar, jika
ada ulama yang mengatakannya”. Artinya, jika tidak ada orang yang
mengatakannya, maka perkataan tersebut tertolak karena menyelisihi
ijma’.
4. Mengetahui Substansi Dalil-Dalil, Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Hukum.
Seorang mujtahid harus mengetahui substansi yang tersimpan dalam
dalil-dalil, yang mengakibatkan munculnya hukum yang berbeda-beda,
misalnya seperti takhshish (pengkhususan), taqyid (pembatasan), dan
lain-lain. Sebab, kalau ia buta tentang itu, maka mungkin menghukumi
dengan keumuman kandungan dalil, padahal ada dalil lain yang
mengkhususkannya atau terpaku pada kemutlakan dalil, sementara terdapat
dalil lain yang mentaqyidkannya.
Sebagai contoh, seseorang membaca hadits “Di dalam tanaman yang diairi
dengan air hujan zakatnya sepersepuluh”.[Shahih diriwayatkan oleh
Bukhari no. 1412]
Di dalam hadits ini terdapat dua (2) keumuman. Yaitu keumuman dalam
ukurannya, dan keumuman dalam jenisnya. Ukurannya, mencakup ukuran
sedikit dan banyak. Dan jenisnya, mencakup setiap jenis yang diairi oleh
air hujan. Lalu dia memegangi hadits ini dan berkata “Zakat wajib
dikeluarkan dari hasil tanaman yang keluar dari bumi dari jenis apa
saja, dan dengan ukuran berapa saja”. Ini adalah keliru, karena dia
harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang berupa
takhshish yang terdapat dalam dalil lain. Yang benar, dua keumuman
tersebut ditakhshish oleh sabda Nabi “Tidak ada (kewajiban) shadaqah
(zakat) dalam panenan yang kurang dari lima wasaq”. (Shahih diriwayatkan
oleh Bukhari no. 1541 dan Muslim no. 1541) Dengan demikian, maka tidak
wajib zakat kecuali jika hasil panenan bisa diukur dengan wasaq (nama
takaran) dari jenis makanan, dan ukurannya sudah mencapai lima wasaq.
5. Mengetahui Dalalah Lafazh-Lafazh (Karakter Petunjuk Kata) Dalam Bahasa Arab Dan Ushul Fiqih.
Seorang mujtahid harus mengetahui dalalah lafazh-lafazh, seperti ‘amm,
khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan dan lain-lainnya. Dengan
demikian, dia boleh menghukumi sesuai dengan dalalah-dalalah tersebut.
Seseorang, apabila tidak mengetahui apa yang dinamakan ‘amm – misalnya-
maka ia tidak tahu bahwa lafazh ini berarti umum atau khusus, sehingga
tidak mungkin boleh beristimbat hukum secara benar. Karena boleh jadi,
lafazh yang tidak umum dianggap umum, dan dia tidak mengetahuinya.
Seperti itu juga pada dalalah lafazhlafazh lainnya.
6. Memiliki Kemampuan Untuk Beristimbat Hukum Melalui Dalil-Dalilnya.
Pada hakikatnya, syarat ini adalah sebagai output (buah) dari
syarat-syarat sebelumnya. Terkadang seseorang memiliki syarat-syarat di
atas, tetapi tidak bisa beristimbat dan justru bertaklid kepada orang
lain. Dia berpendapat dengan pendapat yang dikatakan oleh orang lain.
Maka seorang mujtahid, harus memiliki kemampuan untuk beristimbat
(menarik kesimpulan) hukum dari dalil-dalilnya.
BOLEHKAH BERIJTIHAD DALAM SATU BAB ATAU SATU MASALAH SAJA?
Ijtihad itu terklasifikasi. Maksudnya, seseorang dapat melakukan ijtihad
dalam sub pembahasan tertentu dalam suatu bab atau dalam masalah
tertentu dari masalah-masalah ilmu, tetapi dia tidak dikatakan mujtahid
pada selain bab atau masalah tersebut.
Contohnya, seseorang ingin meneliti masalah mengusap dua (2) sepatu, lalu
dia merujuk perkataan-perkataan ulama dan dalil-dalil, sehingga sampai
boleh menguatkan pendapat yang rajih dan membantah pendapat yang lemah.
