Thursday, 23 February 2012

> 11-30 AL HIKAM




11: TIADA KESEMPURNAAN TANPA IKHLAS

TANAMKAN WUJUD KAMU DALAM BUMI YANG TERSEMBUNYI KARENA  YANG TUMBUH DARI SESUATU YANG TIDAK DITANAM ITU TIDAK SEMPURNA HASILNYA.

Hikmat yang lalu mengarahkan pandangan kita kepada ikhlas. Ikhlas menjadi kekuatan yang menujuu syirik Jalan syirik adalah kepentingan diri sendiri. Oleh itu diri sendiri mesti diperhatikan bagi mengelakkan berlakunya syirik. Bila kepentingan diri sendiri boleh ditundukkan barulah muncul keikhlasan.

"Dan juga pada diri kamu sendiri. Maka mengapa kamu tidak mau melihat serta memikirkan (dalil-dalil dan bukti itu)?" ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat )

Hikmat 11 mengajak kita menyelami persoalan yang lebih halus yaitu hakikat diri kita sendiri atau kewujudan kita. Kita dijadikan daripada tanah, maka kembalikan ia (jasad) kepada tanah, yaitu ia (jasad) harus dilayani sebagai tanah supaya ia tidak mengenakan tipu dayanya. Apabila kita sudah dapat menyekat pengaruh jasad maka kita hadapi pula roh kita. Roh datangnya daripada Allah s.w.t, karena roh adalah urusan Allah s.w.t, maka kembalikan ia kepada Allah s.w.t. Apabila seseorang hamba itu sudah tidak terikat lagi dengan jasad dan roh maka jadilah dia bekas yang sesuai untuk diisi dengan Allah s.w.t.

Pada awal perjalanan, seseorang pengembara kerohanian membawa bersama-samanya sifat-sifat basyariah serta kesadaran terhadap dirinya dan alam nyata. Dia dikawal oleh kehendak, pemikiran, cita-cita, angan-angan dan lain-lain. Anasir-anasir alam separti galian, tumbuh-tumbuhan dan hewan turut mempengaruhinya. Latihan kerohanian menghancurkan sifat-sifat yang keji dan memutuskan rantaian pengaruh anasir-anasir alam.

Jika diperhatikan Kalam-kalam Hikmat yang lalu dapat dilihat bahwa hijab nafsu dan akal yang membungkus hati sehingga kebenaran tidak kelihatan. Akal yang ditutupi oleh kegelapan nafsu, yaitu akal yang tidak menerima pancaran nur, tunduk kepada perintah nafsu. Nafsu tidak pernah kenyang dan akal senantiasa ada jawaban dan alasan. Hujah akal menjadi benteng yang kukuh buat nafsu bersembunyi. Jangan memandang enteng kepada kekuatan nafsu dalam menguasai akal dan pancaindera. Al-Quran telah memberi peringatan mengenainya:

Nampakkah (wahai Muhammad) keburukan keadaan orang yang menjadikan hawa nafsunya: tuhan yang dipuja lagi ditaati? Maka dapatkah engkau menjadi pengawas yang menjaganya jangan sesat? Atau adakah engkau menyangka bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memahami (apa yang engkau sampaikan kepada mereka)? Mereka hanyalah separti binatang ternak, bahkan (bawaan) mereka lebih sesat lagi. ( Ayat 43 & 44 : Surah al-Furqaan )

Dan kalau Kami kehendaki niscaya Kami tinggikan pangkatnya dengan (sebab mengamalkan) ayat-ayat itu. Tetapi ia bermati-mati cenderung kepada dunia dan menurut hawa nafsunya; maka bandingannya adalah separti anjing, jika engkau menujuunya: ia menghulurkan  lidahnya termengah-mengah, dan jika engkau membiarkannya: ia juga menghulurkan lidahnya termengah-mengah. Demikianlah bandingan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlan kisah-kisah itu supaya mereka mau berfikir. ( Ayat 176 : Surah al-A’raaf )

Manusia yang menerima ayat-ayat Allah s.w.t yang seharusnya menjadi mulia telah bertukar menjadi hina karena mereka memperturutkan hawa nafsu. Ayat-ayat Allah s.w.t yang diketahuinya memancarkan cahaya pada hati dan akalnya tetapi kegelapan nafsu membungkus cahaya itu. Di dalam kegelapan nafsu, akal mengadakan hujah bagi mendustakan ayat-ayat Allah s.w.t yang dia sendiri mengetahuinya. Allah s.w.t mengadakan perbandingan yang hina bagi orang yang separti ini. Mereka adalah umpama anjing yang tidak boleh berfikir dan tidak bermaruah. Buruk sekali pandangan Allah s.w.t terhadap orang yang mempertuhankan nafsunya. Nafsu yang tidak mau kenyang adalah umpama anjing yang senantiasa menjulurkan lidahnya, tidak memperdulikan walaupun dihalau berkali-kali.

Allah s.w.t mewahyukan ayat-ayat yang menceritakan tentang kehinaan manusia yang menerima ayat-ayat-Nya tetapi masih juga memperturutkan hawa nafsu, supaya cerita yang demikian boleh memberi kesadaran kepada mereka. Jika mereka kembali sadar, mereka akan keluar daripada kegelapan nafsu. Berpandukan ayat-ayat Allah s.w.t yang sudah mereka ketahui mereka akan temui jalan yang benar.

Ayat-ayat yang diturunkan Allah s.w.t memberi pengartian kepada Rasulullah s.a.w bahwa cendikiawan Arab yang menentang baginda s.a.w berbuat demikian bukan karena tidak dapat melihat kebenaran yang baginda s.a.w bawa, tetapi mereka dikuasai oleh hawa nafsu. Cahaya kebenaran yang menyala dilubuk hati ditutupi oleh kegelapan nafsu. Orang yang telah menerima cahaya kebenaran tetapi mendustakannya itulah yang diberi perumpamaan yang hina oleh Allah s.w.t.

Menurut cerita daripada Ibnu Abbas, pada zaman Nabi Musa a.s ada seorang alim bernama Bal’am bin Ba’ura. Allah s.w.t telah mengurniakan kepada Bal’am rahasia khasiat-khasiat nama-nama Allah Yang Maha Besar. Nabi Musa a.s dan kaum Bani Israil, setelah selamat daripada Firaun, sampai hampir dengan negeri tempat tinggal Bal’am. Raja negeri tersebut ketakutan, takut kalau-kalau negerinya diserang oleh kaum yang telah berjaya menewaskan Firaun. Setelah bermesyuarat dengan penasehat-penasehatnya Raja tersebut memutuskan untuk meminta pertolongan Bal’am agar Bal’am menggunakan ilmunya untuk mengalahkan Nabi Musa a.s. Bal’am yang pada mulainya enggan berbuat demikian tetapi akhirnya bersetuju juga setelah isteri kecintaannya menerima sogokan daripada Raja. Bal’am dengan kekuatan ilmunya dan kemujaraban doanya telah mengenakan sekatan kepada Nabi Musa a.s. Menurut cerita, doa dan perbuatan Bal’am dikabulkan Allah s.w.t dan ia menjadi sebab kaum Nabi Musa terperangkap di Padang Teh beberapa tahun lamanya. Apabila Nabi Musa a.s mendoakan agar kaumnya dilepaskan daripada sekatan tersebut, Allah s.w.t memakbulkan doa tersebut dan pada masa yang sama laknat turun kepada Bal’am.

Sebahagian orang menganggap cerita di atas sebagai cerita Israiliat. Rasulullah s.a.w menentukan dasar bahwa cerita ahlul kitab tidak dibenarkan dan tidak didustakan. Cerita tersebut dibawa sekadar menunjukkan sejauh mana kekuatan nafsu menutup pandangan hati sehingga Bal’am sanggup menentang Nabi Musa a.s walaupun dia mengetahui kebenarannya, sebagaimana cendikiawan Arab menentang Rasulullah s.a.w sekalipun hati kecil mereka menerima kebenaran baginda s.a.w.

Menundukkan nafsu bukanlah pekerjaan yang mudah. Seseorang itu perlu kembali kepada hatinya, bukan akalnya. Hati tidak akan berbohong dengan diri sendiri sekalipun akal menutupi kebenaran atas perintah nafsu. Kekuatan hati adalah ikhlas. Maksud ikhlas yang sebenarnya adalah:

Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan yang memelihara dan menkehendakkan  sekalian alam”. ( Ayat 162 : Surah al-An’aam )

Dalam ikhlas tidak ada kepentingan diri. Semuanya karena Allah s.w.t. Selagi kepentingan diri tidak ditanam dalam bumi selagi itu ikhlas tidak tumbuh dengan baik. Ia menjadi sempurna apabila wujud diri itu sendiri ditanamkan. Bumi tempat menanamnya adalah bumi yang tersembunyi, jauh daripada perhatian manusia lain. Ia adalah umpama kubur yang tidak bertanda.

12: UZLAH ADALAH PINTU TAFAKUR

TIADA SESUATU YANG SANGAT BERGUNA BAGI HATI SEBAGAIMANA UZLAH UNTUK MASUK KE MEDAN TAFAKUR.

Kalam-kalam Hikmat pertama hingga ke sebelas telah memberi gambaran tentang keperibadian tauhid yang halus-halus. Seseorang yang mencintai Allah s.w.t dan mau berada di sisi-Nya sangat ingin untuk mencapai keperibadian yang demikian. Dalam membentuk keperibadian itu dia gemar mengikuti landasan syariat, kuat beribadat dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan dosa. Dia sering bangun pada malam hari untuk melakukan sembahyang tahajud dan selalu pula melakukan puasa sunat. Dia menjaga tingkah-laku dan akhlak dengan mencontohi apa yang ditunjukkan oleh Nabi s.a.w. 


Hasil daripada kesungguhannya itu terbentuklah padanya keperibadian seorang muslim yang baik. Walaupun demikian dia masih tidak mencapai kepuasan dan kedamaian. Dia masih tidak mengarti tentang Allah s.w.t. Banyak persoalan yang timbul di dalam kepalanya yang tidak mampu diuraikannya. Dia telah bertanya kepada mereka yang alim, tetapi dia tidak mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Jika ada pun jawaban yang baik disampaikan kepadanya dia tidak dapat menghayati apa yang telah diterangkan itu. Dia mengkaji kitab-kitab tasawuf  yang besar-besar. Ulama tasawuf  telah memberikan penjelasan yang mampu diterima oleh akalnya namun, dia masih merasakan kekosongan di satu sudut di dalam dirinya. Bolehlah dikatakan yang dia sampai kepada perbatasan akalnya.

