Thursday 23 February 2012

> 31-50 AL HIKAM



31: PELUANG MENDEKATI ALLAH S.W.T

JANGAN MENANTIKAN SELASAII SEGALA HALANGAN, KARENA YANG DEMIKIAN AKAN MENUJUNG KAMU DARI MENDEKATI ALLAH S.W.T MELALUI SESUATU YANG ENGKAU DIDUDUKKAN DI DALAMNYA.

Setelah merenung  Hikmat yang lalu kita telah dapat melihat dan menghayati persoalan  Qadar secara terperinci hingga kepada batas hembusan satu nafas. Pada setiap ketika kita didudukkan di dalam medan Qadar. Qadar membawa kepada kita kejadian, suasana, rupa bentuk, nama-nama dan lain-lain. Masing-masing menarik hati kita kepadanya. Apa saja yang bartindak menarik hati menjadi penghalang untuk kita mendekati Allah s.w.t. Oleh sebab perjalanan Qadar tidak akan berhenti maka kewujudan halangan-halangan juga tidak akan habis. Jika kita lemas di dalam lautan Qadar, pandangan kita disilaukan oleh warna-warnanya dan kita dimabukkan oleh gelombangnya, maka selama-lamanya kita akan terhijab dari Allah s.w.t. 


Tujuan kita beriman kepada Qada dan Qadar bukanlah untuk kita lemas di dalam lautannya. Kita hendaklah tahu mengikuti rentak ombaknya dan tiupan anginnya sambil perhatian kita tertuju kepada daratan, bukan membiarkan diri kita terkubur di dasar laut. Ketika menghadapi ombak Qadar kita hendaklah menjaga perahu yang kita naiki. Perahu tersebut ialah sama ada perahu asbab atau perahu tajrid. Jika kita menaiki perahu asbab kita perlu berdayung dan menjaga kemudinya sesuai mengikut perjalanan sebab musabab. Jika kita berada dalam perahu tajrid kita akan ditolak oleh kuasa enjin tajrid tetapi kita masih perlu mengawal kemudinya agar tidak lari dari daratan yang dituju.


Setiap Qadar yang sampai kepada kita membawa kita memasuki ruang dan waktu. Pada setiap ruang dan waktu yang kita ditempatkan itu ada kewajiban yang perlu kita laksanakan. Ia merupakan amanah yang dipertaruhkan oleh Allah s.w.t kepada kita. Qadar adalah utusan yang mengajak kita memerhatikan perbuatan Allah s.w.t, sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya dan Zat-Nya Yang Maha Suci, Maha Mulia dan Maha Tinggi. Tidak ada satu Qadar, tidak ada satu ruang dan waktu yang padanya tidak terdapat ayat-ayat atau tanda-tanda yang menceritakan tentang Allah s.w.t. Kegagalan untuk melihat kepada ayat-ayat  Allah s.w.t itu adalah karena perhatian hanya tertumpu kepada makhluk dan kejadian yang menjadi sebab musabab yang dibawa oleh Qadar yang menempati sesuatu ruang  dan waktu itu. Apabila perhatian tertumpu kepada makhluk dan kejadian maka makhluk dan kejadian itu menjadi hijab antara hamba dengan Allah s.w.t. 


Hamba akan melihat makhluk dan kejadian mempunyai kesan terhadap sesuatu dan dia lupa kepada kekuasaan Allah s.w.t yang mengawal segala sesuatu itu. Kewajiban si hamba ialah menghapuskan hijab tersebut agar apa juga Qadar, ruang dan waktu yang dia berada di dalamnya, dia tetap melihat kepada ayat-ayat Allah s.w.t. Hatinya tidak putus bergantung kepada Allah s.w.t. Ingatannya tidak luput dari mengingati Allah s.w.t. Mata hatinya tidak lepas dari memerhatikan sesuatu tentang Allah s.w.t. Ingatan dan perasaannya senantiasa bersama Allah s.w.t. Setiap Qadar, ruang dan waktu adalah kesempatan baginya mendekati Allah s.w.t.

Hati kita boleh mengarah kepada dunia atau kepada akhirat ketika menerima kedatangan sesuatu Qadar. Biasanya tarikan kepada dunia kita anggapkan sebagai halangan sementara tarikan kepada akhirat kita anggap sebagai jalan yang menyampaikan. Sebenarnya kedua-duanya adalah halangan karena kedua-duanya adalah alam atau makhluk yang Tuhan ciptakan. Syurga, bidadari, Kursi dan Arasy adalah makhluk yang Tuhan ciptakan. Alam ini kesemuanya adalah gelap gelita, yang meneranginya adalah karena nampaknya Allah s.w.t padanya (Hikmat 14). Alam adalah cermin yang memperlihatkan cahaya Allah s.w.t yang padanya ada kenyataan Allah s.w.t. Oleh yang demikian walau di dalam Qadar apa sekali pun kita berada, kesempatan untuk melihat Allah s.w.t dan mendekat kepada-Nya tetap ada. Kesempatan ini adalah hak Allah s.w.t terhadap hamba-Nya. Hak ini wajib ditunaikan pada waktu itu juga, tidak boleh ditunda  kepada waktu yang lain, karena pada waktu yang lain ada pula hak Allah s.w.t yang lain.


Setengah ulama memfatwakan bahwa sembahyang yang terlepas dari waktunya boleh dilakukan semulai secara qada. Sekali pun sembahyang boleh dibuat secara qada tetapi hak Allah s.w.t yang telah terlepas tidak boleh diqada. Hamba yang benar-benar menyempurnakan kewajibannya terhadap hak Allah s.w.t ialah yang tidak berkelip mata hatinya memandang kepada Allah s.w.t, tidak kira didudukkan dalam suasana atau Qadar apa sekalipun. Setiap waktu dan ruang yang dimasukinya adalah jembatan yang menghubungkannya dengan Tuhannya.

32: SIFAT KEHIDUPAN DUNIAWI

JANGAN MENGHAIRANKAN KAMU LANTARAN TERJADI KEKERUHAN KETIKA KAMU BERADA DI DALAM DUNIA KARENA SESUNGGUHNYA KEKERUHAN ITU TIDAK TERJADI MELAINKAN KARENA BEGITULAH YANG PATUT TERJADI DAN ITULAH SIFATNYA (DUNIA) YANG ASLI.

Hikmat yang lalu menyingkap halangan secara umum dan  Hikmat 32 ini pula mengkhususkan kepada dunia sebagai hijab yang menutupi pandangan hati terhadap Allah s.w.t. Halangan inilah yang banyak dihadapi oleh manusia. Manusia menghadapi peristiwa yang berlaku di dalam dunia dengan salah satu dari dua sikap yaitu sama ada mereka melihat apa yang terjadi adalah akibat perbuatan makhluk ataupun mereka memandangnya sebagai perbuatan Tuhan. Hikmat 32 ini menjuruskan kepada golongan yang melihat peristiwa yang berlaku dalam dunia sebagai perbuatan Tuhan tetapi mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Tuhan dalam perbuatan-Nya.

Manusia yang telah memperolehi keinsafan dan hatinya sudah beransur bersih, dia akan cenderung untuk mencari kesempurnaan. Dia sangat ingin untuk melihat syariat Allah s.w.t menjadi yang termulia di atas muka bumi ini. Dia sangat ingin melihat umat Nabi Muhammad s.a.w menjadi pemimpin kepada sekalian umat manusia. Dia ingin melihat semua umat manusia hidup rukun damai Dia inginkan segala yang baik-baik dan sanggup berkorban untuk mendatangkan kebaikan kepada dunia. Begitulah sebagian daripada keinginan yang lahir di dalam hati orang yang hatinya sudah beransur bersih. Tetapi, apa yang terjadi adalah kebalikan daripada apa yang menjadi hasrat murni si hamba Allah s.w.t yang insaf itu. Huru hara berlaku dimana-mana. Pembunuhan berlaku di sana sini. Umat Islam ditindas di merata tempat. Kezaliman dan ketidak-adilan berlaku dengan berleluasa. Seruan kepada kebaikan tidak diendahkan. Ajakan kepada perdamaian tidak dipedulikan. Perbuatan maksiat terus juga dilakukan tanpa segan-silu.