Maka orang itu bisa dikatakan mujtahid, tapi dalam bab ini saja, bukan
dalam bab lainnya.
APA YANG HARUS DILAKUKAN MUJTAHID?
Seorang muqallid tidak perlu bersusah payah. Cukup baginya bertanya
kepada seseorang atau mengambil sebuah kitab, lalu dia menghukumi dengan
hukum yang ada di dalamnya. Tetapi seorang mujtahid harus mencurahkan
semua kemampuannya untuk mengetahui kebenaran. Apabila dia telah
mencurahkan semua kemampuannya dan merujuk dalil-dalil dan
perkataanperkatan ulama, lalu kebenaran nampak jelas baginya, maka wajib
baginya untuk menghukumi dengan hukum maka dia mendapatkan satu pahala.
[Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 6919 dan Muslim no. 1716]
Hadits ini secara tegas menjelaskan, jika seorang mujtahid salah dalam
ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, karena telah optimal dan
bersungguhsungguh untuk mengetahui kebenaran, akan tetapi belum
mandapatkan taufik sampai kepada kebenaran, maka dia mendapatkan pahala
bersusah payah.
Sedangkan pahala dalam menepati kebenaran, maka dia tidak
mendapatkannya, lantaran hasil ijtihadnya belum bersesuaian dengan
kebenaran. Adapun apabila dia berijtihad dan hasil ijtihadnya benar,
maka dia mendapatkan dua pahala. Pahala yang pertama, karena bersusah
payah dalam ijtihad dan mencari dalil. Sedangkan pahala kedua, karena
mencocoki kebenaran, yang berarti menampakkan kebenaran.
Apabila seorang mujtahid telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan
perkataan-perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya,
maka dia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi
dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan
bertaklid karena terpaksa (darurat). Allah berfirman, artinya : Maka
tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada
mengetahui. [Al Anbiya‘ : 7].
TAKLID
Pengertian Para ulama hampir sepakat dalam mendefisikan taklid. Yaitu,
menerima perkataan orang lain tanpa hujah. Berdasarkan pengertian ini,
orang yang mengambil perkataan orang tanpa dasar hujjah, maka dia
muqallid. Sedangkan orang yang mengambil perkataan orang lain dengan
dasar hujjah, maka bukan muqallid.
Kemudian hujjah itu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Bagi
seorang mujtahid atau orang yang belum sampai tingkatan ijtihad, tetapi
dia bisa memahami dalil dan mentarjih dengan cara yang benar, maka
hujjah baginya adalah dalil khusus; dan dia tidak boleh menerima
perkataan orang, kecuali dengan dalil khusus yang membenarkannya. Adapun
bagi orang yang awam tidak bisa memahami makna-makna nash (dalil), maka
hujjah baginya adalah dalil umum, yaitu kembali kepada ahlul ilmi yang
menguasai Al Kitab dan Sunnah.
Hanya saja, ada sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan
pengertian lain. Yaitu, menerima perkataan orang dan kamu tidak
mengetahui dari mana orang itu mengatakannya (mengambilnya). Jadi, orang
yang mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil khusus yang
membenarkannya, disebut muqallid, meskipun dia mengambilnya berdasarkan
hujjah dalil umum.
Kalau yang dimaksudkan oleh pengertian yang kedua itu adalah taklid yang
tercela, maka pengertian ini tidak benar, sebab tanpa mengetahui dalil
khusus yang menunjukkan perkataan tersebut tidaklah tercela. Tetapi jika
yang dimaksudkan taklid itu ada dua macam, yaitu tersebut. Jika dia
benar dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia
salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu (1) pahala, dan
kesalahannya diampuni. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, artinya : Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad dan
benar, maka dia mendapatkan dua (2) pahala, dan apabila dia menghukumi lalu
berijtihad dan salah, taklid yang tercela sebagaimana pada pengertian
yang pertama, dan tidak tercela sebagaimana pada pengertian yang kedua,
maka pengertian tersebut dapat diterima.