Hikmat 12 ini memberi petunjuk kepada orang yang gagal mencari jawaban dengan kekuatan akalnya. Jalan yang disarankan ialah uzlah atau mengasingkan diri dari orang banyak. Jika dalam suasana biasa akal tidak mampu memecahkan kubu kebuntuan, dalam suasana uzlah hati mampu membantu akal secara tafakur, merenungi perkara-perkara yang tidak boleh difikirkan oleh akal biasa. Uzlah yang disarankan oleh Hikmat 12 ini bukanlah uzlah sebagai satu cara hidup yang berterusan tetapi ia adalah satu bentuk latihan kerohanian bagi memantapkan rohani agar akalnya dapat menerima pancaran Nur Kalbu karena tanpa sinaran Nur Kalbu tidak mungkin akal dapat memahami hal-hal ketuhanan yang halus-halus, dan tidak akan diperolehi iman dan  tauhid yang hakiki.

Hati adalah bangsa rohani atau nurani yaitu hati berkemampuan mengeluarkan nur jika ia berada di dalam keadaan suci bersih. nur yang dikeluarkan oleh hati yang suci bersih itu akan menerangi otak yang bertempat di kepala yang menjadi kendaraan akal. Akal yang diterangi oleh nur akan dapat mengimani perkara-perkara ghaib yang tidak dapat diterima oleh hukum logik. Beriman kepada perkara ghaib menjadi jalan untuk mencapai tauhid yang hakiki.

Nabi Muhammad s.a.w sebelum diutus sebagai Rasul pernah juga mengalami kebuntuan akal tentang hal ketuhanan. Pada masa itu banyak pendeta Nasrani dan Yahudi yang arif tentang hal tersebut, tetapi Nabi Muhammad s.a.w tidak pergi kepada mereka untuk mendapatkan jawaban yang mengganggu fikiran baginda s.a.w, sebaliknya baginda s.a.w telah memilih jalan uzlah. Ketika umur baginda s.a.w 36 tahun baginda s.a.w melakukan uzlah di Gua Hiraa. Baginda s.a.w tinggal sendirian di dalam gua yang sempit lagi gelap, terpisah dari isteri, anak-anak, keluarga, masyarakat hinggakan cahaya matahari pun tidak menghampiri baginda s.a.w. 


Amalan uzlah yang demikian baginda s.a.w lakukan secara berulang-ulang sehingga umur baginda s.a.w mencapai 40 tahun. Masa yang paling baginda s.a.w gemar beruzlah di Gua Hiraa’ ialah pada bulan Ramadan. Latihan uzlah yang baginda lakukan dari umur 36 hingga 40 tahun itu telah memantapkan rohani baginda s.a.w sehingga berupaya menerima tanggungjawab sebagai Rasul. Latihan semasa uzlah telah menyucikan hati baginda s.a.w dan meneguhkannya sehingga hati itu mampu menerangi akal untuk mentafsir wahyu secara halus dan lengkap. Wahyu yang dibacakan oleh  Jibrail a.s hanyalah singkat tetapi Rasulullah s.a.w dapat menghayatinya, memahaminya dengan tepat, mengamalkannya dengan tepat dan menyampaikannya kepada umatnya dengan tepat meskipun baginda s.a.w tidak tahu membaca dan menulis.

Begitulah kekuatan dan kebijaksanaan yang lahir dari latihan semasa uzlah. Tanpa latihan dan persiapan yang cukup seseorang tidak dapat masuk ke dalam medan tafakur tentang ketuhanan. Orang yang masuk ke dalam medan ini tanpa persediaan dan kekuatan akan menemui kebuntuan. Jika dia masih juga merempuh tembok kebuntuan itu dia akan jatuh ke dalam jurang gila.

Orang awam hidup dalam suasana: “Tugas utama adalah menguruskan kehidupan harian dan tugas sambilan pula menghubungkan diri dengan Allah s.w.t”. Orang yang di dalam suasana ini senantiasa ada masa untuk apa juga aktiviti tetapi sukar mencari kesempatan untuk bersama-sama Allah s.w.t. Orang yang separti ini jika diperingatkan supaya mengurangkan aktiviti kehidupannya dan memperbanyakkan aktiviti perhubungan dengan Allah s.w.t mereka memberi alasan bahwa Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w tidak meninggalkan dunia lantaran sibuk dengan Allah s.w.t. Mereka ini lupa atau tidak mengarti bahwa Rasulullah s.a.w dan para sahabat telah mendapat wisal atau penyerapan hal yang berkekalan.

Hati mereka tidak berpisah lagi dengan Allah s.w.t. Kesibukan menguruskan urusan harian tidak membuat mereka lupa kepada Allah s.w.t walau satu detik pun. Orang yang mata hatinya masih tertutup dan cermin hatinya tidak menerima pancaran Nur Sir, tidak mungkin hatinya berhadap kepada Allah  s.w.t ketika sedang sibuk melayani makhluk Allah s.w.t. Orang yang insaf akan kelemahan dirinya akan mengikuti jalan yang dipelopori oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat yaitu memisahkan diri dengan semua jenis kesibukan terutamanya pada satu partiga malam yang akhir. Tidak ada hubungan dengan orang banyak. Tidak dikunjung dan tidak mengunjungi. Tidak ada surat khabar, radio dan televisyen. Tidak ada perhubungan dengan segala sesuatu kecuali perhubungan dengan Allah s.w.t.

Dalam perjalanan tarekat   tasawuf  amalan uzlah dilakukan dengan bersistematik dan latihan yang demikian dinamakan suluk. Orang yang menjalani suluk dinamakan murid atau salik. Si salik menghabiskan kebanyakan daripada masanya di dalam bilik khalwat dengan diawasi dan dibimbing oleh gurunya. Latihan bersuluk memisahkan salik dengan hijab yang paling besar bagi orang yang baru menjalani jalan kerohanian yaitu pergaulan dengan orang banyak. Imannya belum cukup teguh dan mudah menerima rangsangan daripada luar yang boleh menggelincirkannya untuk melakukan maksiat dan melalaikan hatinya daripada mengingati Allah s.w.t. Apabila dia dipisahkan dari dunia luar jiwanya lebih aman dan tenteram mengadakan perhubungan dengan Allah s.w.t.

Semasa beruzlah, bersuluk atau berkhalwat, si murid bersungguh-sungguh di dalam bermujahadah memerangi hawa nafsu dan tarikan duniawi. Dia memperbanyakkan sembahyang, puasa dan berzikir. Dia mengurangkan tidur karena memanjangkan masa beribadat. Kegiatan beribadat dan pelepasan ikatan nafsu dan duniawi menjernihkan cermin hatinya. Hati yang suci bersih menuju ke alam ghaib yaitu Alam  Malakut. Hati mampu menerima isyarat-isyarat  dari alam ghaib. Isyarat yang diterimanya hanyalah sebentar tetapi cukup untuk menarik minatnya bagi mengkaji apa yang ditangkap oleh hatinya itu. Terjadilah perbahasan di antara fikirannya dengan dirinya sendiri. Pada masa yang sama dia menjadi penanya dan penjawab, murid dan pengajar. Perbahasan dengan diri sendiri itu dinamakan tafakur.

Pertanyaan timbul dalam fikirannya namun, fikirannya tidak dapat memberi jawaban. Ketika fikirannya meraba-raba mencari jawaban, dia mendapat bantuan daripada hatinya yang sudah suci bersih. Hati yang berkeadan begini mengeluarkan nur yang menerangi akal, lalu jalan fikirannya terus menjadi terang. Sesuatu persoalan yang pada mulainya difikirkan rumit dan mengelirukan, tiba-tiba menjadi mudah dan terang. Dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya kepada persoalan yang dahulunya mengacau fikiran dan jiwanya. Dia menjadi bertambah berminat untuk bertafakur menguraikan segala kekusutan yang tidak dapat diuraikannya selama ini. Dia gemar merenung segala perkara dan berbahas dengan dirinya, menghubungkannya dengan Tuhan sehingga dia mendapat jawaban yang memuaskan hatinya. Semakin dia bertafakur semakin terbuka kegelapan yang menutupi fikirannya. Dia mulai memahami tentang hakikat, hubung-kait antara makhluk dengan Tuhan, rahasia Tenaga Ilahi dalam perjalanan alam dan sebagainya.

Isyarat-isyarat tauhid yang diterima oleh hatinya membuat mata hatinya melihat bekas-bekas Tangan Allah s.w.t dalam alam maya ini. Dia dapat melihat bahwa semuanya adalah ciptaan Allah s.w.t, gubahan-Nya, lukisan-Nya dan peraturan-Nya. Hasil dari kegiatan bertafakur tentang Tuhan membawa dia bermakrifat kepada Allah s.w.t melalui akalnya. Makrifat secara akal menjadi kemudi baginya untuk mencapai makrifat secara zauk.

Dalam pengajian ketuhanan akal hendaklah tunduk mengakui kelemahannya. Akal hendaklah sadar bahwa ia tidak mampu memahami perkara ghaib. Oleh itu akal perlu meminta bantuan hati. Hati perlu digilap supaya bercahaya. Dalam proses menggilap hati itu akal tidak perlu banyak mengadakan hujah. Hujah akal melambatkan proses penggidelapan hati. Sebab itulah Hikmat 12 menganjurkan supaya mengasingkan diri. Di dalam suasana pengasingan nafsu menjadi lemah dan akal tidak lagi mengikut telunjuk nafsu. Barulah hati dapat mengeluarkan cahayanya. Cahaya hati menyuluh kepada alam ghaib. Apabila alam ghaib sudah terang benderang barulah akal mampu memahami hal ketuhanan yang tidak mampu diuraikannya sebelum itu.

13: HIJAB YANG HALANG PERJALANAN

BAGAIMANA HATI AKAN DAPAT DISINARI SEDANGKAN GAMBAR-GAMBAR ALAM MAYA MELEKAT PADA CERMINNYA, ATAU BAGAIMANA MUNGKIN  BERJALAN KEPADA ALLAH S.W.T SEDANGKAN DIA MASIH DIBELENGGU OLEH SYAHWATNYA, ATAU BAGAIMANA AKAN MASUK KE HADRAT ALLAH S.W.T SEDANGKAN DIA MASIH BELUM SUCI DARI JUNUB KELALAIANNYA, ATAU BAGAIMANA MENGHARAP UNTUK MENGARTI RAHASIA-RAHASIA YANG HALUS SEDANGKAN DIA BELUM TAUBAT DARI DOSANYA (KELALAIAN, KEKELIRUAN DAN KESALAHAN).

Hikmat 12 memberi penekanan tentang uzlah yaitu mengasingkan diri. Hikmat 13 ini pula memperingatkan bahwa uzlah tubuh badan saja tidak memberi kesan yang baik jika hati tidak ikut beruzlah. Walaupun tubuh badan dikurung hati masih boleh disambar oleh empat perkara:     
  1. Gambaran, ingatan, tarikan dan keinginan terhadap benda-benda alam separti harta, perempuan, pangkat dan lain-lain.
  2. Kehendak atau syahwat yang mengarahkan perhatian kepada apa yang dikehendaki.
  3. Kelalaian yang menutup ingatan terhadap Allah s.w.t.
  4. Dosa yang tidak dibasuh dengan taubat masih mengotorkan hati.
Diri manusia  tersusun daripada anasir tanah, air, api dan angin. Ia juga diresapi oleh unsur-unsur alam separti galian, tumbuh-tumbuhan, hewan, syaitan dan malaikat. Tiap-tiap anasir dan unsur itu menarik hati kepada diri masing-masing. Tarik menarik itu akan menimbulkan kekacauan di dalam hati. Kekacauan itu pula menyebabkan hati menjadi keruh. Hati yang keruh tidak dapat menerima sinaran nur yang melahirkan iman dan tauhid. Mengobati kekacauan hati adalah penting untuk membukakannya bagi menerima maklumat dari Alam Malakut. 