Si hamba tadi melihat kekeruhan yang terjadi di dalam dunia dan merasakan separti mata tombak menikam ke dalam hatinya. Hatinya merintih, “Agama-Mu dipermainkan, di manakah pembelaan dari-Mu wahai Tuhan! Umat Islam ditindas, di manakah pertolongan-Mu Wahai Tuhan! Seruan kepada jalanMu tidak disambut, apakah Engkau hanya berdiam diri wahai Tuhan! Manusia melakukan kezaliman, kemaksiatan dan kemunkaran, apakah Engkau hanya membiarkan wahai Tuhan?” Beginilah keadaan hati orang yang merasa hairan melihat kekeruhan kehidupan dunia ini dan dia tidak berkuasa menjernihkannya. Allah s.w.t menjawab keluhan hamba-Nya dengan firmanNya:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”. Mereka bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): “Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan), padahal kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan mensucikan-Mu?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak mengetahuinya”. ( Ayat 30 : Surah al-Baqarah )

Para malaikat sudah dapat membayangkan tentang kehidupan dunia yang akan dijalani oleh makhluk berbangsa manusia sebelum lagi manusia pertama diciptakan. Sifat dunia yang dinyatakan oleh malaikat ialah huru-hara dan pertumpahan darah. Dunia adalah ibu sementara huru-hara dan pertumpahan darah adalah anaknya. Ibu tidak melahirkan kecuali anak dari jenisnya juga. Kelahiran huru-hara, peperangan, pembunuhan dan sebagainya di dalam dunia adalah sesuatu yang seharusnya terjadi di dalam dunia, maka tidak perlu dihairankan. Jika terdapat kedamaian dan keharmonian di sana sini di dalam dunia, itu adalah sagu-hati  atau kelahiran yang tidak mengikut sifat ibunya. Seterusnya Allah s.w.t menceritakan tentang dunia:

Allah berfirman, “Turunlah kamu semuanya, dengan keadaan setengah  kamu menjadi musuh bagi setengahnya yang lain, dan bagi kamu disediakan tempat kediaman di bumi, dan juga diberi kesenangan hingga ke suatu ketika (mati)”. ( Ayat 24 : Surah al-A’raaf )

Allah berfirman lagi : “Di bumi itu kamu hidup dan di situ juga kamu mati, dan daripadanya pula kamu akan dikeluarkan (dibangkitkan hidup semulai pada hari kiamat)”. ( Ayat 25 : Surah al-A’raaf)

Tiap-tiap yang bernyawa akan merasai mati, dan bahwasanya pada hari kiamat sajalah akan disempurnakan balasan kamu. Ketika itu siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke  syurga maka sesungguhnya ia telah berjaya. Dan (ingatlah bahwa) kehidupan di dunia ini (meliputi segala kemewahannya dan pangkat kebesarannya) tidak lain hanyalah kesenangan bagi orang-orang  yang terpedaya. ( Ayat 185 : Surah a-li ‘Imraan )

Allah s.w.t menerangkan dengan jelas tentang sifat-sifat dunia yang dihuni oleh manusia. Manusia bermusuhan sesama sendiri, saling rusak merusakkan dan kesenangannya adalah tipu daya. Segala perkiraan dan pembalasan yang berlaku di dalam dunia ini tidak sempurna.

Manusia dibagikan kepada dua golongan yaitu yang beriman dan yang tidak beriman. Golongan yang tidak beriman menerima upah terhadap kebaikan yang mereka lakukan semasa di dunia ini lagi dan di akhirat kelak mereka tidak boleh  menuntut apa-apa lagi dari Tuhan. Janganlah menghairankan dan mendukacitakan sekiranya Tuhan membalas kebaikan mereka ketika mereka masih hidup di dalam dunia dengan memberikan kepada mereka berbagai-bagai kelebihan dan kemewahan. Mereka tidak berhak lagi menuntut nikmat akhirat dan tempat kembali mereka di sana kelak ialah neraka jahanam. Begitu juga janganlah menghairankan dan mendukacitakan sekiranya orang-orang yang beriman dan beramal salih terpaksa menghadapi penderitaan dan penghinaan semasa hidup di dunia. Dunia ini tidak layak menjadi tempat buat Allah s.w.t membalas kebaikan mereka. Balasan kebaikan dari Allah s.w.t sangat tinggi nilainya, sangat mulia dan sangat agung, tidak layak dimuatkan di dalam dunia yang hina dan rendah ini. Dunia hanyalah tempat hidup, beramal dan mati. Bila berlaku kiamat kita akan dibangkitkan dan menunggu kita adalah negeri yang abadi.

33: SANDARKAN NIAT KEPADA ALLAH S.W.T

TIDAK SIA-SIA SESUATU MAKSUD APABILA DISANDARKAN KEPADA ALLAH S.W.T DAN TIDAK MUDAH TERCAPAI TUJUAN JIKA DISANDARKAN KEPADA DIRI SENDIRI.

Hikmat yang lalu menggambarkan keadaan hamba Allah s.w.t yang mempunyai maksud yang baik yaitu mau mengubah dunia supaya menjadi tempat kehidupan yang sentosa, tetapi ternyata gagal melaksanakan maksudnya apabila dia bersandar kepada kekuatan dirinya sendiri. Allah s.w.t menyifatkan dunia sebagai tempat huru-hara dan kekeruhan. Siapa yang memasukinya pasti berjumpa dengan keadaan tersebut. Kekuatan huru-hara dan kekeruhan yang ada pada dunia sangatlah kuat karena Allah s.w.t yang meletakkan hukum kekuatan itu padanya. Percobaan untuk mengubah apa yang Allah s.w.t tentukan akan menjadi sia-sia. Allah s.w.t yang menetapkan sesuatu perkara, hanya Dia saja yang dapat mengubahnya. Segala kekuatan, baik dan buruk, semuanya datang daripada-Nya. Oleh yang demikian jika mau menghadapi sesuatu kekuatan yang datang dari-Nya mestilah juga dengan kekuatan-Nya. Kekuatan yang paling kuat bagi menghadapi kekuatan yang dipunyai oleh dunia ialah kekuatan berserah diri kepada Allah s.w.t. Kembalikan semua urusan kepada-Nya. Rasulullah s.a.w telah memberi pengajaran dalam menghadapi bencana dengan ucapan dan penghayatan:

“Kami datang dari Allah. Dan kepada Allah kami kembali.”

Semua perkara datangnya dari Allah s.w.t dan akan kembali kepada Allah s.w.t juga. Misalnya, api yang dinyalakan, dari mana datangnya jika tidak dari Allah s.w.t dan ke mana perginya bila dipadamkan jika tidak kepada Allah s.w.t.

Apabila sesuatu maksud disandarkan kepada Allah s.w.t maka menjadi hak Allah s.w.t untuk melaksanakannya. Nabi Adam a.s mempunyai maksud yang baik yaitu mau menyebarkan agama Allah s.w.t di atas muka bumi ini dan menyandarkan maksud yang baik itu kepada Allah s.w.t dan Allah s.w.t menerima maksud tersebut. Setelah Nabi Adam a.s wafat, maksud dan tujuan beliau a.s diteruskan. Allah s.w.t memerintahkan maksud tersebut dipikul oleh nabi-nabi yang lain sehingga kepada nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad s.a.w. Setelah Nabi Muhammad s.a.w wafat ia dipikul pula oleh para ulama yang menjadi pewaris nabi-nabi. Ia tidak akan berhenti selama ada orang yang menyeru kepada jalan Allah s.w.t. Jika dipandang dari segi perjalanan pahala maka boleh dikatakan pahala yang diterima oleh Nabi Adam a.s karena maksud baiknya berjalan terus selama agama Allah s.w.t berkembang dan selagi ada orang yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya ini.

Maksud menyerah diri kepada Allah s.w.t, bersandar kepada-Nya dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya mesti difahami dengan mendalam. Kita hendaklah memasang niat yang baik, dan beramal bersesuaian dengan makam kita. Allah s.w.t yang menggerakkan niat itu dan melaksanakan amal yang berkenaan. Cara pelaksanaannya adalah hak mutlak Allah s.w.t. Kemungkinan kita tidak sempat melihat asas yang kita bina siap menjadi bangunan namun, kita yakin bangunan itu akan siap karena Allah s.w.t mengambil hak pelaksanaannya. Maksud dan tujuan kita tetap akan menjadi kenyataan walaupun kita sudah memasuki liang lahad. Pada masa kita masih hidup kita hanya sempat meletakkan batu asas, namun pada ketika itu mata hati kita sudah dapat melihat bangunan yang akan siap. Rasulullah s.a.w sudah dapat melihat perkara yang akan berlaku sesudah baginda s.a.w wafat, diantaranya ialah kejatuhan kerajaan Rum dan Parsi ke tangan orang Islam semasa pemerintahan khalifah ar-rasyidin. Sekalian nabi-nabi mursalin yang dibangkitan sebelum Nabi Muhammad s.a.w sudah dapat melihat kedatangan baginda s.a.w sebagai penutup dan pelengkap kenabian. Begitulah tajamnya pandangan mata hati mereka yang bersandar kepada Allah s.w.t dan menyerahkan kepada-Nya tugas mengurus.

Tidak ada jalan bagi seseorang hamba kecuali berserah diri kepada Tuannya. Semua Hikmat dari yang pertama hinggalah kepada yang ke 33 ini, sekiranya disambungkan akan membentuk satu landasan yang menuju satu arah yaitu berserah diri kepada Allah s.w.t. Hikmat-hikmat yang telah dipaparkan membicarakan soal pokok yang sama, disuluh dari berbagai-bagai sudut dan aspek supaya lebih jelas dan nyata bahwa hubungan sebenar seorang hamba dengan Tuhan ialah berserah diri, rido dengan perlakuan-Nya. Rasulullah s.a.w telah mewasiatkan kepada Ibnu Abbas r.a:

Apabila kamu bermohon, maka bermohonlah kepada Allah s.w.t. Apabila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah s.w.t. Dan, ketahuilah bahwa sekiranya sekalian makhluk saling bantu membantu kamu untuk memperolehi sesuatu yang tidak ditulis Allah s.w.t untuk kamu, pasti mereka tidak akan sanggup mengadakannya. Dan, sekiranya sekalian makhluk mau memudaratkan kamu dengan sesuatu yang tidak ditulis Allah s.w.t buat kamu, niscaya mereka tidak sanggup berbuat demikian. Segala buku telah terlipat dan segala pena telah kering.