Disamping itu, sebagian ulama yang mendefinisikan taklid dengan
pengertian pertama, menamakan taklid pada macam yang kedua. Padahal
sebaiknya, jenis taklid ini diberi nama tersendiri yang membezakannya
dengan taklid yang tercela, sehingga tidak terjadi campur-aduk dalam
penggunaan istilah.
Ada juga ulama yang tetap mencela taklid secara umum, dan memberikan nama pada jenis yang kedua dengan nama yang berbeda.
Abu Abdullah bin Khuwaiz Mandad Al Bashri Al Maliki dalam menjelaskan
hal itu mengatakan : “Setiap yang kamu ikuti perkataanya tanpa wajib
bagimu untuk mengikutinya, karena adanya suatu dalil, maka berarti kamu
bertaklid kepadanya. Taklid dalam agama Allah tidak benar. Dan setiap
orang yang dalil mewajibkanmu untuk menerima perkataanya, maka berarti
kamu berittiba’ kepadanya. Ittiba` di dalam agama itu benar, dan taklid
dilarang.
Dalam hal ini Asy Syaukani mengatakan: “…Persoalannya tidak seperti yang
mereka sebutkan, karena di sana masih ada perantara lain di antara
ijtihad dan taklid, yaitu bertanyanya orang yang jahil kepada orang
‘alim (berilmu) tentang masalah agama yang dihadapinya, bukan dari
semata-mata pendapatnya dan ijtihadnya”.
Sedangkan Ibnu Hazm menamakan bertanyanya orang jahil kepada orang ‘alim
dengan nama ijtihad. Dia mengatakan: “Dan ijtihadnya orang awam,
(yaitu) apabila dia bertanya kepada orang ‘alim tentang urusanurusan
agamanya”.
BILA SESEORANG BERTAKLID?
Taklid bisa dilakukan oleh seseorang karena adanya salah satu di antara dua keadaan.
Pertama. Orang awam yang tidak boleh mengetahui hukum dengan dirinya
sendiri. Maka dia wajib bertaklid dengan bertanya kepada ulama. Karena
Allah berfirman, artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang
yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al Anbiya‘:7]
Orang awam seperti ini dianjurkan untuk memilih orang yang lebih utama
keilmuannya dan kewara’annya. Kalau menurutnya ada dua (2) orang yang sama
dalam keilmuan dan kewara’annya, maka dia boleh memilih di antara
keduanya.
Sebagai contoh, ada seorang awam mendengarkan seorang alim mengatakan
“perhiasan itu wajib dizakati”. Kemudian ia juga mendengar ada seorang
alim lainnya mengatakan “perhiasan itu tidak ada zakatnya”. Di sini, dia
dihadapkan kepada dua pendapat. Maka dia boleh memilih salah satunya,
tetapi hendaknya bertaklid kepada yang lebih dekat kepada kebenaran
karena keilmuan dan kewara`annya.
Kedua. Seorang mujtahid yang menghadapi persoalan yang harus segera
dijawab, tetapi ia tidak memiliki kelonggaran waktu untuk berijtihad. Ia
juga tidak mungkin merujuk kitab-kitab, dalil-dalil ataupun menelaah
perkataan-perkataan ulama, maka dia boleh bertaklid.
Syaikh Utsaimin mencontohkan, apabila beliau tidak mampu mengetahui
hukum suatu masalah dan hal itu melelahkannya. Maka biasanya beliau
bertaklid kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut Syaikh Utsaimin,
perkataan Syaikhul Islam lebih dekat kepada kebenaran dari pada ulama
lain. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti tidak boleh bertaklid kepada
yang lain, karena pendapat yang rajih ialah, apabila ada dua orang
‘alim, salah satunya lebih utama dari pada yang lain, maka tidak mesti
wajib bertaklid kepada yang lebih utama, tapi boleh juga bertaklid
kepada yang tingkatannya di bawahnya.