Hati yang kacau itu boleh distabilkan dengan cara menundukkan semua anasir dan unsur tadi kepada syariat. Syariat menjadi tali yang dapat mengikat musuh-musuh yang coba menawan hati. Penting bagi seorang murid yang menjalani jalan kerohanian menjadikan syariat sebagai payung yang mengharmonikan perjalanan anasir-anasir dan daya-daya yang menyerap ke dalam diri agar cermin hatinya bebas daripada gambar-gambar alam maya. Bila cermin hati sudah bebas daripada gambar-gambar dan tarikan tersebut, hati dapat menghadap ke Hadrat Ilahi.

Selain tarikan benda-benda alam, hati boleh juga tunduk kepada syahwat. Syahwat bukan saja rangsangan hawa nafsu yang rendah. Semua bentuk kehendak diri sendiri yang berlawanan dengan kehendak Allah s.w.t adalah syahwat. Kerja syahwat adalah mengajak manusia supaya lari dari hukum dan peraturan Allah s.w.t serta membangkang takdir Ilahi. Syahwat membuat manusia tidak rido dengan keputusan Allah s.w.t. Seseorang yang mau menuju Allah s.w.t perlulah melepaskan dirinya dari belenggu syahwat dan kehendak diri sendiri, lalu masuk ke dalam benteng aslim yaitu berserah diri kepada Allah s.w.t dan rido dengan takdir-Nya.

Perkara ke tiga yang dibangkitkan oleh Hikmat ke tiga belas ini ialah kelalaian yang diistilahkan sebagai junub batin. Orang yang berjunub adalah tidak suci dan dilarang melakukan ibadat atau memasuki masjid. Orang yang berjunub batin pula tertegah dari memasuki Hadrat Ilahi. Orang yang di dalam junub batin yaitu lalai hati, kedudukannya separti orang yang berjunub zahir, di mana amal ibadatnya tidak diterima. Allah s.w.t mengancam untuk mencampakkan orang yang bersembahyang dengan lalai (dalam keadaan berjunub batin)  ke dalam neraka wil. Begitu hebat sekali ancaman Allah s.w.t kepada orang yang menghadap-Nya dengan hati yang lalai.

Mengapa begitu hebat sekali ancaman Allah s.w.t kepada orang yang lalai? Bayangkan hati itu berupa dan berbentuk separti rupa dan bentuk kita yang zahir. Hati yang khusyuk adalah umpama orang yang menghadap Allah s.w.t dengan mukanya, duduk dengan tartib, bercakap dengan sopan santun dan tidak berani mengangkat kepala di hadapan Maharaja Yang Maha Agung. Hati yang lalai pula adalah umpama orang yang menghadap dengan belakangnya, duduk secara biadab, bertutur kata tidak tentu hujung pangkal dan perbuatannya sangat tidak bersopan. Perbuatan demikian adalah satu penghinaan terhadap martabat ketuhanan Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Jika raja didunia murka dengan perbuatan demikian maka Raja kepada sekalian raja-raja lebih berhak melemparkan kemurkaan-Nya kepada hamba yang biadab itu dan layaklah jika si hamba yang demikian dicampakkan ke dalam neraka wil. Hanya hamba yang khusyuk, yang tahu bersopan santun di hadapan Tuhannya dan mengagungkan Tuhannya yang layak masuk ke Hadrat-Nya, sementara hamba yang lalai, tidak tahu bersopan santun tidak layak mendekati-Nya.

Perkara yang ke empat adalah dosa-dosa yang belum ditebus dengan taubat. Ia menujung seseorang daripada memahami rahasia-rahasia yang halus-halus. Pintu kepada Perbendaharaan Allah s.w.t yang tersembunyi adalah taubat! Orang yang telah menyuci-bersihkan hatinya hanya mampu berdiri di luar pintu Rahasia Allah s.w.t selagi dia belum bertaubat, samalah separti orang yang mati syahid yang belum menjelaskan hutangnya terpaksa menunggu di luar syurga. Jika dia mau masuk ke dalam Perbendaharaan Allah s.w.t yang tersembunyi yang mengandungi rahasia yang halus-halus wajiblah bertaubat. Taubat itu sendiri merupakan rahasia yang halus. Orang yang tidak memahami rahasia taubat tidak akan mengarti mengapa Rasulullah s.a.w yang tidak pernah melakukan dosa masih juga memohon keampunan sedangkan sekalipun baginda s.a.w  berdosa semuanya diampunkan Allah s.w.t. Adakah Rasulullah s.a.w tidak yakin bahwa Allah s.w.t mengampunkan semua dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan baginda s.a.w (jika ada)?

Maksud taubat ialah kembali, yaitu kembali kepada Allah s.w.t. Orang yang melakukan dosa tercampak jauh daripada Allah s.w.t. Walaupun orang ini sudah berhenti melakukan dosa malah dia sudah melakukan amal ibadat dengan banyaknya namun, tanpa taubat dia tetap tinggal berjauhan dari Allah s.w.t. Dia telah masuk ke dalam golongan hamba yang melakukan amal salih tetapi yang berjauhan bukan berdekatan dengan Allah s.w.t. Taubat yang lebih halus ialah pengayatan kalimat:

“Tiada daya dan upaya melainkan anugerah Allah s.w.t.”
“Kami datang dari Allah s.w.t dan kepada Allah s.w.t kami kembali.”

Segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t, baik kehendak maupun perbuatan kita. Sumber yang mendatangkan segala sesuatu adalah Uluhiyah (Tuhan) dan yang menerimanya adalah ubudiyah (hamba). Apa saja yang dari Uluhiyah adalah sempurna dan apa saja yang terbit dari ubudiyah adalah tidak sempurna. Uluhiyah membekalkan kesempurnaan tetapi ubudiyah tidak dapat melaksanakan kesempurnaan itu. Jadi, ubudiyah berkewajiban mengembalikan kesempurnaan itu kepada Uluhiyah dengan memohon keampunan dan bertaubat sebagai menampung kecacatan. Segala urusan dikembalikan kepada Allah s.w.t. Semakin tinggi makrifat seseorang hamba semakin kuat ubudiyahnya dan semakin kerap dia memohon keampunan dari Allah s.w.t, mengembalikan setiap urusan kepada Allah s.w.t, sumber datangnya segala urusan.

Apabila hamba mengembalikan urusannya kepada Allah s.w.t maka Allah s.w.t sendiri yang akan mengajarkan Ilmu-Nya yang halus-halus agar kehendak hamba itu bersesuaian dengan Iradat Allah s.w.t, kuasa hamba sesuai dengan Kudrat Allah s.w.t, hidup hamba sesuai dengan Hayat Allah s.w.t dan pengetahuan hamba sesuai dengan Ilmu Allah s.w.t, dengan itu jadilah hamba mendengar karena Sama’ Allah s.w.t, melihat karena Basar Allah s.w.t dan berkata-kata karena Kalam Allah s.w.t. Apabila semuanya berkumpul pada seorang hamba maka jadilah hamba itu Insan Sirullah (Rahasia Allah s.w.t).

14: ALLAH S.W.T YANG MENZAHIRKAN ALAM

ALAM SEKALIANNYA ADALAH KEGELAPAN DAN  YANG MENERANGKANNYA ADALAH KARENA PADANYA KELIHATAN YANG HAQ (TANDA-TANDA ALLAH S.W.T). BARANGSIAPA  MELIHAT ALAM TETAPI DIA TIDAK MELIHAT ALLAH S.W.T SAMA ADA DALAMNYA,  DI SAMPINGNYA,  SEBELUMNYA , ATAU SESUDAHNYA, MAKA DIA BENAR-BENAR MEMERLUKAN WUJUDNYA CAHAYA-CAHAYA ITU DAN TERTUTUP BAGINYA CAHAYA MAKRIFAT OLEH TEBALNYA AWAN BENDA-BENDA ALAM.

Alam ini pada hakikatnya adalah gelap atau ‘adam, tidak wujud. Wujud Allah s.w.t yang menerbitkan kewujudan alam. Tidak ada satu kewujudan yang berpisah daripada Wujud Allah s.w.t. Hubungan Wujud Allah s.w.t dengan kewujudan makhluk sekiranya dibuat ibarat (sebenarnya tidak ada sebarang ibarat yang mampu menjelaskan hakikat yang sebenarnya), perhatikan kepada api yang dipusing dengan laju. Kelihatanlah pada pandangan kita bulatan api. Perhatikan pula kepada orang yang bercakap, akan kedengaranlah suara yang dari mulutnya. Kemudian perhatikan pula kepada kasturi, akan terhidulah baunya yang uangi. Wujud bulatan api adalah wujud yang berkaitan dengan wujud api. Wujud suara adalah wujud yang berkaitan dengan wujud orang yang bercakap. Wujud bau uangi adalah wujud yang berkaitan dengan wujud kasturi. Wujud bulatan api, suara dan bau uangi pada hakikatnya tidak wujud.

Begitulah ibaratnya wujud makhluk yang menjadi terbitan daripada Wujud Allah s.w.t. Wujud bulatan api adalah hasil daripada pergerakan api. Wujud suara adalah hasil daripada perbuatan orang yang bercakap. Wujud bau uangi adalah hasil daripada sifat kasturi. Bulatan api bukanlah api tetapi bukan lain daripada api dan tidak terpisah daripada api. Suara bukanlah orang yang bercakap tetapi bukan pula lain daripada orang yang bercakap. Walaupun orang itu sudah tidak bercakap tetapi masih banyak lagi suara yang tersimpan padanya. Bau uangi bukanlah kasturi tetapi bukan pula lain daripada kasturi. Walaupun bulatan api boleh kelihatan banyak, suara kedengaran banyak, bau dinikmati oleh banyak orang namun, api hanya satu, orang yang bercakap hanya seorang dan kasturi yang mengeluarkan bau hanya sebiji.

Agak sukar untuk memahami konsep ada tetapi tidak ada, tiada bersama tetapi tidak berpisah. Inilah konsep ketuhanan yang tidak mampu dipecahkan oleh akal tanpa penerangan nur yang dari lubuk hati. Mata hati yang diterangi oleh Nur Ilahi dapat melihat perkaitan antara ada dengan tidak ada, tidak bersama tetapi tidak berpisah. Atas kekuatan hatinya menerima sinaran Nur Ilahi menentukan kekuatan mata hatinya melihat kepada keghaiban yang tidak berpisah dengan kejadian alam ini. Ada 4 tingkatan pandangan mata hati terhadap perkaitan alam dengan Allah s.w.t yang menciptakan alam.