34 & 35: PERMULAIAN DAN KESUDAHAN

TANDA AKAN BERJAYA PADA AKHIR PERJUANGAN ADALAH KUAT MENYERAH DIRI KEPADA ALLAH S.W.T PADA AWAL PERJUANGAN.
BARANGSIAPA CEMERLANG PERMULAIANNYA, AKAN CEMERLANGLAH KESUDAHANNYA.

Hikmat 34 merumuskan intisari kesemua Kalam Hikmat yang diuraikan terlebih dahulu. Berserah diri kepada Allah s.w.t, bertawakal kepada-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya adalah jalan untuk mendekati Allah s.w.t. Kesemua ini boleh diibaratkan sebagai kendaraan, sementara ilmu dan amal diibaratkan sebagai roda. Siapa yang hanya membina roda tetapi tidak membina kendaraan maka dia akan memikul roda bukan menaiki kendaraan. Dia akan keletihan dan berhenti di tengah jalan sambil asyik bermain-main dengan roda separti kanak-kanak.

Persoalan menyerah diri sering menimbulkan kekeliruan kepada orang yang berlarutan membincangkan mengenainya. Suasana hati dan derajat akal mengeluarkan berbagai-bagai uraian tentang berserah diri kepada Allah s.w.t. Ada orang beranggapan berserah diri adalah berpeluk tubuh, tidak melakukan apa-apa. Ada pula berpendapat orang yang berserah diri itu hidup dalam ibadat semata-mata, tidak memperdulikan kehidupan harian. Banyak lagi anggapan dan pendapat yang dikemukakan dalam menjelaskan mengenai berserah diri. Sifat orang yang berserah diri adalah merujuk sesuatu perkara yang diperselisihkan kepada Allah s.w.t. Mereka tidak taasub memegang sesuatu fahaman yang diperolehi melalui fikirannya atau pendapat orang lain. Mereka bersedia melepaskan fahaman dan pendapat peribadi sekiranya ia bercanggah dengan peraturan dan hukum Tuhan. Sewaktu hidup di dalam dunia ini lagi mereka mengembalikan segala urusan kepada Allah s.w.t karena mereka yakin bahwa diri mereka dan urusan mereka akan kembali juga kepada Allah s.w.t di akhirat kelak. Perjumpaan dengan Allah s.w.t di akhirat menguasai tindakan mereka sewaktu hidup di dunia ini.

Dan (katakanlah wahai Muhammad kepada pengikut-pengikutmu): “Apa jua perkara agama yang kamu berselisihan  padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim yang demikian kekuasaan-Nya ialah Allah Tuhanku; kepada-Nya jualah aku berserah diri dan kepada-Nya jualah aku rujuk kembali (dalam segala keadaan)”. ( Ayat 10 : Surah asy-Syura )

Orang yang berserah diri kepada Allah s.w.t, mengembalikan urusan mereka kepada-Nya, meyakini bahwa golongan manusia yang benar-benar mengarti kehendak Allah s.w.t adalah golongan nabi-nabi. Oleh itu pegangan dan tindakan para anbia mesti dijadikan sandaran dalam membentuk pegangan peribadi dan juga dalam melakukan tindakan.

Dan ia (Yaakub) berkata lagi: “Wahai anak-anakku! Janganlah kamu masuk (ke bandar Mesir) dari sebuah pintu saja, tetapi masuklah dari beberapa buah pintu yang berlain-lain. Dan aku (dengan nasehatku ini), tidak dapat menyelamatkan  kamu dari sesuatu takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Kuasa menetapkan sesuatu (sebab dan musabab) itu hanya tertentu bagi Allah. Kepada-Nya jualah aku berserah diri, dan kepada-Nya jualah hendaknya berserah diri orang-orang yang mau berserah diri”. ( Ayat 67 : Surah Yusuf )

Ayat di atas menceritakan sifat berserah diri yang ada pada Nabi Yaakub a.s. Beliau a.s menasehatkan anak-anaknya yang sebelas orang itu memasuki kota Mesir melalui pintu-pintu yang berlainan. Ia menunjukkan Nabi Yaakub a.s mengakui tuntutan berikhtiar sebagaimana kedudukan mereka sebagai manusia. Walaupun begitu Nabi Yaakub a.s mengingatkan pula anak-anaknya bahwa mengikuti nasehat beliau a.s bukanlah jaminan yang anak-anaknya akan selamat dan mendapatkan apa yang mereka cari. Ikhtiar pada zahir mesti disertai dengan iman pada batin. Orang yang beriman meyakini bahwa Allah s.w.t saja yang mempunyai kuasa penentuan. Oleh yang demikian orang yang beriman dituntut agar berserah diri kepada Allah s.w.t saja, tidak berserah diri kepada yang lain, sekalipun yang lain itu adalah malaikat, wali-wali ataupun ayat-ayat Allah s.w.t. Allah s.w.t yang menguasai malaikat, wali-wali dan ayat-ayat-Nya. Penyerahan bulat kepada Allah s.w.t bukan kepada sesuatu yang dinisbahkan kepada-Nya. Perkara ini dinyatakan oleh Nabi Hud a.s sebagaimana yang diceritakan oleh ayat berikut:

“Karena sesungguhnya aku telah berserah diri kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu! Tiadalah sesuatupun dari makhluk-makhluk yang bergerak di muka bumi melainkan Allah jualah yang menguasainya. Sesungguhnya Tuhanku tetap di atas jalan yang lurus”. ( Ayat 56 : Surah Hud )

Tuhan berada di atas jalan yang lurus. Tuhan tidak mengantuk, tidak lalai, tidak keliru dan tidak melakukan kesidelapan. Apa saja yang Tuhan lakukan adalah benar dan tepat. Tuhan berbuat sesuatu atas dasar ketuhanan dan dengan sifat ketuhanan, tidak ada pilih kasih. Dia adalah Tuhan Yang Maha Adil. Pekerjaan-Nya adalah adil. Dia adalah Tuhan Yang Maha Mengarti dan Maha Bijaksana. Pekerjaan-Nya adalah sempurna, teratur dan rapi. Dia adalah Tuhan Pemurah dan Penyayang. Pekerjaan-Nya tidak ada yang zalim. Tuhan yang memiliki sifat-sifat ketuhanan yang baik-baik itu mengadakan peraturan untuk diikuti. Mengikuti peraturan-Nya itulah penyerahan kepada-Nya. Nabi-nabi dan orang-orang yang beriman diperintahkan supaya menyampaikan kepada umat manusia apa yang datang daripada Allah s.w.t. Pekerjaan manusia adalah menyampaikan. Jika apa yang disampaikan itu tidak diterima, maka serahkannya kepada Allah s.w.t. Dia memiliki Arasy yang besar, yang memagari sekalian makhluk. Tidak ada makhluk yang dapat menembusi Arasy-Nya. Arasy-Nya adalah pagar Qadar. Apa yang dia ciptakan dan tentukan untuk makhluk-Nya dipagari oleh Arasy.

Kemudian jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah (wahai Muhammad): “cukuplah bagiku Allah (yang menolong dan memeliharaku), tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; kepada-Nya aku berserah diri, dan Dia jualah yang mempunyai Arasy yang besar”. ( Ayat 129 : Surah at-Taubah )

Tauhid  adalah kesudahan pencapaian. Pada peringkat ini, syirik tidak ada lagi walaupun sebesar zarah. Dalam proses mencapai tauhid perlu ada pengasingan dan perbedaan antara Tuhan dengan yang selain Tuhan. Tidak boleh diadakan sekutu bagi Tuhan. Tidak boleh meletakkan anasir alam, amal, doa dan sebagainya pada kedudukan yang boleh menyebabkan timbul anggapan yang selain Tuhan itu mampu mengaburkan kekuasaan Tuhan. Tidak boleh terjadi ketaatan dan penyayangan terhadap sesuatu melebihi ketaatan dan penyayangan terhadap Allah s.w.t.

Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika bapa-bapa kamu, dan anak-anak kamu, dan saudara-saudara kamu, dan isteri-isteri (atau suami-suami) kamu, dan kaum keluarga kamu, dan harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu bimbang akan merosot, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, - (jika semuanya itu) menjadi perkara-perkara yang kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad untuk agama-Nya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab seksa-Nya); karena Allah tidak akan memberi petunjuk  kepada orang-orang yang fasiq (derhaka)”. ( Ayat 24 : Surah at-Taubah )

Perlu difahamkan bahwa sekalipun hamba telah berserah diri kepada Allah s.w.t, tanpa Allah s.w.t menerimanya tidak mungkin tercapai tujuannya. Penerimaan Allah s.w.t yang benar-benar membawa hamba kepada-Nya. Tanda Allah s.w.t menerima hamba-Nya ialah terdapat kecemerlangannya dimasa permulaian. Berlaku perubahan-perubahan kepada diri si hamba itu. Sifat buruknya terbuang dan sifat terpuji menghiasinya. Dia menjadi gemar beribadat dan berbuat taat. Semakin jauh perjalanannya semakin cemerlang hatinya. Dia diterangi oleh Nur Ilahi dan dikurniakan ilmu laduni, yaitu ilmu mengenal Allah s.w.t. Nur Makrifat menyinarinya, maka kenallah dia pada Tuhannya.

36: BATINIAH MEMPENGARUHI  LAHIRIAH

APA YANG TERSIMPAN DALAM KEGHAIBAN RAHASIA HATI BERBEKAS NYATA PADA ZAHIRNYA.

Allah s.w.t mengurniakan kepada hati hamba-hamba-Nya yang bagia dengan Nur Zikir, Nur Kalbu, Nur Akal, Nur Iman dan Nur Makrifat. Kurniaan Allah s.w.t yang demikian itu merupakan rahasia-rahasia yang tidak diketahui oleh makhluk. Setiap hamba yang dibawa ke Hadrat-Nya mempunyai rahasia sendiri dan tidak diketahui oleh hamba-hamba yang lain, walaupun mereka berada pada tingkatan yang sama. Seorang guru pun tidak tahu rahasia muridnya dengan Tuhannya. Apa yang Allah s.w.t kurniakan kepada seorang hamba pilihan-Nya tidak serupa dengan yang dikurniakan kepada hamba pilihan yang lain. Kurniaan Allah s.w.t kepada seorang nabi berbeda daripada kurniaan terhadap nabi-nabi yang lain. Kurniaan Allah s.w.t yang tersimpan dalam keghaiban rahasia hati itu menjadi penggerak kepada pembentukan diri seseorang, hingga dia dapat dikenal dan dibedakan daripada orang lain. Kurniaan Rahasia Allah s.w.t kepada Isa a.s menyebabkan beliau a.s dikenali sebagai Roh Allah. Kurniaan Rahasia Allah s.w.t kepada Musa a.s menyebabkan beliau a.s dikenali sebagai Kalim Allah. Kurniaan Rahasia Allah s.w.t kepada Ibrahim a.s menyebabkan beliau a.s dikenali sebagai Khalil Allah. Kurniaan Rahasia Allah kepada Muhammad s.a.w menyebabkan baginda s.a.w dikenali sebagai Habiballah. Aulia Allah s.w.t juga menerima kurniaan Rahasia Allah s.w.t dan masing-masing memiliki keperibadian yang tersendiri

Nur Ilahi yang menyinari hati seseorang akan mengubah suasana hati itu dan sekaligus perwatakan dan perawakan orang itu. Perubahan pada perwatakan dapat dilihat pada tingkah-laku dan perbuatan. Sinaran Nur Zikir akan melahirkan seorang yang gemar berzikir, mengingati Allah s.w.t semasa duduk, berdiri, ketika sendirian dan juga ketika berada  dalam perkumpulan. Lidahnya senantiasa basah dengan sebutan nama-nama Allah s.w.t. Sinaran Nur Kalbu akan membuat seseorang berdelapang dada, tidak cemas menghadapi ujian dan gemar mendekati Allah s.w.t. Sinaran Nur Akal akan melahirkan sikap suka bertafakur sehingga terbukalah kepadanya Rahasia-rahasia ketuhanan yang menjadi penggerak kepada perjalanan alam maya ini. Muncullah dari lidahnya Kalam Hikmat yang mempesonakan siapa saja yang mendengarnya. Sinaran Nur Iman mengwujudkan keyakinan yang tidak berbelah bagi kepada perkara ghaib yang dialaminya sekalipun fikiran tidak dapat menerimanya. Kepercayaan dan keyakinannya tidak bergoncang lantaran mendapat bantahan dan sindiran. Sinaran Nur Makrifat menerangi mata hati untuk mengenal Allah s.w.t, melihat-Nya pada semua kejadian. Tidak kabur pandangan mata hatinya lantaran kekeruhan-kekeruhan yang berlaku di dalam dunia ini. Tidak terbalik pandangan mata hatinya lantaran mendapat kemuliaan dan kekeramatan.

Nur Ilahi bukan saja mengubah perwatakan tetapi juga mengubah perawakan. Bukan rupa-bentuk muka yang berubah tetapi cahaya pada wajahnya yang berubah, menyebabkan siapa saja yang melihatnya akan merasa senang. Misalnya, cahaya Nur Ilahi yang gilang gemilang menyinari wajah Yusuf a.s telah mempesonakan wanita-wanita Mesir sehingga mereka tidak sadar menghiris jari sendiri dan tidak merasai sakitnya akibat terpukau memandang keindahan wajah Yusuf a.s. Begitulah kuatnya kesan sinaran Nur Ilahi yang tersembunyi secara ghaib di dalam hati rohani hamba-hamba Allah s.w.t yang dipilih untuk memperolehinya.

Anugerah Allah s.w.t, yaitu nur-nur, kepada hati hamba-hamba-Nya yang beriman menjadi daya dan upaya bagi hati untuk berpegang kuat kepada tauhid, mencintai segala yang bersesuaian dengan Islam dan membencii segala bentuk kekufuran. Daya dan upaya nur yang pada hati ternyata melalui perbuatan dan juga wajah orang berkenaan.

"Nabi Muhammad (s.a.w) ialah Rasul Allah; dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaliknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama sendiri (umat Islam). Engkau melihat mereka tetap beribadat rukuk dan sujud, dengan mengharapkan limpah kurnia (pahala) dari Tuhan mereka serta mengharapkan keridoan-Nya. Tanda yang menunjukkan mereka (sebagai orang-orang yang salih) terdapat pada muka mereka – dari kesan sujud (dan ibadat mereka yang ikhlas). " ( Ayat 29 : Surah al-Fat-h )


Tanda nyata pada sifat pengikut-pengikut Nabi Muhammad s.a.w adalah mereka tidak bertolak-ansur pada perkara yang merusakkan akidah. Iman tidak boleh ditukar-ganti dengan harta, pangkat atau kemuliaan. Iman adalah cahaya dan kekufuran pula adalah kegelapan. Cahaya dan gelap tidak boleh bersepakat.

Mereka yang sangat keras menentang kekufuran itu sangat berlemah-lembut apabila bersama-sama dengan orang yang beriman. Hubungan hati-hati yang beriman adalah kasih sayang dan kerinduan. Orang yang beriman inginkan kebaikan kepada saudaranya yang beriman. Mereka tidak merusakkan atau menjatuhkan sesama mereka. Kebaikan yang Allah s.w.t kurniakan digunakan untuk meringankan beban saudara-saudaranya yang beriman. Mereka mengutamakan orang yang beriman daripada orang yang tidak nyata imannya atau yang nyata kekufuran dan kemunafikannya. Keselamatan iman adalah apabila ia dipertahankan daripada dicerobohi oleh kekufuran dan kemunafikan. Akal mengenali kekufuran melalui tanda-tanda yang diceritakan oleh ayat-ayat al-Quran. Hati mengenali kekufuran melalui Nur Ilahi yang membuka kekufuran dan kemunafikan itu kepadanya.

Nur kurniaan Allah s.w.t yang menjadi daya dan upaya hati seterusnya mempunyai kekuatan untuk mengawal pancaindera orang yang beriman itu. Setiap anggota digunakan untuk berbakti kepada Allah s.w.t, enggan ia berbuat maksiat. Orang yang beriman tekun berbuat ibadat, mencari kurniaan dan keridoan-Nya.

Nur yang  dalam Rahasia hati itu juga memancarkan sinarnya sehingga kelihatan pada wajah orang yang berkenaan. Jika perasaan yang bersembunyi dalam hati, separti marah dan ria, boleh ketara pada wajah, sinaran cahaya nur lebih kuat lagi berbekas pada wajah.

"Barangsiapa yang jernih dalam batinnya, akan diperbaiki Allah apa yang nyata pada wajahnya." ( Ucapan Umar al-Khattab )


Kesucian hati seseorang memancarkan cahaya yang dapat ditangkap oleh cermin hati orang lain yang bersih. Apabila cahaya iman berjumpa dengan cermin hati orang yang beriman akan lahirlah rasa persaudaraan muslim yang sejati. Persaudaraan yang begini tidak ada kepentingan diri dan tidak ada perlumbaan untuk menduduki tempat yang lebih tinggi. Mereka saling bantu membantu dalam melakukan pengabdian kepada Allah s.w.t.