MACAM-MACAM TAKLID
1. Taklid Umum.
Yaitu berpegang kepada madzhab tertentu, mengambil rukhshah-rukhshah dan
azimahazimahnya dalam semua perkara-perkara agamanya. Sebagai contoh,
seseorang bermadzhab Hambali. Dia berpegang kepada madzhab ini dan
mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya. Azimah ialah,
masalah-masalah yang wajib atau haram. Dan rukhshah ialah, masalah
selain itu.
Misalnya, dia mengatakan “Saya seorang Hambali (pengikut madzhab
Hambali), dan saya akan mengikuti madzhab Hambali di dalam semua hal”.
Seperti itu juga yang dilakukan oleh orang bermadzhab Hanafi, Syafi’i,
Maliki, atau lainnya. Itulah yang dinamakan dengan taklid umum. Yaitu
seseorang bertaklid kepada madzhab, mengambil rukhshah-rukhshah dan
azimah-azimahnya, serta tidak melihat kepada madzhab-madzhab lain atau
kepada perkataan Nabi.
Tentang taklid ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara para ulama
ada yang mewajibkannya, karena pintu ijtihad telah ditutup untuk
mutaakhirin. Ini adalah pendapat yang sangat batil, karena mengharuskan
makna-makna Kitab dan Sunnah telah terkunci rapat. Padahal Al Qur‘an dan
Sunnah merupakan petunjuk dan penjelasan bagi manusia sejak terutusnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai datangnya hari Kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: Sungguh aku
tinggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian berpegang teguh
dengannya, maka kalian tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab Allah
[Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1218]
Dan di antara mereka ada yang mengharamkannya, karena berpegang teguh
secara mutlak dalam mengikuti (ittiba) kepada selain Rasulullah.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah: “Sesungguhnya pada pendapat
yang mengatakan wajib, terdapat ketaatan kepada selain Nabi dalam setiap
perintah dan larangan. Hal itu menyelisihi ‘ijma. Dan diperbolehkannya
terdapat hal yang sama”.
2. Taklid Khusus.
Yaitu mengambil perkataan tertentu dalam persoalan tertentu. Syaikh
Utsaimin menjelaskan perihal taklid khusus ini dengan mencontohkan
tentang dirinya. Beliau bertaklid kepada Imam Ahmad dalam masalah yang
dalilnya tidak jelas baginya. Umpamanya ada suatu permasalahan dan
waktunya sempit, sehingga beliau tidak mungkin meneliti masalah tersebut
dengan dalil-dalilnya, kemudian beliau memutuskan untuk bertaklid
kepada Imam Ahmad dalam masalah ini secara khusus.
Taklid khusus ini diperbolehkan, apabila seseorang tidak mampu
mengetahui kebenaran dengan berijtihad, baik karena benar-benar tidak
mampu, atau mampu tetapi sangat berat melakukannya.
PENUTUP
Dari pemaparan uraian ini, kita bisa mengetahui, bahwa itjihad merupakan
perkara yang memiliki konsekwensi. Tidak sembarang orang bisa melakukan
ijtihad, karena untuk bisa berijtihad, seseorang harus memiliki dan
menguasi seperangkat ilmu pendukungnya. Begitu pula bagi seorang alim
yang memiliki kemampuan, namun manakala telah berijtihad dan mengkaji
dalil-dalil dan perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas
baginya, maka ia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan
menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia
diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Terlebih lagi dengan
diri kita sebagai orang awam, atau orang yang baru mempelajari masalah
din, tentu tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad.
Dalam masalah taklid, terbagi menjadi dua macam, yang terpuji dan
tercela. Taklid yang terpuji ialah, mengambil perkataan orang lain
dengan hujjah. Taklid terpuji juga mempunyai nama lain, yaitu: ittiba’,
su‘alul ‘alim (bertanya kepada ulama), dan ijtihad orang awam. Adapun
taklid yang tercela ialah, mengambil perkataan orang lain tanpa hujjah.
Tentu di dalam berijtihad ataupun bertaklid, seseorang harus
menimbangnya berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi n dan Ijma’.
Maraji‘ :
- Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit Al Mktabah At Taufiqiyah, Al Qahirah – Mesir.
- Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzhabiyyah , Muhammad Syakir Asy Syarif, cet. I th 1408 H
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo]
Sumber: Al Manhaj