1:  Mereka yang melihat Allah s.w.t dan tidak melihat alam ini. Mereka adalah umpama orang yang hanya melihat kepada api, bulatan api yang khayali tidak menyilaukan pandangannya. Walaupun mereka berada di tengah-tengah kesibukan makhluk namun, mata hati mereka tetap tertumpu kepada Allah s.w.t, tidak terganggu oleh kekecuhan makhluk. Lintasan makhluk hanyalah umpama cermin yang ditembusi cahaya. Pandangan mereka tidak melekat pada cermin itu.

2:  Mereka yang melihat makhluk pada zahir tetapi Allah s.w.t pada batin. Mata hati mereka melihat alam sebagai penzahiran sifat-sifat Allah s.w.t. Segala yang maujud merupakan kitab yang menceritakan tentang Allah s.w.t. Tiap satu kewujudan alam ini membawa sesuatu makna yang menceritakan tentang Allah s.w.t.

3:  Mereka yang melihat Allah s.w.t pada zahirnya sementara makhluk tersembunyi. Mata hati mereka terlebih dahulu melihat Allah s.w.t sebagai Sumber kepada segala sesuatu, kemudian barulah mereka melihat makhluk yang menerima kurniaan daripada-Nya. Alam tidak lain melainkan perbuatan-Nya, gubahan-Nya, lukisan-Nya atau hasil kerja Tangan-Nya.

4:  Mereka yang melihat makhluk terlebih dahulu kemudian barulah melihat Allah s.w.t. Mereka memasuki jalan berhati-hati dan berwaspada, memerlukan masa untuk menghilangkan keraguan, berdalil dengan akal sehingga kesudahannya ternyatalah akan Allah s.w.t yang Wujud-Nya menguasai wujud makhluk.

Selain yang dinyatakan di atas tidak lagi dipanggil orang yang melihat Allah s.w.t. Gambar-gambar alam, syahwat, kelalaian dan dosa  menggelapkan cermin hati mereka hingga tidak mampu menangkap cahaya yang membawa kepada makrifat. Mereka gagal  untuk melihat Allah s.w.t sama ada di dalam sesuatu, di samping sesuatu, sebelum sesuatu atau sesudah sesuatu. Mereka hanya melihat makhluk seolah-olah makhluk berdiri dengan sendiri tanpa campur tangan Tuhan.

Anasir alam dan sekalian peristiwa yang berlaku merupakan perutusan yang membawa perkhabaran tentang Allah s.w.t. Perkhabaran itu bukan didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata atau difikir dengan akal. Ia adalah perkhabaran ghaib yang menyentuh jiwa. Sentuhan tangan ghaib pada jiwa itulah yang membuat hati mendengar tanpa telinga, melihat tanpa mata dan merenung tanpa akal fikiran. Hati hanya mengarti setiap perutusan yang disampaikan oleh tangan ghaib kepadanya dan hati menerimanya dengan yakin. Keyakinan itu menjadi kunci kepada telinga, mata dan akal. Apabila kuncinya telah dibuka, segala suara alam yang didengar, sekalian anasir alam yang dilihat dan seluruh alam maya yang direnungi akan membawa cerita tentang Tuhan. Abid mendengar, melihat dan merenungi Keperkasaan Tuhan. Asyikin mendengar, melihat dan merenungi keindahan Tuhan. Muttakhaliq mendengar, melihat dan merenungi kebijaksanaan dan kesempurnaan Tuhan. Muwahhid mendengar, melihat dan merenungi keesaan Tuhan.

Yaitu hari mereka keluar (dari kubur masing-masing) dengan jelas nyata; tidak akan tersembunyi kepada Allah sesuatupun darihal keadaan  mereka. (Pada saat itu Allah berfirman): “Siapakah yang menguasai kerajaan pada hari ini?” (Allah sendiri menjawab): “Dikuasai oleh Allah Yang Maha Esa, lagi Yang Maha Mengatasi kekuasaan-Nya segala-galanya!” ( Ayat 16 : Surah Mu’min )

Mereka telah mendustakan mukjizat-mukjizat Kami semuanya, lalu Kami timpakan azab seksa kepada mereka sebagai balasan dari Yang Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa. ( Ayat 42 : Surah al-Qamar )

Ayat-ayat separti yang di atas menggetarkan jiwa abid. Hati abid sudah ‘berada’ di akhirat. Alam dan kehidupan ini menjadi ayat-ayat atau tanda-tanda untuknya melihat keadaan dirinya di akhirat kelak, menghadap Tuhan Yang Esa, Maha Perkasa, tiada sesuatu yang tersembunyi daripada-Nya.

“Dialah yang telah mengaturkan kejadian tujuh petala langit yang berlapis-lapis; engkau tidak dapat melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah itu sebarang keadaan yang tidak seimbang dan tidak munasabah; (jika engkau ragu-ragu) maka ulangi pandangan(mu) - dapatkah engkau melihat sebarang kecacatan? Kemudian ulangilah pandangan(mu) berkali-kali, niscaya pandangan(mu) itu akan berbalik kepadamu dengan hampa (daripada melihat sebarang kecacatan), sedang ia pula berkeadaan lemah lesu (karena habis tenaga dengan sia-sia).” ( Ayat 3 & 4 : Surah al-Mulk )

Asyikin memandang kepada alam ciptaan dan dia mengulang-ulangi pemandangannya. Semakin dia memandang kepada alam semakin dia melihat kepada keelokan dan kesempurnaan Pencipta alam. Dia asyik dengan apa yang dipandangnya.

“Dialah Allah, Yang Menciptakan sekalian makhluk; Yang Mengadakan (dari tiada kepada ada); Yang Membentuk rupa (makhluk-makhluk-Nya menurut yang dikehendaki-Nya); bagi-Nya jualah nama-nama yang sebaik-baiknya dan semulia-mulianya; bertasbih kepada-Nya segala yang ada di langit dan di bumi; dan Dialah Yang tidak ada tuluk banding-Nya, lagi Maha Bijaksana.” ( Ayat 24 : Surah al-Hasy-r )

Muttakhaliq menyaksikan sifat-sifat Tuhan yang dikenal dengan nama-nama yang baik. Alam adalah perutusan untuknya mengetahui nama-nama Allah s.w.t dan sifat-sifat Kesempurnaan-Nya. Setiap yang dipandang menceritakan sesuatu tentang Allah s.w.t.

“Sesungguhnya Akulah Allah; tiada Tuhan melainkan Aku; oleh itu sembahlah akan Saya, dan dirikan sembahyang untuk mengingati Saya.” ( Ayat 14 : Surah Taha )

Muwahhid fana dalam Zat. Kesadaran dirinya hilang. Melalui lidahnya muncul ucapan-ucapan separti ayat di atas. Dia mengucapkan ayat-ayat Allah s.w.t, bukan dia bertukar menjadi Tuhan.

“Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani.
Segala puji tertentu bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan menkehendakkan sekalian alam. Yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani. Yang Menguasai pemerintahan hari Pembalasan (hari Akhirat). Engkaulah saja (Ya Allah) yang kami sembah, dan kepada Engkaulah saja kami memohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang Engkau telah kurniakan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) orang-orang yang Engkau telah murkai, dan bukan pula (jalan) orang-orang  yang sesat.” ( Ayat 1 – 7 : Surah al-Faatihah )

Mutahaqqiq kembali kepada kesadaran keinsanan untuk memikul tugas membimbing umat manusia kepada jalan Allah s.w.t. Hatinya senantiasa memandang kepada Allah s.w.t dan bergantung kepada-Nya. Kehidupan ini adalah medan dakwah baginya. Segala anasir alam adalah alat untuk dia memakmurkan bumi.

Apabila Nur Ilahi menerangi hati apa saja yang dipandang akan kelihatanlah Allah s.w.t di sampingnya atau sebelumnya atau sesudahnya.

15 - 24: ALLAH S.W.T DAN MAKHLUK 

15. DI ANTARA BUKTI YANG MENUNJUKKAN ADANYA KEPERKASAAN ALLAH S.W.T YANG LUAR BIASA ADALAH YANG DAPAT MENGHIJAB ENGKAU DARIPADA MELIHAT KEPADA-NYA DENGAN HIJAB YANG TIDAK ADA WUJUDNYA DI SISI ALLAH S.W.T.

16. BAGAIMANA DISANGKA ALLAH S.W.T DAPAT DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG MENZAHIRKAN SEGALA SESUATU.

17. BAGAIMANA MUNGKIN AKAN DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG TAMPAK ZAHIR PADA SEGALA SESUATU.

18. BAGAIMANA AKAN MUNGKIN DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG TERLIHAT DALAM TIAP SESUATU.

19. SESUATU BAGAIMANA AKAN DAPAT DITUTUP OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG TAMPAK PADA TIAP SEGALA SESUATU. BAGAIMANA MUNGKIN DIHIJAB OLEH PADAHAL DIA YANG ADA ZAHIR SEBELUM ADA SESUATU.

20. BAGAIMANA MUNGKIN DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG LEBIH NYATA DARI SEGALA SESUATU.

21. BAGAIMANA MUNGKIN AKAN DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG ESA, TIDAK ADA DI SAMPING-NYA SESUATU APA PUN.

22. BAGAIMANA AKAN DAPAT DIHIJAB OLEH SESUATU PADAHAL DIA YANG LEBIH DEKAT KEPADA KAMU DARI SEGALA SESUATU.

23. BAGAIMANA MUNGKIN AKAN DIHIJAB OLEH SESUATU, ANDAINYA TIDAK ADA ALLAH S.W.T NISCAYA TIDAK ADA SEGALA SESUATU.

24. ALANGKAH AJAIBNYA BAGAIMANA NAMPAK WUJUD DI DALAM ‘ADAM (YANG TIDAK WUJUD), ATAU BAGAIMANA DAPAT BERTAHAN SESUATU YANG RUSAK BINASA ITU DI SAMPING ZAT YANG BERSIFAT KEKAL.

Alam ini kesemuanya adalah gelap gelita sedang yang meneranginya adalah karena nampak Wujud Allah s.w.t padanya. Pada hakikatnya alam ini tidak wujud, Allah s.w.t jua yang wujud. Tetapi apa yang terlihat kepada kita adalah alam semata-mata sedangkan Allah s.w.t yang lebih nyata menjadi terlindung daripada pandangan kita. Allah s.w.t yang menzahirkan segala sesuatu, bagaimana sesuatu itu pula menghijabkan-Nya. Allah s.w.t yang tampak nyata pada segala sesuatu, bagaimana pula Dia terlindung. Allah s.w.t adalah Maha Esa, tiada sesuatu beserta-Nya, bagaimana pula Dia dihijab oleh sesuatu yang tidak wujud di samping-Nya.