Allah s.w.t menentukan bahwa yang tersembunyi dalam hati mengeluarkan tanda pada zahir. Dalam banyak perkara Allah s.w.t menjelaskan tanda-tanda tersebut melalui wahyu-Nya. Tuhan Yang Maha Pemurah berbuat demikian agar orang yang beriman tidak tartipu oleh kemanisan bahasa kemunafikan dan kekufuran. Mempertahankan iman daripada kemunafikan dan kekufuran adalah satu jihad yang besar. Manusia tidak berdaya berbuat demikian tanpa pertolongan Allah s.w.t. Apabila Allah s.w.t memberi pertolongan dengan menunjukkan tanda-tanda sesuatu, ambillah manfaat daripadanya.

37: PANDANGAN HATI DAN AKAL

BERBEDA ANTARA ORANG YANG MENGAMBIL DALIL DENGAN ALLAH S.W.T DENGAN ORANG YANG MENGAMBIL DALIL ATAS-NYA. ORANG YANG MENGAMBIL DALIL DENGAN ALLAH S.W.T ITULAH YANG MENGENAL HAQ DAN MELETAKKANNYA PADA TEMPATNYA DAN MENETAPKAN TERJADINYA SESUATU DARI ASAL MULAINYA. MENGAMBIL DALIL ATAS ALLAH S.W.T ADALAH KARENA TIDAK SAMPAI KEPADA-NYA. MAKA BILAKAH ALLAH S.W.T ITU GHAIB SEHINGGA MEMERLUKAN DALIL UNTUK MENYATAKAN-NYA DAN BILAKAN ALLAH S.W.T ITU JAUH SEHINGGA MEMERLUKAN ALAM UNTUK SAMPAI KEPADA-NYA.

Nur Ilahi yang menyinari hati memperlihatkan Allah s.w.t terlebih dahulu sebelum yang selain-Nya kelihatan. Akal pula melihat anasir alam dan kejadian-kejadian yang berlaku terlebih dahulu sebelum sampai kepada Tuhan yang mengatur segala urusan. Orang-orang hati melihat Wujud Allah s.w.t mengwujudkan alam dan apa yang berlaku di dalamnya dan orang-orang akal pula melihat wujud alam menjadi dalil kepada Wujud Allah s.w.t.

Orang yang sampai kepada Allah s.w.t melihat bahwa Wujud Allah s.w.t adalah Wujud Hakiki dan Wujud Allah s.w.t menerangi wujud makhluk sehingga makhluk menjadi nyata. Orang yang pada peringkat mencari pula melihat Allah s.w.t itu ghaib dan jauh, dan jalan untuk mengenal Allah s.w.t adalah dengan cara mengenal ciptaan-Nya. Wujud makhluk menjadi bukti kepadanya tentang Wujud Allah s.w.t, karena makhluk tidak terjadi dengan sendirinya.

Perbincangan Hikmat 8 menyentuh golongan mencari dan golongan yang dicari. Orang yang mencari menempuh jalan yang sukar-sukar sebelum bertemu dengan yang dicarinya. Contoh terbaik orang yang mencari ialah Salman al-Farisi yang mendapat jolokan Pencari Kebenaran. Beliau r.a merasal dari Isfahan. Bapanya seorang kenamaan yang kaya-raya dan kuat berpegang kuat pada agama Majusi. Salman bertugas menjaga api dan bertanggungjawab mempastikan api itu tidak padam.

Satu hari beliau lalu berhampiran gereja Nasrani. Beliau tertarik melihat cara orang Nasrani bersembahyang. Setelah bertukar-tukar fikiran dengan mereka dan mempelajari tentang agama Nasrani beliau berpendapat agama Nasrani lebih benar daripada agama Majusi, lalu beliau memeluk agama Nasrani Beliau kemudiannya pergi ke Syria untuk mendalami pengajiannya tentang agama Nasrani. Beliau tinggal dengan seorang pendeta dan beliau menjadi pelayan kepada pendeta tersebut sambil beliau belajar Setelah pendeta itu meninggal dunia Salman pergi ke Mosul, untuk memenuhi kehendak wasiat pendeta tersebut. Di sana beliau tinggal dan berkhidmat kepada seorang pendeta juga. Apabila hampir ajalnya pendeta kedua ini mewasiatkan kepada Salman supaya pergi ke Nasibin dan berkhidmat kepada seorang salih yang tinggal di sana. 

Salman kemudiannya berpindah ke Nasibin. Pendeta di Nasibin kemudiannya mewasiatkan kepada Salman agar beliau pergi ke Amuria dan berkhidmat kepada seorang salih di sana. Salman berpindah pula ke Amuria. Ketika pendeta di Amuria itu hampir menemui ajalnya beliau memberi amanat kepada Salman bahwa sudah hampir masanya kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s secara murni. Nabi yang baru muncul itu nanti akan berhijrah ke satu tempat yang banyak ditumbuhi pokok kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Tanda-tanda yang jelas tentang kenabiannya ialah dia tidak mau makan sedekah tetapi menerima hadiah. Di bahunya ada cap kenabian yang bila dilihatnya segera dikenali akan kenabiannya.

Setelah pendeta yang memberi amanat itu meninggal dunia berangkatlah Salman mengikuti rombongan Arab dengan menyerahkan kepada mereka lembu-lembu dan kambing-kambingnya. Sampai di Wadi Qura, Salman dianiayai dan dijual kepada orang Yahudi. Kemudian, Salman dijual kepada orang Yahudi yang lain. Tuannya yang baru itu membawanya ke Yasrib. Sebaik saja Salman melihat negeri itu yakinlah dia bahwa itulah negeri yang diceritakan oleh pendeta yang menjaganya dahulu. Apabila Rasulullah s.a.w berhijrah ke Yasrib, Salman datang menemui baginda s.a.w di Quba dan memberikan makanan sebagai sedekah kepada baginda s.a.w dan sahabat baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w menyuruh mereka makan tetapi baginda s.a.w tidak menjamah makanan tersebut.

Keesokan harinya Salman datang lagi membawa makanan sebagai hadiah. Rasulullah s.a.w makan bersama-sama sahabat baginda s.a.w. Semasa Rasulullah s.a.w berada di Baqi’, Salman pergi lagi menemui baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w ketika itu memakai dua helai kain lebar, satu sebagai sarung dan satu lagi sebagai baju. Salman menjenguk dan mengintai untuk melihat belakang baginda s.a.w. Rasulullah s.a.w mengarti akan maksud Salman lalu baginda s.a.w menyingkap kain burdah dari leher baginda s.a.w hingga kelihatanlah cap kenabian yang dicari oleh Salman. Melihatnya Salman terus menangis dan menciumnya. Akhirnya beliau temui kebenaran yang beliau telah cari di merata-rata tempat.

Kisah Salman memberi gambaran betapa sukarnya jalan yang ditempuhi oleh orang yang mencari Allah s.w.t. Di samping mengharungi kehidupan yang sukar mereka juga menuntut ilmu, berguru ke sana ke mari, mencari dalil-dalil dan pembuktian bagi menambahkan pengetahuan tentang Tuhan. Mereka melihat alam dan kejadian di dalam alam sebagai bukti yang menunjukkan Wujud Allah s.w.t, dan mereka mengkaji alam untuk memahami tentang keesaan Allah s.w.t. Setelah mereka sampai kepada Allah s.w.t mereka melepaskan dalil-dalil lalu berpegang kepada makrifat yang diperolehi.

Golongan yang dicari menempuh jalan yang berbeda. Contoh orang yang dicari ialah Saidina Umar al-Khattab r.a. Pada awal perkembangan Islam di Makkah umat Islam menghadapi tentangan yang hebat dari golongan Quraisy. 

Rasulullah s.a.w telah berdoa agar Islam diperkuatkan dengan salah satu Umar, yaitu Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar al-Khattab. Umar al-Khattab ketika itu sangat keras menentang dan menyeksa golongan Islam, terutamanya yang lemah. Rasa bencinya terhadap agama baru yang merombak adat dan kepercayaan datuk neneknya itu meluap-luap di hatinya. Apabila rasa kebencian itu memuncak beliau mengambil keputusan mau membunuh Rasulullah s.a.w. Umar mencabut pedangnya sambil menuju ke tempat di mana Rasulullah s.a.w berada. Di tengah jalan Umar diberitahu bahwa adiknya sendiri telah pun memeluk Islam.

Dia memikirkan bahwa lebih baik jika dia menguruskan masalah dalamannya dahulu sebelum membunuh Rasulullah s.a.w. Mendengar berita itu dia pun membelok ke rumah adiknya. Keadaannya separti singa bengis. Ditendangnya pintu rumah adiknya. Pada ketika itu adiknya sedang memegang lembaran yang ditulis dengan ayat al-Quran. Umar memukul adiknya dan merampas lembaran tersebut. Umar adalah seorang cendekiawan yang tahu membaca, dan arif tentang sastera puisi. Sebaik saja Umar membaca wahyu Allah s.w.t, tubuhnya menggeletar dan keluarlah ucapan dari mulutnya,” Ini bukan syair yang ditulis oleh penyair yang handal. Ini bukan karya manusia. Tidak ada yang dapat menciptakannya kecuali Tuhan sendiri”. Lalu Umar al-Khattab pergi menghadap Rasulullah s.a.w dan menyatakan keislamannya.

Umar al-Khattab membaca ayat al-Quran, Kalam Allah s.w.t dan serta-merta dia melihat kebenarannya. Umar tidak memerlukan kepada alam dan makhluk sekaliannya sebagai dalil dan bukti. Kebenaran itu sendiri menjadi dalil baginya. Kalam Allah s.w.t sendiri yang menyampaikan Umar kepada-Nya. Allah s.w.t yang menerangi hati Umar dengan makrifat-Nya. Makrifatullah yang menerangi makrifat alam sehingga alam itu dikenali melalui sumber yaitu Allah s.w.t sendiri. Orang yang mencari menyusur dari ranting ke dahan, turun ke batang lalu pergi kepada umbi sebelum menemui benih yang melahirkan pokoknya. Orang yang telah dibawa kepada Tuhan melihat dari asal mulainya, melihat benih yang darinya muncul pokok yang cukup lengkap.

Perbedaan arah memandang menyebabkan terjadi perbedaan daya nilai dan daya rasa. Orang akal lebih cenderung kepada fahaman falsafah yang berdiri di atas kemanusiaan sejagat yaitu fitrah manusia. Keberkahan hukum sebab-akibat membentuk formulai-formulai yang seterusnya melahirkan hukum logik yang dipegang oleh akal. Sukar bagi akal untuk melihat bahwa Allah s.w.t yang meletakkan dan menetapkan keberkahan hukum sebab-akibat itu. Orang akal memerlukan masa untuk berfikir dan menimbang sehingga mereka melihat dan mengakui kerapian serta kesempurnaan hukum yang mereka pegang itu. Setelah sampai kepada pengakuan yang demikian barulah mereka beralih memerhatikan apa yang datang dari Tuhan.

Orang hati pula terus menyaksikan ketuhanan pada apa yang disaksikan. Mereka melihat perjalanan sebab dan akibat sebagai kehendak Allah s.w.t. Mereka juga mengambil sebab dalam melakukan sesuatu tetapi ketika mengambil sebab itu hati memandang kepada Allah s.w.t, meletakkan pergantungan kepada-Nya yang menkehendak sebab musabab itu, bukan bersandar kepada sebab semata-mata. Jika sebab gagal menghasilkan akibat menurut hukum logik, orang hati melihat kekuasaan Allah s.w.t mengatasi segala sebab. Orang akal yang berhadapan dengan keadaan yang demikian sering diganggu oleh kekeliruan dan mereka mencari formulai baru untuk mengembangkan logik.

Walaupun terdapat perbedaan cara memandang tetapi tidak seharusnya berlaku berselisihan di antara dua golongan tersebut. Satu golongan harus menghormati daya nilai dan daya rasa golongan yang satu lagi. Walau bagaimana pun orang akal harus sadar bahwa mereka sedang bergerak ke arah daerah orang hati karena iman, ikhlas, berserah diri, takwa dan lain-lain nilai baik dalam agama adalah nilai hati yang mengeluarkan niat.

38: SEBARKAN KEBAIKAN MENGIKUT KEMAMPUAN

HENDAKLAH BERBELANJA AKAN KEKAYAANNYA BAGI MEREKA YANG TELAH SAMPAI KEPADA ALLAH S.W.T DAN MENURUT KADAR KEMAMPUANNYA BAGI YANG SEDANG BERJALAN KEPADA ALLAH S.W.T.

Hikmat 38 di atas mengemukakan ujian kepada hati sejauh mana kekuatannya beriman, berserah diri dan yakin dengan janji Allah s.w.t. Ia juga menjadi pengukur pada tahap mana seseorang yang berjalan pada jalan kerohanian itu berada. Hikmat di atas menjurus khusus kepada harta kekayaan. Harta merupakan sesuatu yang sangat diperlukan oleh manusia. Manusia memerlukan harta untuk menanggung keperluan hidupnya, bahkan ibadat-ibadat separti haji dan zakat perlu dilakukan dengan menggunakan harta. Sedekah juga memerlukan harta. Membuat kebajikan separti mendirikan masjid, hospital, sekolah dan lain-lain juga memerlukan harta. Oleh karena besarnya peranan harta kepada kehidupan manusia, maka kebanyakan daripada aktiviti manusia berkisar pada soal harta atau ekonomi. Pendidikan dan kemahiran disalurkan ke arah ekonomi. Kejayaan atau kegagalan dinilai melalui faktor ekonomi. Perhatian manusia senantiasa tertuju kepada soal ekonomi atau harta dalam membuat sesuatu keputusan.

Apabila harta sudah bertapak dalam jiwa seseorang manusia akan menjual maruah dirinya karena harta. Orang miskin sanggup diperkudakan oleh orang kaya karena harta. Orang kaya sanggup melakukan rasuah dan penganiayaan karena harta. Harta menjadi raja menguasai jiwa raga manusia. Segala sesuatu dinilai dengan harta. Persahabatan harus dibeli dengan harta. Kesetiaan juga perlu dibayar dengan harta.

Hikmat di atas menarik perhatian orang yang sedang berjalan pada jalan kerohanian agar memerhatikan hatinya, bagaimanakah hubungan hatinya dengan harta. Ia menyatakan bahwa orang yang telah sampai kepada Allah s.w.t dan memperolehi makrifat-Nya tidak seharusnya menyimpan harta, hendaklah dia membelanjakan ke jalan Allah s.w.t dan yakin dengan janji Allah s.w.t tentang rezekinya. Orang yang masih dalam perjalanan pula hendaklah membelanjakan ke jalan Allah s.w.t menurut kesanggupannya. Sejarah banyak menceritakan tentang sikap hamba-hamba pilihan Allah s.w.t terhadap harta.

Saidina Abu Bakar as-Siddik r.a menyumbangkan kesemua hartanya untuk jihad fi-sabilillah, tidak ada satu dirham pun disimpannya. Bila Rasulullah s.a.w bertanyakan kepadanya mengapakah tidak ditinggalkan sedikit buat menguruskan keperluannya, beliau r.a menjawab, “Cukuplah Allah dan Rasulullah bagiku”.

Abdul Rahman bin Auf yang terkenal dengan kekayaannya, mencari harta bukan untuk kepentingan dirinya tetapi untuk kegunaan menyebarkan agama Allah s.w.t. Salman al-Farisi ketika memegang jawatan amir, tidak mengambil gajinya, sebaliknya beliau menganyam daun kurma untuk dijadikan bakul dan tikar. Hasil anyamannya dijualnya dan apa yang diperolehinya dibagikan kepada tiga bagian. Satu bagian sebagai modal pusingan, satu bagian buat belanja ahli rumahnya dan satu bagian lagi disedekahkan kepada golongan miskin.

Imam as-Syafi’e r.a sekembalinya ke Makkah dari Yaman telah dihadiahkan puluhan ribu uang emas. Sebelum memasuki kota Makkah beliau telah mendirikan sebuah khemah di luar kota. Dikumpulkan golongan fakir dan miskin dan disedekahkan kesemua uang yang diterimanya sebagai hadiah itu. Setelah kesemua uang itu habis disedekahkan barulah beliau masuk ke kota Makkah.

Rabiatul Adawiah hanya menyimpan sehelai tikar yang usang sebagai sejadah dan sebiji kendi buat mengisi air untuk wuduknya. Beliau tidak menyimpan makanan untuk petangnya. Banyak lagi kisah aulia Allah s.w.t yang menggambarkan bahwa tidak sebesar zarah pun hati mereka terikat dengan harta. Mereka melihat pengidupan dunia ini hanyalah persinggahan sebentar, tidak perlu mengambil bekalan.

Bagi orang yang masih dalam perjuangan dan belum lagi sampai kepada Allah s.w.t, mereka tidak sanggup berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh aulia Allah s.w.t. Sungguhpun begitu jika dibiarkan harta melekat pada hati akan membahayakan hati itu sendiri. Oleh itu biasakanlah berpisah daripada harta yang disayangi agar rohani akan menjadi lebih kuat dalam perjalanan menuju Allah s.w.t. Allah s.w.t berfirman:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan siapa yang disempitkan rezekinya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (sekadar yang mampu); Allah tidak memberati seseorang melainkan (sekadar kemampuan) yang diberikan Allah kepadanya. (Orang-orang yang dalam kesempitan hendaklah ingat bahwa) Allah akan memberikan kesenangan sesudah berlakunya kesusahan”. ( Ayat 7 : Surah at-Talaaq )

Oleh karena bidang ekonomi merupakan salah satu fardu kifayah yang perlu diuruskan demi kesejahteraan dan kekuatan kaum muslimin, maka Allah s.w.t memilih dari kalangan kaum muslimin orang-orang tertentu yang dipermudahkan bagi mereka mengembangkan ekonomi mereka. Allah s.w.t bukakan bagi mereka pintu-pintu rezeki. Allah s.w.t kurniakan kepada mereka rezeki yang melimpah-ruah. Mereka seolah-olah berada dalam keadaan menadah bekas dan rezeki dicurahkan ke dalam bekas mereka.