Hati akan hanya diisi dengan iman (percaya) atau ragu-ragu. Jika Nur Ilahi menyinari hati maka mata hati akan melihat dengan iman. Seandainya pandangan mata hati  tidak bersuluhkan Nur Ilahi maka apa yang dipandangnya akan membawa keraguan dalam bentuk pertanyaan ‘bagaimana’. Pertanyaan ‘bagaimana’ itu merupakan ujian tentang Allah s.w.t. Ia boleh memberi rangsangan untuk menambahkan pengetahuan tentang Tuhan. Jika tidak dikawal ia akan mendorong kepada perbahasan yang tidak ada penyelesaian karena bidang ilmu sangat luas, tidak mungkin habis untuk diterokai. Jika kita ikuti perbahasan ilmu, kita akan mati dahulu sebelum sempat mendapat jawaban penghabisan. Oleh itu letakkan garisan penamat kepada ilmu dan masuklah ke dalam iman. Iman menghilangkan keraguan dan tidak perlu bersandar kepada bukti dan dalil-dalil.

Pengalaman hakikat akan menghapuskan pertanyaan ‘bagaimana’. Apabila keraguan datang, ia akan disambut dengan jawaban, “Dengan Dia aku mengenal sifat-Nya, bukan dengan sifat-Nya aku mengenal Dia. Dengan Dia aku mengenal ilmu pengetahuan, bukan dengan ilmu pengetahuan aku mengenal Dia. Dengan Dia aku mengenal makrifat bukan dengan makrifat aku mengenal Dia”.

Apabila hati sudah diisi dengan iman pertanyaan ‘bagaimana’ akan menguatkan keinginan untuk mencungkil Rahasia Ilahi yang menyelubungi alam maya ini. Jika dia tidak mampu memahami sesuatu tentang Rahasia Ilahi itu maka dia akan tunduk dan mengakui dengan kerendahan hatinya bahwa benteng keteguhan Allah s.w.t tidak mampu dipecahkan oleh makhluk-Nya.

25: SIKAP ORANG BODOH

TIDAK MENINGGALKAN SEDIKIT PUN DARI KEBODOHAN BAGI SIAPA YANG BERKEHENDAK MENGADAKAN PADA SESUATU MASA SESUATU YANG LAIN DARIPADA APA YANG DIJADIKAN ALLAH S.W.T PADA MASA ITU.

Dalam perjalanan menuju Allah s.w.t ada sebagian orang yang tartinggal di belakang walaupun mereka sudah melakukan amal yang sama separti yang dilakukan oleh orang lain yang lebih maju. Satu halangan yang menyekat golongan yang tartinggal itu adalah kebodohannya yang tidak mau tunduk kepada ketentuan Allah s.w.t. Dia masih dipermainkan oleh nafsu dan akal yang menghijab hatinya daripada melihat Allah s.w.t pada apa yang dilihat. Pandangannya hanya tertuju kepada alam benda dan perkara zahir saja. Dia melihat kepada keberkahan hukum sebab-musabab dan meletakkan pergantungan kepada amalnya. Dia yakin yang dia boleh mendapatkan apa yang dia ingini melalui usahanya.

Keadaan orang yang disebutkan di atas telah disentuh pada Hikmat 1. Ketika rohani orang lain telah maju di dalam menuju Allah s.w.t dia masih juga berputar-pusing di dalam kesamaran dan keraguan. Nafsunya tetap melahirkan keinginan-keinginan. Keinginan diri sendiri menjadi rantai yang mengikat kaki daripada berjalan menuju Allah s.w.t. Bagaimana boleh seseorang mendekati Allah s.w.t jika dia enggan menjadikan Allah s.w.t sebagai Pengurus semua aspek kehidupannya. Walau para hamba rela atau membantah, Allah s.w.t tetap melaksanakan ketentuan-Nya. Allah s.w.t melaksanakan kehendak-Nya pada setiap masa dan tidak ada siapa yang dapat menujung-Nya.

“Tiap-tiap masa Ia (Allah) di dalam urusan (mencipta dan menkehendakkan makhluk-makhluk-Nya).” ( Ayat 29 : Surah ar-Rahman )

Allah s.w.t saja yang mencipta, meletakkan hukum dan peraturan, membagikan rezeki dan lain-lain. Dia menentukan urusan dengan bijaksana dan adil, termasuklah urusan mengenai diri kita dan apa yang terjadi pada kita. Kita memandang diri kita dan kejadian yang menimpa kita dalam sekop yang kecil. Allah s.w.t  melihat kepada seluruh alam dan semua kejadian, tanpa keliru pandangan-Nya kepada diri kita dan kejadian yang menimpa kita, juga tidak beralih pandangan-Nya dari makhluk-Nya yang lain.

Urusan penkehendakan-Nya adalah menyeluruh dan sempurna. Orang yang tidak berbekas pada hatinya akan kesempurnaan Allah s.w.t itu adalah orang dungu. Dia masih juga merungut tentang perjalanan hukum takdir Ilahi, seolah-olah Tuhan harus tunduk kepada hukum makhluk-Nya. Bagi murid yang cenderung mengikuti latihan kerohanian perlulah berusaha untuk melenyapkan kehendak diri sendiri dan hidup dalam perlakuan Allah s.w.t. Jangan sekali-kali bertelagah dengan takdir karena Penentu Takdir tidak pernah berbincang dengan siapa pun dalam menentukan arus ketentuan-Nya.

Jika kita mau mengenali Allah s.w.t kita tidak boleh melihat-Nya pada satu aspek saja. Jika kita melihat Allah al-Ghafur (Maha Pengampun), kita juga harus melihat Allah al-‘Aziz (Maha Keras). Jika kita melihat Allah al-Hayyu (Yang Menghidupkan) kita juga harus melihat Allah al-Mumit (Yang mematikan). Jika kita dapat melihat semua Sifat-sifat Allah s.w.t dalam satu kesatuan barulah kita dapat mengenali-Nya dengan sebenar-benar kenal. Bila Allah s.w.t dikenali dalam semua aspek, hikmat kebijaksanaan-Nya dalam menentukan sesuatu perkara pada sesuatu masa tidak terlindung lagi dari pandangan mata hati.

Hati yang tidak mau tunduk kepada Maha Pengatur tidak akan menemui kedamaian. Waktu, ruang dan kejadian akan membuatnya gelisah karena nafsunya tidak dapat menguasai semua itu. Dia inginkan sesuatu perkara pada satu masa sedangkan Maha Pengatur inginkan perkara lain. Kehendak makhluk tidak dapat mengatasi kehendak Tuhan. Jika mau hati menjadi tenteram usahakan agar hati senantiasa ingat kepada Allah s.w.t.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan tenang tenteram hati mereka dengan zikrullah”. Ketahuilah! Dengan “zikrullah” itu, tenang tenteramlah hati manusia.” (Ayat 28 : Surah ar-Ra’d)

Berimanlah kepada Allah s.w.t dan beriman juga kepada takdir. Lepaskan paham sebab musabab yang menjadi pagar nafsu menutup hati.

“Tidak ada kesusahan (atau bala bencana) yang menimpa (seseorang) melainkan dengan izin Allah; dan siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memimpin hatinya (untuk menerima apa yang telah berlaku itu dengan tenang dan sabar); dan (ingatlah), Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.” ( Ayat 11 : Surah at-Taghaabun )

26: MENUNDA AMAL TANDA KEBODOHAN

MENUNDA AMAL KEBAIKAN KARENA MENANTIKAN KESEMPATAN YANG LEBIH BAIK ADALAH TANDA KEBODOHAN.

Hikmat yang lalu memaparkan kebodohan yang timbul karena kejahilan tentang kekuasaan Tuhan. Hikmat 26 ini pula memaparkan kebodohan yang timbul lantaran kelalaian. Orang yang mabuk dibuai oleh ombak kelalaian tidak dapat melihat bahwa pada setiap detik pintu rahmat Allah s.w.t senantiasa terbuka dan Allah s.w.t senantiasa berhadap kepada hamba-hamba-Nya. Setiap saat adalah kesempatan dan tidak ada kesempatan yang lebih baik daripada kesempatan yang memperlihatkan dirinya kepada kita. Kesempatan yang paling baik ialah kesempatan yang kita sedang berada di dalamnya.

Kelalaian adalah buah kepada panjang angan-angan. Panjang angan-angan pula datangnya dari pokok kurang ingatan kepada mati. Jadi, obat yang paling mujarab untuk mengobati penyakit kelalaian ialah memperbanyakkan ingatan kepada mati. Apabila ingatan kepada mati sudah kuat maka seseorang itu tidak akan mengabaikan kesempatan yang ada baginya untuk melakukan amal salih.

Hikmat ke 26 jika ditafsir secara umum menganjurkan agar segala amal kebaikan hendaklah dilakukan dengan segera tanpa bertangguh-tangguh. Jika diperhatikan  Kalam-kalam Hikmat yang lalu dapat difahamkan bahwa Hikmat yang dipaparkan berperanan membimbing seseorang pada jalan kerohanian. Amal yang ditekankan adalah amal yang berhubung dengan pembentukan rohani.

Hikmat  27 nanti akan memperkatakan tentang makam yaitu suasana kerohanian. Jadi, jika ditafsir secara khusus Hikmat  26 ini menganjurkan bersegera melakukan amal-amal yang perlu bagi menyediakan hati untuk menerima kedatangan hal-hal dan seterusnya mencapai makam-makam. Amal yang berkenaan ialah latihan kerohanian menurut tarekat tasawuf. Latihan yang demikian harus disegerakan sebaik saja mendapat kesempatan, tanpa menanti kedatangan kesempatan yang lain yang diharapkan lebih baik dan lebih sesuai.

Ketika menjalani latihan kerohanian secara tarekat tasawuf  kehidupan hanya dipenuhi dengan amal ibadat separti sembahyang, puasa, berzikir dan lain-lain Semua amalan tersebut dilakukan bukan bertujuan untuk mengejar syurga tetapi semata-mata untuk mendapatkan keridoan Allah s.w.t dan mendekatkan diri kepada-Nya. Amalan separti inilah yang membuka pintu hati untuk berpeluang mengalami hal-hal yang membawa kepada hasil yang diharapkan yaitu makrifatullah. Siapa yang benar-benar ingin mencari keridoan Allah s.w.t dan berhasrat untuk menghampiri-Nya serta mengenali-Nya hendaklah jangan bertangguh-tangguh lagi. Usah dicari kesempatan yang lebih baik.