Orang yang menyadari harta kekayaannya adalah kurniaan Allah s.w.t, maka harta kekayaan itu menjadi ujian baginya. Orang yang tidak menyadarinya pula, maka harta kekayaan itu menjadi alat istidraj yang akan menghempapnya kelak. Baik ujian mau pun istidraj, orang yang memikul harta sebenarnya memikul beban yang sangat berat. Golongan yang menghadapi hisab yang paling halus di akhirat kelak adalah mereka yang di dunia memikul harta.

Walaupun memikul harta merupakan beban yang berat tetapi sebagian kaum muslimin perlu mengambil tugas tersebut sebagaimana sebagian kaum muslimin yang mengambil bidang jihad fi-sabilillah dan mati syahid di medan perang. Dari kalangan nabi-nabi juga ada yang memikul tugas yang berhubung dengan harta, misalnya Nabi Yusuf a.s, Nabi Sulaiman a.s dan Nabi Daud a.s. Al-Quran menceritakan tentang Nabi Yusuf a.s:

Dia (Yusuf) berkata: “Jadikanlah saya pengurus perbendaharaan hasil bumi (Mesir); karena sesungguhnya aku sedia menjaganya dengan sebaik-baiknya, lagi mengetahui cara menkehendakkannya”. ( Ayat 55 : Surah Yusuf )

Nabi Yusuf a.s mengetahui sifat dirinya dan kebolehan yang ada dengannya. Beliau a.s telah menjalani kehidupan yang membuatkan harta tidak sedikit pun menguasai hatinya. Beliau a.s juga mengetahui kebolehan menguruskan harta yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Demi kebaikan orang banyak Nabi Yusuf a.s menawarkan dirinya kepada raja untuk memegang jawatan pengurus harta kekayaan kerajaan Mesir. Raja bersetuju dengan permintaan Nabi Yusuf a.s itu dan beliau a.s membuktikan kewibawaan dan kebijaksanaan beliau a.s dalam bidang tersebut.

Nabi Sulaiman a.s juga menguruskan kekayaan dan kekuasaan. Beliau a.s mempunyai sifat-sifat yang terpuji. Allah s.w.t memanggil hamba-Nya, Sulaiman a.s, sebagai sebaik-baik hamba. Nabi Yusuf a.s dan Nabi Sulaiman a.s menguruskan kekayaan dan kekuasaan atas dasar kehambaan kepada Allah s.w.t.

“Dan Kami telah kurniakan kepada Nabi Daud (seorang anak bernama) Sulaiman; ia adalah sebaik-baik hamba (yang kuat beribadat), lagi senantiasa rujuk kembali (bertaubat)”. ( Ayat 30 : Surah Saad )

Nabi Sulaiman a.s  bermohon kepada Allah s.w.t agar dikurniakan kepada beliau a.s kerajaan yang besar. Kedua-dua mereka, Nabi Yusuf a.s dan Nabi Sulaiman a.s, meminta untuk menguruskan bidang berkenaan. Ternyata bahwa orang yang boleh menguruskan dengan adil bidang berkenaan adalah orang yang benar-benar mengenali dirinya, mempunyai keyakinan yang teguh, hati yang bulat dan sifat kehambaan yang sebenar-benarnya kepada Allah s.w.t.

Dia (Sulaiman) berkata: “Wahai Tuhanku! Ampunkanlah kesidelapanku, dan kurniakanlah kepada saya sebuah kerajaan (yang tidak ada taranya dan) yang tidak akan ada pada siapapun kemudian daripasaya; sesungguhnya Engkaulah yang senantiasa Melimpah Kurnia-Nya”. ( Ayat 35 : Surah Saad )

Siapa yang ditakdirkan menguruskan bidang kekayaan dan kekuasaan perlulah menjalankan amanah Allah s.w.t itu atas dasar kehambaan kepada-Nya dengan sebaik mungkin.

39: NUR-NUR KURNIAAN ALLAH S.W.T

DIKURNIAKAN PETUNJUK KEPADA ORANG-ORANG YANG BERJALAN KEPADA ALLAH S.W.T DENGAN NUR-NUR TAWAJJUH (MENGHADAP ALLAH S.W.T) DAN BAGI ORANG YANG TELAH SAMPAI BAGI MEREKA IALAH NUR-NUR AL-MUWAAJAHAH (MUSYAHADAH ATAU SALING BERHADAPAN ANTARA HAMBA DENGAN ALLAH S.W.T). MEREKA YANG PERTAMA ITU ADALAH UNTUK NUR-NUR, SEDANGKAN MEREKA YANG TELAH SAMPAI ADALAH NUR-NUR ITU BUAT MEREKA LANTARAN MEREKA INI ADALAH KARENA ALLAH S.W.T BUKAN KARENA SESUATU SELAIN-NYA. KATAKANLAH: “ALLAH!” KEMUDIAN BIARKAN MEREKA (ORANG BANYAK) BERMAIN-MAIN DALAM KESESATAN.

Hikmat 39 ini menceritakan keadaan dua golongan yang dipanggil sebagai ahli tawajjuh dan ahli musyahadah. Ahli tawajjuh adalah orang salih yang berpegang teguh kepada syariat Allah s.w.t dan biasanya digelar ahli syariat. Orang salih atau ahli syariat melihat dirinya sebagai satu individu yang berkedudukan sebagai hamba Allah s.w.t. Dia berkewajiban melaksanakan segala perintah Allah s.w.t dan menjauhkan segala larangan-Nya. Dia melaksanakan amal kebaikan dengan ikhlas, tidak didorong oleh ria dan ujub, tidak berbuat sama’ah dan tidak menyombong dengan amal tersebut. Allah s.w.t memberkati amal ibadat yang demikian dan mengurniakan kepada mereka Nur Tawajjuh. Nur yang demikian membuat mereka merasa damai dan tenang serta bertambah rasa kehampiran dengan Allah s.w.t. Mereka tidak merasa berat untuk melakukan ibadat walau berapa banyak sekalipun karena semakin banyak ibadat yang mereka lakukan semakin mereka memperolehi taqarrub (mendekat dan berhadap kepada Allah s.w.t) dan semakin mereka merasa kelazatan beribadat. Mereka bukan saja meninggalkan perkara yang haram tetapi juga yang mubah. Banyak daripada perkara yang halal ditinggalkan bagi menjaga agar mereka tidak terdorong mendekati yang haram, apa lagi melakukannya. Inilah sifat ahli syariat, memakai pakaian warak dan berjalan dengan Nur Tawajjuh.

Golongan kedua ialah ahli musyahadah, biasanya dipanggil ahli hakikat. Ahli hakikat ialah orang yang mencapai hakikat syariat dan tauhid sehingga tidak melihat lagi sesuatu kecuali Allah s.w.t. Mereka menyaksikan bahwa Allah s.w.t adalah Tuhan Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri, Maha Menkehendak dan Maha Menentukan. Mereka menyaksikan sifat Allah Yang Maha Sempurna dan Kekal. Pandangan mereka hanya tertumpu kepada Allah Azza wa Jalla. Segala yang maujud tidak memberi bekas pada hati mereka, hanya Wujud Allah s.w.t yang menguasainya, terjadilah musyahadah yaitu saling berhadapan. nur-nur al-muwaajahah meleburkan hijab yang menutupi alam maujud lalu mata hati melihat kepada Yang Tersembunyi disebalik yang nyata. Hamba melihat Rahasia Tuhan yang selama ini terhijab oleh Alam al-Mulk (alam kejadian) dan Allah s.w.t menyaksikan pengabdian hamba-Nya. Terbukalah kepada si hamba rahasia Alam Malakut dan nyatalah kedudukan hamba sebagai ayat atau tanda wujud. Hamba melihat ketuhanan Allah s.w.t yang meliputi segala sesuatu dan Allah s.w.t menyaksikan pengabdian hamba-Nya meliputi ilmunya, ahwalnya dan hatinya.

"Allah s.w.t bukakan tabir hijab agar mata hati hamba-Nya dapat menyaksikan kerajaan-Nya yang meliputi yang nyata dan juga yang ghaib."

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Nabi Ibrahim kebesaran dan kekuasaan (Kami) di langit dan di bumi, dan supaya menjadilah ia dari orang-orang yang percaya dengan sepenuh-penuh yaqin.” ( Ayat 75 : Surah al-An’aam )

“Dan janganlah engkau menyembah tuhan yang lain bersama-sama Allah. Tiada  Tuhan melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu akan binasa melainkan Zat Allah.”  ( Ayat 88 : Surah al-Qasas )

Ada perbedaan pandangan di antara ahli syariat dan ahli hakikat. Ahli syariat berjihad membunuh musuh-musuh Allah s.w.t karena mengharapkan keridoan-Nya, moga-moga Allah s.w.t mengurniakan kepada mereka nur-nur yang membawa mereka hampir kepada-Nya. Ahli hakikat pula ketika berjihad dan membunuh mereka melihat kepada firman Allah s.w.t:

“Maka bukanlah kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah jualah yang menyebabkan pembunuhan mereka. Dan bukanlah engkau (wahai Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, akan tetapi Allah jualah yang melempar (untuk membinasakan orang-orang kafir).” ( Ayat 17 : Surah al-Anfaal )

Orang-orang yang sampai kepada Allah s.w.t berkecimpung dalam nur-nur karena:

“Allah yang menerangi langit dan bumi.” ( Ayat 35 : Surah an-Nur )

Nurullah menjadi jelas nyata pada penglihatan mata hati ahli musyahadah. Kewujudan langit dan bumi tidak menghijab mata hati mereka. Tidak mungkin terlihat langit dan  bumi jika  Nurullah tidak menerangi keduanya.