Jangan menjadikan masalah keduniaan sebagai alasan untuk menunda tindakan bergiat mencari keridoan Allah s.w.t. Bulatkan tekad, kuatkan azam, masuklah ke dalam golongan ahli Allah s.w.t yang beramal dan bekerja semata-mata karena Allah s.w.t. Benamkan diri sepenuhnya ke dalam suasana ‘Allah’ semata-mata dan tinggalkan apa saja yang selain Allah s.w.t buat seketika. Anggapkan latihan yang demikian separti keadaan ketika menunaikan fardu haji di Tanah Suci. Selama di Tanah Suci, segala-galanya ditinggalkan di tanah air sendiri. Di hadapan Baitullah seorang hamba menghadap dengan sepenuh jiwa raga kepada Tuhannya. Dia tidak kuatirkan keluarga, harta dan pekerjaan yang ditinggalkan karena semuanya sudah diserahkannya kepada penjagaan Allah s.w.t. Allah s.w.t adalah  Pemegang amanah yang paling baik. Dia menjaga dengan sebaik-baiknya apa yang diserahkan kepada-Nya. Syarat penyerahan itu adalah keyakinan.

Perlu juga dinyatakan bahwa latihan kerohanian secara tarekat   tasawuf  bukanlah satu-satunya jalan kepada Allah s.w.t. Tujuan utama latihan secara tasawuf  adalah untuk mendapatkan ikhlas dan penyerahan yang menyeluruh kepada Allah s.w.t. Ikhlas dan penyerahan boleh juga diperolehi walaupun tidak menjalani tarekat   tasawuf  tetapi tanpa latihan khusus pembentukan hati kepada suasana yang demikian adalah sukar dilakukan.

Jalan yang tidak ada latihan khusus adalah jalan kehidupan harian. Pada jalan ini orang yang beriman perlu bekerja kuat untuk menjalankan peraturan Islam dan mempertahankan iman. Pancaroba dalam kehidupan harian sangat banyak dan orang yang beriman perlu berjalan dicelah-celahnya, menjaga diri agar tidak tertawan dengan penggoda. Kewaspadaan dalam kehidupan harian itu adalah sifat takwa. Orang yang bertakwa adalah orang yang mulia pada sisi Allah s.w.t.

Walau jalan mana yang dilalui matlamatnya adalah memperolehi ikhlas, berserah diri dan bertakwa.

27: BERPEGANG KEPADA MAKAM

JANGAN MEMINTA KEPADA ALLAH S.W.T SUPAYA DIPINDAHKAN DARI SATU HAL KEPADA HAL YANG LAIN, SEBAB JIKA ALLAH S.W.T MENGKEHENDAKI DIPINDAHKAN KAMU TANPA MERUBAH KEADAAN KAMU YANG LAMA.

Hal adalah pengalaman hati tentang hakikat. Hal tidak boleh didapati melalui amal dan juga ilmu. Tidak boleh dikatakan bahwa amalan menurut tarekat tasawuf  menjamin seseorang murid memperolehi hal. Latihan secara tarekat tasawuf  hanya menyucikan hati agar hati itu menjadi bekas yang sesuai bagi menerima kedatangan hal-hal (ahwal). Hal hanya diperolehi karena anugerah Allah s.w.t. Mungkin timbul pertanyaan mengapa ditekankan soal amal separti yang dinyatakan dalam  Hikmat yang lalu sedangkan amal itu sendiri tidak menyampaikan kepada Tuhan?

Perlu difahami bahwa seseorang hamba tidak mungkin berjumpa dengan Tuhan jika Tuhan tidak mau bertemu dengannya. Tetapi, jika Tuhan mau menemui seseorang hamba maka dia akan dipersiapkan agar layak berhadapan dengan Tuhan pada pertemuan yang sangat suci dan mulia. Jika seorang hamba didatangi kecenderungan untuk menyucikan dirinya, itu adalah tanda bahwa dia diberi kesempatan untuk dipersiapkan agar layak dibawa berjumpa dengan Tuhan. Hamba yang bijaksana adalah yang tidak melepaskan kesempatan tersebut, tidak menunda-nunda kepada waktu yang lain. Dia tahu bahwa dia menerima undangan dari Tuhan Yang Maha Mulia, lalu dia menyerahkan dirinya untuk dipersiapkan sehingga kepada tahap dia layak menghadap Tuhan sekalian alam. Makam di mana hamba dipersiapkan ini dinamakan aslim atau menyerah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tuhan yang tahu bagaimana mau mempersiapkan hamba yang Dia mau temui. Tujuan amalan tarekat tasawuf  ialah mempersiapkan para hamba agar berkeadaan bersiap sedia dan layak untuk dibawa berjumpa dengan Tuhan (memperolehi makrifat Allah s.w.t). Walaupun hal merupakan anugerah Allah s.w.t semata-mata, tetapi hal hanya mendatangi hati para hamba yang bersedia menerimanya.

Murid atau salik yang memperolehi hal akan meningkatkan ibadatnya sehingga suasana yang dicetuskan oleh hal itu sebati dengannya dan membentuk keperibadian yang sesuai dengan cetusan hal tersebut. Hal yang menetap itu dinamakan makam. Hal yang diperolehi dengan anugerah bila diusahakan akan menjadi makam. Misalnya, Allah s.w.t mengizinkan seorang salik mendapat hal di mana dia merasai bahwa dia senantiasa berhadapan dengan Allah s.w.t, Allah s.w.t melihatnya zahir dan batin, mendengar ucapan lidahnya dan bisikan hatinya. Salik memperteguhkan daya rasa tersebut dengan cara memperkuatkan amal ibadat yang sedang dilakukannya sewaktu hal tersebut datang kepadanya, sama ada ianya sembahyang, puasa atau zikir, sehingga daya rasa tadi menjadi sebati dengannya. Dengan demikian dia mencapai makam ihsan.

Satu sifat semulai-jadi manusia adalah tergesa-gesa, bukan saja dalam perkara duniawi malah dalam perkara ukhrawi juga. Salik yang rohaninya belum mantap masih dibaluti oleh sifat-sifat kemanusiaan. Apabila dia mengalami satu hal dia akan merasai nikmatnya. Rindulah dia untuk menikmati hal yang lain pula. Lalu dia memohon kepada Allah s.w.t supaya ditukarkan halnya. Sekiranya hal yang datang tidak diperteguhkan ia tidak menjadi makam. Bila hal berlalu ia menjadi kenangan, tidak menjadi keperibadian. Meminta perubahan kepada hal yang lain adalah tanda kekeliruan dan boleh membantut perkembangan kerohanian.

Kekuatan yang paling utama adalah berserah kepada Allah s.w.t, rido dengan segala perlakuan-Nya. Biarkan Allah Yang Maha Mengarti menguruskan kehidupan kita. Sebaik-baik perbuatan adalah menjaga makam yang kita sedang berada di dalamnya. Jangan meminta makam yang lebih tinggi atau lebih rendah. Semakin hampir dengan Allah s.w.t semakin hampir dengan bahaya yang besar, yaitu dicampak keluar dari majlis-Nya siapa yang tidak tahu menjaga kesopanan bermajlis dengan Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Oleh yang demikian, tunduklah kepada kemuliaan-Nya dan berserahlah kepada kebijaksanaan-Nya, niscaya Dia akan menguruskan keselamatan dan kesejahteraan para hamba-Nya.

28: PEMBIMBING JALAN HAKIKI

TIDAK BERCITA-CITA SEORANG SALIK UNTUK BERHENTI KETIKA TERJADI KASYAF (TERBUKA PERKARA GHAIB) MELAINKAN SUARA HAKIKI BERSERU KEPADANYA: “ APA YANG KAMU CARI MASIH JAUH DI HADAPAN  (OLEH ITU JANGAN KAMU BERHENTI)!” DAN TIDAK TERBUKA BAGINYA ALAM MAYA MELAINKAN DIPERINGATKAN OLEH HAKIKAT ALAM ITU: “SESUNGGUHNYA  KAMI ADALAH UJIAN, KARENA ITU JANGANLAH KAMU KUFUR!"

Latihan penyucian hati membawa rohani si salik meningkat dari satu peringkat kepada peringkat yang lebih tinggi. Kekuatan rohaninya bertambah dan pada masa yang sama juga pengaruh serta kesadaran inderawinya berkurangan. Dalam keadaan separti ini rohaninya mampu menjadi penasehat kepada dirinya sendiri. Bila terlintas dalam hatinya untuk melakukan kesalahan akan tercetuslah perasaan membantah perbuatan tersebut, seolah-olah ada orang yang menasehatinya. Apabila sampai kepada satu peringkat kesucian hati akan terbuanglah dari hatinya lintasan-lintasan yang bersifat duniawi, syaitani dan nafsi.

Lintasan duniawi mengheret kepada kelalaian, keseronokan dan kesenangan harta benda. Lintasan syaitani mengheret kepada melakukan syirik dan bidaah yang bertentangan dengan Sunah Rasulullah s.a.w. Lintasan nafsi pula mendorong kepada maksiat dan kemunkaran. Bila hati sudah terdinding daripada lintasan-lintasan jahat maka hati akan didatangi oleh lintasan malaki (malaikat) dan Rahmani (Tuhan).

Lintasan malaki mengajak kepada berbuat taat kepada Allah s.w.t dan meninggalkan tegahan-Nya. Lintasan Rahmani pula adalah tarikan langsung daripada Tuhan. Dalam lintasan-lintasan duniawi, syaitani, nafsi dan malaki, manusia mempunyai pilihan untuk menerima ataupun menolak cetusan atau rangsangan yang diterimanya itu. Akal dan imannya boleh memikir dan menimbang akan sebab dan akibat jika dia mengikuti sesuatu rangsangan itu. Tetapi, dalam lintasan Rahmani hamba tidak ada pilihan, tidak ada hukum sebab musabab yang boleh mencegahnya dan tidak ada hukum logik yang boleh menguraikannya. Misalnya, seorang yang tidak pernah turun ke laut, tiba-tiba pada satu hari tanpa boleh ditahan-tahan dia pergi ke laut dan mandi, lalu mati lemas. Soalnya, tidak dapat diterangkan mengapa dengan tiba-tiba dia mau mandi di laut dan dia tidak dapat melawan keinginan yang timbul dalam hatinya itu. Kuasa yang menariknya ke laut dan mandi lalu mati di situ dinamakan lintasan Rahmani atau tarikan ketuhanan. Dalam perjalanan kerohanian mungkin seorang salik itu menerima lintasan Rahmani yang mengheretnya melakukan sesuatu yang kelihatan aneh, tidak masuk akal dan dia sendiri tidak dapat memberi penjelasan tentang tindak tanduknya walaupun dia masih dapat melihat perbuatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri itu.

Semasa pengembaraannya ke dalam alam kerohanian si salik mungkin memperolehi kasyaf yaitu terbuka keghaiban kepadanya. Dia dapat melihat apa yang tersembunyi. Dia mungkin dapat melihat kepada peristiwa yang akan berlaku, dan yang telah berlaku. Mungkin juga dia dikurniakan kekeramatan separti ‘mulut asin’, berjalan di atas air, menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Dia juga mungkin dapat melihat dengan mata hatinya keadaan Alam Barzakh, syurga dan neraka. Penemuan perkara-perkara yang ganjil, ajaib dan indah-indah boleh mempesonakan si salik dan boleh menyebabkan dia menjadi keliru dengan merasakan dia sudah sampai ke puncak, lalu dia berhenti di situ. Lebih membahayakan lagi jika si salik tidak mendapat bimbingan guru atau guru yang membimbingnya tidak memahami tentang selok-belok alam kerohanian. Si guru tidak dapat menjelaskan pengalaman aneh yang dialami oleh murid lalu si murid tidak ada pilihan kecuali membuat tafsirannya sendiri. Oleh sebab pengalaman tersebut adalah berkenaan perkara ghaib maka murid tadi mudah menyangkakan segala yang ghaib itu adalah aspek ketuhanan.

Di sini timbullah berbagai-bagai anggapan tentang Tuhan, karena dia menyangkakan yang dia telah melihat zat Tuhan. Timbullah sangkaan yang Tuhan adalah nur dengan warna yang tertentu. Ada pula yang beranggapan Tuhan itu rupanya tegak separti huruf alif. Ada pula yang mengatakan Tuhan adalah cahaya yang sangat halus. Bermacam-macam lagi anggapan tentang Tuhan muncul akibat kejahilan mengenai alam ghaib. Prasangka yang meletakkan Zat Allah s.w.t di dalam ruang dan berbentuk  adalah kekufuran. Bahaya penyelewengan akidah kepada orang yang belajar ilmu hakikat kepada yang bukan mursyid adalah besar. Orang yang belajar ilmu hakikat cara demikian membahaskan zat Ilahiat dengan menggunakan akalnya sedangkan akal tidak ada pengetahuan tentang zat.

Murid atau salik yang mendapat bimbingan daripada guru yang mursyid dan beroleh rahmat, taufik dan hidayat daripada Allah s.w.t akan dapat melalui fitnah yang tersebut di atas dengan selamat. Salik yang masuk ke dalam Tarikan ketuhanan akan berjalan terus walau apa pun yang ditemuinya di tengah jalan, sekalipun dia ditawarkan dengan syurga.

Tarikan ketuhanan yang memimpin salik itu dinamakan Petunjuk Ilmu, Perintah Batin, Petunjuk Laduni atau Suara Hakiki atau Pembimbing Hakiki. Ia adalah tarikan langsung daripada Allah s.w.t agar hamba yang Allah s.w.t mau temui itu selamat sampai kepada-Nya. Salik menafikan semua yang ditemuinya. Selagi boleh disaksikan ia adalah sifat bukan zat. Sepanjang perjalanannya salik melihat bekas gubahan Tuhan, pengungkapan hikmat kebijaksanaan-Nya dan tanda-tanda yang memberi pemahaman tentang Dia. Zat Ilahiat tetap tinggal tertutup rapat oleh nur di balik nur dan tidak dapat ditembusi oleh siapa pun dan penglihatan yang bagaimana pun. Jika nur yang disaksikan, maka nur adalah salah satu daripada tanda-tanda-Nya dan juga salah satu daripada Nama-nama-Nya. Setelah habis yang dinafikan salik sampai kepada puncak kedunguannya yaitu pengakuan tentang kelemahannya mengenai zat Ilahiat. Inilah puncak pencapaian dan orang yang sampai kepada hakikat ini dinamakan orang yang bermakrifat atau orang yang mengenal Allah s.w.t. Dia mencapai hakikat maksud:

“Tidak ada sesuatu apa pun menyerupai-Nya.”

Tidak ada yang menyerupai-Nya dan menyamai-Nya, mana mungkin ada gambaran tentang-Nya yang boleh ditangkap oleh penglihatan? Kebodohan dan kedunguan adalah hijab yang asli dan tidak mungkin tersingkap ditentang zat Ilahiat kecuali pada hari akhirat apabila seseorang hamba diizinkan memandang dengan pandangan mata. Sebelum itu tidak mungkin melihat Allah s.w.t dengan terang-terang. Apa yang diistilahkan sebagai melihat Allah s.w.t ialah menyaksikan Allah s.w.t pada sesuatu yang didalamnya terdapat bekas penciptaan-Nya, tanda-tanda-Nya, hikmat-Nya dan kehendak-Nya. Ia merupakan penglihatan akal serta mata hati atau melihat Nur-Nya yaitu melihat Rahasia Allah s.w.t yang tersembunyi pada sekalian kejadian-Nya. Zat Ilahiat tetap tinggal tertutup oleh keghaiban yang mutlak (Ghaibul Ghuyub).

Orang sufi selalu mengatakan mereka melihat Allah s.w.t. Apa yang mereka maksudkan ialah penglihatan ilmu dan penglihatan hati nurani, penglihatan yang mengandungi rasa kecintaan yang sangat mendalam terhadap Allah s.w.t, dan kerinduan yang membara di dalam hati mereka. Itulah penglihatan mereka yang gilakan Allah s.w.t. Jangan ditafsirkan ucapan mereka secara lafaz tetapi selami hati mereka untuk memahami keasyikan dan kemabukan yang mereka alami.

29: PERMINTAAN DAN KEDUDUKAN

PERMINTAAN DARIPADA-NYA MENUNJUKKAN KURANG PERCAYAMU KEPADA-NYA. PERMINTAAN KEPADA-NYA MENUNJUKKAN KAMU TIDAK MELIHAT-NYA.  PERMINTAAN KEPADA LAINNYA MENUNJUKKAN SEDIKIT MALU TERHADAP-NYA. PERMINTAAN DARI LAINNYA MENUNJUKKAN JAUHNYA KAMU DARIPADA-NYA.

Hikmat 29 ini adalah umpama alat untuk menilai diri sendiri. Perhatikan kecenderungan kita dalam mengajukan permintaan. Jika kita cenderung meminta dari lain-Nya,  kita ajukan permintaan kepada sesama makhluk, itu tanda hati kita berpaling jauh daripada Allah s.w.t. Hati kita merasakan seolah-olah makhluk memiliki kuasa penentu sehingga hati kita tidak dapat melihat kepada kekuasaan Tuhan. Cermin hati kita dibaluti oleh awan gelap yang mengandungi gambar-gambar benda alam, tuntutan syahwat, permainan hawa nafsu yang melalaikan dan tumpukan dosa yang tidak dibersihkan dengan taubat. Hati yang mengalami keadaan begini dinamakan nafsu ammarah.

Ammarah bukan saja menyerang orang jahil, orang alim dan ahli ibadat juga boleh menerima serangannya dan mungkin tewas kepadanya. Agar orang alim tidak terpedaya oleh ilmunya dan ahli ibadat tidak terpedaya oleh amalnya, perhatikan tempat jatuh permintaan. Jika warna-warni keduniaan separti harta, pangkat dan kemuliaan yang menjadi tuntutannya dan kesungguhan usaha dan ikhtiarnya ditujukan semata-mata kepada manusia dan alat dalam mendapatkan keperluannya, itu menjadi tanda bahwa hatinya berpaling jauh dari Allah s.w.t. Perbetulkan wajah hati agar ia menghadap kepada Allah s.w.t. Bila wajah hati menghadap kepada Wajah Allah s.w.t dapatlah mata hati melihat bahwa Allah s.w.t saja yang berkuasa sementara makhluk hanyalah bekas tempat zahir kesan kekuasaan-Nya.

Golongan kedua pula meminta kepada lain-Nya, yaitu walaupun dia memohon kepada Allah s.w.t tetapi yang dipinta adalah sesuatu selain Allah s.w.t. Dia mungkin meminta agar Allah s.w.t mengurniakan kepadanya harta, pangkat dan kemuliaan di sisi makhluk. Permintaannya sama separti golongan yang pertama cuma dia meminta kepada Allah s.w.t tidak kepada makhluk. Orang yang dari golongan ini yang lebih baik sedikit ialah yang memohon kepada Allah s.w.t agar dikurniakan faedah-faedah akhirat separti pahala, syurga dan juga keberkatan. Permintaan yang berupa faedah duniawi dan ukhrawi menunjukkan sikap kurang malunya seseorang hamba itu terhadap Allah s.w.t. Orang yang separti ini hanya melihat kepada nikmat tetapi tidak mau mengenali Pemberi nikmat. Perhatikan kepada diri kita, apakah kita asyik merenget meminta itu dan ini daripada Allah s.w.t. Jika sifat demikian ada pada kita, itu tandanya hati kita masih keras dan perlu dilembutkan dengan zikrullah dan amal ibadat agar lahirlah sifat malu terhadap Allah s.w.t Yang Maha Lemah-lembut dan Maha Bersopan Santun.

Ada pula orang yang membuat permintaan kepada-Nya, yaitu meminta agar dia didekatkan kepada-Nya. Dia merasakan dirinya jauh dari Allah s.w.t. Inilah orang yang mata hatinya tertutup, tidak dapat melihat bahwa Allah s.w.t lebih hampir kepadanya daripada urat lehernya sendiri, Allah s.w.t senantiasa bersama-samanya walau di mana dia berada. Bagaimana melihat Allah s.w.t lebih hampir dari urat leher dan Allah s.w.t senantiasa bersama walau di mana kita berada, tidak dapat diuraikan. Ia bukanlah penglihatan mata tetapi penglihatan rasa atau penglihatan mata hati. Perhatikanlah, andainya kita cenderung meminta agar didekatkan kepada Allah s.w.t itu tandanya mata hati kita masih kelabu, maka sucikanlah hati dengan sembahyang, berzikir dan ibadat-ibadat lain.

Golongan keempat adalah yang mengajukan permintaan daripada-Nya. Orang ini mengakui bahwa Allah s.w.t saja yang memiliki segala-galanya. Hanya Allah s.w.t yang berhak memberi apa yang dimiliki-Nya. Permintaan separti ini menunjukkan kurang percayanya kepada Allah ar-Rahman, Yang Maha Pemurah dan al-Karim, Yang Memberi tanpa diminta. Bukankah ketika kita di dalam kandungan ibu kita belum pandai meminta tetapi Allah s.w.t telah memberi yang sebaik-baiknya kepada kita. Allah s.w.t yang telah memberi ketika kita belum pandai meminta itu jugalah Tuhan kita sekarang ini dan sifat murah-Nya yang sekarang ini separti yang dahulu itu juga. Ketika kita belum pandai meminta kita mempercayai-Nya sepenuh hati mengapa pula bila kita sudah pandai meminta kita menjadi ragu-ragu terhadap kemurahan-Nya. Perhatikanlah, jika kita masih meminta-minta itu tandanya belum bulat penyerahan kita kepada-Nya. Penting bagi orang yang melatihkan dirinya untuk dipersiapkan menemui Tuhan membulatkan penyerahan kepada-Nya tanpa keraguan sedikit pun.

Ketika membincangkan Hikmat 28 telah diuraikan keadaan orang yang telah memperolehi perkaitan dengan hakikat. Kesempatan mengalami hakikat bukanlah akhir pencapaian. Seseorang haruslah mencapai makam keteguhan hati sebelum mencapai makam kewalian. Pada makam kewalian si hamba dikurniakan penjagaan dan perlindungan-Nya. Orang yang belum sampai kepada keteguhan hati tidak lepas dari mengajukan permintaan kepada Allah s.w.t. Permintaannya bukan lagi berbentuk duniawi atau ukhrawi tetapi yang dimintanya ialah keteguhan hati, penjagaan dan pelindungan-Nya. Permintaan orang yang berada pada peringkat ini menunjukkan dia belum bebas sepenuhnya dari sifat-sifat kemanusiaan yaitu dia belum mencapai fana hakiki. Orang yang berada pada peringkat ini haruslah berhati-hati dengan pencapaiannya. Janganlah terpedaya dengan perolehan makrifat karena makrifat itu juga merupakan ujian.

Ketahuilah jika seseorang mendatangi Allah s.w.t berbekalkan amal maka Allah s.w.t menyambutnya dengan  perhitungan. Jika amalnya dihisab dengan teliti niscaya tidak ada satu pun yang layak dipersembahkan kepada Allah s.w.t. Jika dia mendatangi-Nya dengan ilmu pengetahuan maka Allah s.w.t menyambutnya dengan tuntutan. Ilmunya tidak mampu menyatakan kebenaran yang hakiki. Jika dia mendatangi-Nya dengan makrifat maka Allah s.w.t menyambutnya dengan hujah. Dia tidak akan dapat memperkenalkan Allah s.w.t.

Oleh itu singkirkan tuntutan dan pilihan agar Allah s.w.t tidak membuat tuntutan kepada kita. Lepaskan ilmu kita, amal kita, makrifat kita, sifat kita, nama kita dan segala-galanya agar kita menemui Allah s.w.t seorang diri tanpa sebarang bekal. Jika mau mencapai keadaan ini ikhlaskan hati untuk semua amal perbuatan kita. Baikkan niat dan bersabar tanpa mengeluh atau membuat tuntutan. Kemudian naik kepada rido dengan hukum-Nya. Insya’ Allah kita akan menemui-Nya, yaitu pertemuan ubudiyah dengan Rububiah.

Suasana yang disebutkan di atas telah digambarkan oleh Rasulullah s.a.w dengan sabda baginda s.a.w yang bermaksud: “Tidak ada amalan anak Adam yang melepaskan dirinya dari azab Allah s.w.t melebihi amalan berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Baginda s.a.w juga bersabda yang bermaksud: “Berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Barangsiapa menghabiskan waktunya berzikir kepada-Ku, tanpa meminta kepada-Ku, niscaya Aku berikan kepadanya yang lebih utama daripada apa yang Aku berikan kepada mereka yang meminta’”.

Zikir yang sebenar adalah penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t dalam segala perkara agama baik yang mengenai dunia maupun yang mengenai akhirat. Sembahyangnya, ibadatnya, hidupnya dan matinya hanya karena Allah s.w.t semata-mata. Dia bersembahyang, beribadat dan melakukan sesuatu pekerjaan atau perbuatan karena mengabdikan diri kepada Allah s.w.t. Sekiranya Allah s.w.t tidak menjadikan syurga dan neraka, juga tidak mengadakan dosa dan pahala, maka sembahyangnya, ibadatnya, pekerjaannya dan perbuatannya tetap juga serupa. Mutu kerja yang dia menerima upah dan kerja yang dia tidak menerima upah adalah serupa. Hatinya tidak cenderung untuk memerhatikan upah karena apa saja yang dia lakukan adalah karena Allah s.w.t. Hatinya bukan saja tidak memerhatikan upah daripada manusia, bahkan ia juga tidak mengharapkan apa-apa balasan dari Allah s.w.t. Kekuatan untuk mengingati Allah s.w.t dan berserah diri kepada-Nya merupakan ‘upah’ yang sangat besar, tidak perlu lagi menuntut upah yang lain.

Hamba yang zikirnya sudah larut ke dalam penyerahan, segala urusan hidupnya diuruskan oleh Tuhannya. Dia adalah umpama bayi yang baru lahir, senantiasa dipelihara, dijaga dan dilindungi oleh ibunya. Pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan Allah s.w.t melebihi apa juga yang mampu dikeluarkan oleh makhluk. Hamba yang Allah s.w.t masukkan ke dalam daerah pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan-Nya itu dipanggil wali Allah, yaitu hamba yang dipelihara, dijaga dan dilindungi oleh Allah s.w.t daripada lupa kepada-Nya, derhaka kepada-Nya, hilang pergantungan kepada-Nya dan juga daripada gangguan makhluk-Nya.

30: QADAR YANG LEBIH HALUS

TIADA SATU NAFAS TERLEPAS DARIPADA KAMU MELAINKAN DI SITU PULA ADA QADAR YANG BERLAKU DI ATAS KAMU.

Persoalan Qadar telah disentuh pada Hikmat 3 dan kembali disentuh oleh Hikmat 30 ini. Persoalan Qadar dibangkit semulai setelah disinggung tentang permintaan atau doa yang bermaksud tuntutan terhadap Allah s.w.t. Tuntutan-tuntutan timbul lantaran kurang menghayati tentang Qadar. Kini kita diajak merenung perkara Qadar kepada yang sangat halus yaitu satu nafas yang terjadi kepada kita. Kita kurang memerhatikan tentang nafas karena ia terjadi secara spontan, tanpa bersusah payah dan kita anggap remeh untuk diperhatikan. Sekarang perkara yang kita anggap remeh inilah yang hendak kita perhatikan dengan saksama. Apakah berbeda perkara yang dianggap remeh dengan perkara yang dianggap besar dalam perkaitannya dengan perjalanan Qadar. Kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri adakah setiap nafas yang kita hembuskan itu berlaku secara percuma, tanpa perkiraan, tidak mengikut sukatan yang Allah s.w.t tentukan? Adakah apabila kita hembuskan satu nafas hanya nafas saja yang berlaku atau pada masa yang sama berbagai-bagai lagi Qadar yang terjadi? Perkara yang dianggap kecil ini haruslah direnung dengan mendalam agar kita mendapat pengartian tentang Qadar secara terperinci.
 
Nafas ialah udara yang keluar masuk pada badan kita melalui mulut dan hidung. Satu hembusan udara yang keluar dari badan kita dipanggil satu nafas. Nafas ini penting bagi jasmani kita. Nafas menjadi nyawa kepada diri kita yang zahir. Penghidupan diri yang zahir diukur dengan perjalanan nafas. Kita biasanya menyukat umur kita dengan kiraan tahun. Kita tidak menyukat umur kita dengan kiraan bulan, apa lagi kiraan hari dan jam. Sebenarnya sukatan yang tepat tentang umur ialah nafas. Berapa jutaan hembusan nafas itulah umur kita.

Kita melihat Qadar sebagai ketentuan Ilahi yang berlaku kepada kita dalam sekop yang luas. Sikap memandang Qadar secara meluas menyebabkan kita terlindung untuk melihatnya pada setiap detik dan setiap kejadian. Sebab itu kita sering terkeluar daripada berpegang kepada Qadar. Andainya kita memandang hidup secara tepat yaitu dengan hitungan nafas niscaya kita akan melihat Qadar secara halus sebagaimana halusnya kiraan nafas. Dapatlah kita menghayati benar-benar bahwa pada setiap hembusan nafas itu berlaku Qadar menurut ketentuan Ilahi. Jumlah udara yang keluar masuk pada badan kita bagi setiap perjalanan nafas adalah menurut sukatan yang Allah s.w.t tentukan.

Jumlah nafas yang akan kita hembuskan juga telah ditentukan oleh Allah s.w.t dan apabila  jumlah nafas yang telah disediakan untuk kita itu habis maka kita akan mati. Jika kita dapat melihat perjalanan Qadar hingga kepada peringkat yang halus ini, niscaya pandangan mata hati kita tidak akan terlepas daripada melihat Qadar pada setiap detik dan pada setiap kejadian. Kita akan melihat bahwa jumlah air hujan yang bartitik di atas bumbung rumah kita adalah mengikut sukatan yang telah ditentukan Allah s.w.t. Bilangan debu yang berterbangan juga ditentukan Allah s.w.t. Helaian rambut yang gugur dari kepala kita juga ditentukan Allah s.w.t.

Panjang, lebar dan dalam luka yang kita alami ketika berlaku kemalangan juga ditentukan Allah s.w.t. Tidak ada satu pun yang menyimpang dari Qadar menurut ketentuan Ilahi. Sesungguhnya Allah s.w.t, al-Latif, Maha Halus, tidak ada sesuatu yang terkeluar daripada perkiraan dan penkehendakan-Nya. Tidak ada sesuatu yang terlepas daripada sukatan dan timbangan-Nya. Semua makhluk berjalan di atas landasan Qadar yang diaturkan-Nya. Sesungguhnya Allah s.w.t tidak sekali-kali lalai, tidur atau keliru. Apa yang Dia tentukan itulah yang berlaku. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana, tidak ada yang sumbang pada penciptaan dan perjalanan penciptaan-Nya.

Tiada sesuatupun dari makhluk-makhluk yang bergerak di muka bumi melainkan Allah jualah yang menguasainya. Sesungguhnya Tuhanku tetap di atas jalan yang lurus. ( Ayat 56 : Surah Hud )

MTidak ada sesuatu kesusahan (atau bala bencana) yang ditimpakan  di bumi, dan tidak juga yang menimpa diri kamu, melainkan telah sedia ada di dalam Kitab (pengetahuan Kami) sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya mengadakan  yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. ( Ayat 22 : Surah al-Hadiid )

Allah s.w.t mengadakan ketentuan sejak azali. Tidak ada siapa yang tahu tentang ketentuan Allah s.w.t. Malaikat hanya menjalankan perintah-Nya. Apa yang pada sisi malaikat boleh diubah oleh-Nya, tetapi apa yang pada sisi-Nya tidak pernah berubah. Malaikat menjalankan tugas dan manusia melakukan kewajiban. Tuhan yang memiliki ketentuan yang mutlak. Doa dan amal manusia mungkin menjadi asbab kepada berlakunya perubahan pada apa yang berada dengan malaikat yang menjalankan tugas, jika Tuhan izinkan, tetapi ia tidak mengubah apa yang pada sisi Tuhan. Ilmu Tuhan meliputi yang awal dan yang akhir. Segala sesuatu telah ada pada Ilmu-Nya sebelum ia berlaku lagi. Urusan yang demikian sangat mudah bagi Allah s.w.t. Malaikat dan manusia tidak memiliki ilmu yang demikian. Malaikat semata-mata patuh kepada apa yang Allah s.w.t perintahkan. Manusia pula perlu bergerak pada makamnya dan berusaha meningkatkan perkembangan kerohaniannya sehingga dia menjadi sesuai dengan kehendak Allah s.w.t.


...bersambung