40: HIJAB  MENUTUP DIRI  DAN ALAM GHAIB
 
USAHA KAMU UNTUK MENYINGKAP KEAIBAN YANG TERSEMBUNYI DALAM DIRI KAMU ADALAH LEBIH BAIK DARIPADA USAHA KAMU UNTUK TERBUKA BAGI KAMU TIRAI GHAIB.

Sekiranya kita mengamati Kalam-kalam Hikmat yang telah diuraikan terlebih dahulu, kita akan mendapati bahwa suasana yang terbaik dan kurang baik sering digandingkan. Kita akan lebih tercenderung untuk melihat kepada suasana yang terbaik, dengan itu mengarahkan usaha kita menuju ke arahnya. Tetapi, kita tidak terlepas daripada sifat jahil dan tergopoh gapah. Kita mudah terkeliru dalam memilih jalan serta tidak sabar menanti hasil yang baik. Sebelum kita melencung lebih jauh, Hikmat 40 ini memberi teguran dan petunjuk jalan yang betul. Kita tidak seharusnya hanya asyik memandang kepada mereka yang dipilih untuk sampai kepada Allah s.w.t dan dibukakan kepada mereka ini tabir yang menutup segala keghaiban.

Walaupun kita terpesona dengan pencapaian yang telah mereka perolehi, kita tidak sepatutnya mengarahkan semangat dan usaha gigih untuk mencapai keadaan yang serupa. Sudah menjadi kebiasaan untuk sebagian ahli tarekat mengarahkan amal ibadat dan zikir bagi tujuan menyingkap tabir ghaib. Beberapa jenis zikir diamalkan untuk memecahkan hijab-hijab tertentu. Zikir-zikir secara demikian tidak menyampaikan seseorang hamba kepada Tuhannya. Setelah mereka banyak berzikir namun, hati mereka masih merasa jauh daripada Tuhan, maka mereka mulai merasa berputus-asa dan timbullah keraguan di dalam hatinya. Keadaan yang demikian terjadi kepada  orang yang menjadikan zikir sebagai alat untuk memperolehi kedudukan.

Ada pula orang yang menjadikan zikir sebagai alat untuk memperolehi kekeramatan. Di tengah jalan mereka mendapat jazbah khadam lalu dibawa ke alam khadam. Terpesonalah mereka dengan berbagai-bagai makhluk halus yang mempamerkan berbagai-bagai keanehan sehingga lupalah mereka kepada Allah s.w.t yang menjadi maksud dan tujuan. Mereka tidak lagi meminta kepada Allah s.w.t tetapi meminta kepada khadam. Bertambah teballah dinding antara mereka dengan tauhid yang hakiki. Kalam Hikmat di atas menarik orang yang baru dalam perjalanan supaya menetapkan kaki atas landasan yang betul yaitu dengan memerhatikan kepada diri sendiri, memeriksa segala keaiban diri dan memperbetulkannya, sesuai dengan firman Allah s.w.t:

“Dan juga pada diri kamu sendiri. Maka mengapa kamu tidak mau melihat serta memikirkan (dalil-dalil dan bukti itu)?” ( Ayat 21 : Surah adz-Dzaariyaat )

Ungkapan yang popular di kalangan ahli tasawuf adalah:
“Siapa yang kenal dirinya kenal-lah Tuhannya. Siapa yang kenal Tuhannya binasalah jasadnya.”

Usaha menyingkap keghaiban yang menyelimuti diri sendiri adalah sebaik-baik pekerjaan untuk mencapai tujuan. Kenalilah keaslian diri sendiri yang suci murni. Ia tidak dapat mengeluarkan cahayanya karena ditutup oleh keaiban dan kekotoran yang melekat di hati. Arahkan usaha dan perhatian untuk mencari keaiban dan kekotoran tersebut, agar dapat dihapuskan dan dibersihkan. Apabila kulit yang membalut keaslian itu sudah terbuang barulah diri kita dapat memancarkan sinarnya. Allah s.w.t adalah nur bagi langit dan bumi. Apabila Nurullah memancar dari Hadrat Ilahi dan bertemu dengan Nurullah yang memancar dari lubuk hati nurani hamba, maka terjadilah pertemuan Nurullah dari atas dengan Nurullah dari bawah:

“Cahaya berlapis cahaya. Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya (menurut undang-undang dan peraturan-Nya) kepada nur hidayah-Nya itu; dan Allah mengemukakan berbagai-bagai misal perbandingan untuk umat manusia; dan Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.” ( Ayat 35 : Surah an-Nur )

Hamba menyaksikan ketuhanan Allah s.w.t dan Allah s.w.t menyaksikan pengabdian hamba. Inilah makam musyahadah. Sekiranya kita mau mencapai makam ini berusahalah menyucikan diri sendiri kemudian berserah terus kepada Allah s.w.t. Kuncinya ialah firman Allah:

“Katakanlah (kepada mereka): “Allah jualah (yang menurunkannya)”, kemudian, biarkanlah mereka leka  bermain-main dalam kesesatannya.” ( Ayat 91 : Surah al-An’aam )

Hanya orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah s.w.t boleh berkata: “Allah yang berkuasa! Allah yang mengetahui! Allah itu dan Allah ini. Allah segala-galanya”. Kemudian mereka berpegang teguh dengan pengakuan itu dan tidak memperdulikan lagi apa yang terjadi. Allah s.w.t menyambut para hamba yang demikian dengan firman-Nya:

Sesungguhnya orang-orang yang menegaskan keyakinannya dengan  berkata, “Tuhan kami ialah Allah!”, kemudian mereka tetap teguh di atas jalan yang betul, akan turunlah malaikat kepada mereka dari semasa ke semasa  (dengan memberi ilham): “Janganlah kamu bimbang (dari berlakunya perkara yang tidak baik terhadap kamu)  dan janganlah kamu berdukacita, dan terimalah berita gembira bahwa kamu akan beroleh syurga yang telah dijanjikan kepada kamu”. ( Ayat 30 : Surah Fussilat )

Jalan untuk mencapai keteguhan hati adalah dengan berserah diri kepada Allah s.w.t. Keteguhan hati membawa seseorang kepada syurga semasa hidupnya. Syurga ini dinamakan makrifat dan ia lebih indah daripada syurga akhirat karena syurga akhirat adalah makhluk sedangkan syurga makrifat adalah Empunya syurga akhirat itu. Jika syurga akhirat itu sangat indah dan sangat sejahtera maka Empunya syurga itu Maha Indah dan Maha Sejahtera. Apalah nilai keindahan di sisi Pemilik yang melahirkan keindahan, semua keindahan adalah pancaran Keindahan-Nya. Inilah nikmat yang Allah s.w.t sediakan kepada hamba-hamba-Nya yang sanggup terjun ke dalam dirinya sendiri dan melupakan yang lain-lainnya, tidak mengejar kemuliaan duniawi dan ukhrawi, tidak mencari kasyaf dan kekeramatan, tidak menuntut sesuatu apa pun kecuali menyerahkan segala-galanya kepada Allah s.w.t dan rido dengan semua keputusan-Nya.

41: DIRI YANG TERHIJAB, ALLAH S.W.T TIDAK DIHIJAB

AL-HAQ (ALLAH S.W.T) TIDAK TERHIJAB OLEH SESUATU APA PUN, SEBALIKNYA KAMULAIH YANG TERHIJAB DARI MELIHAT KEPADA-NYA. JIKA ALLAH S.W.T DIHIJAB OLEH SESUATU TENTU SESUATU ITU DAPAT MENUTUP ALLAH S.W.T. JIKA ADA SESUATU YANG MENUTUP  ALLAH S.W.T BERMAKNA WUJUDNYA DAPAT DIKURUNG OLEH SESUATU. SESUATU YANG MENGURUNG ADALAH LEBIH BERKUASA DARI YANG DIKURUNG, SEDANGKAN ALLAH S.W.T BERKUASA ATAS SEMUA HAMBA-NYA.

Dunia dan akhirat dan semua yang ada di antara kedua-duanya adalah makhluk yang memenuhi alam. Apa saja yang selain Allah s.w.t adalah makhluk dan mengambil tempat masing-masing di dalam alam. Makhluk ciptaan Allah s.w.t bukan setakat manusia, jin, malaikat, Kursi dan Arasy saja bahkan kehendak, cita-cita, angan-angan, khayalan, bahasa, ibarat dan ilmu pengetahuan juga termasuk dalam istilah makhluk yang Allah s.w.t ciptakan. Oleh sebab Allah s.w.t tidak serupa dengan sesuatu maka Dia tidak boleh dibahasakan, diibaratkan, disifatkan, dikhayalkan dan lain-lain. Apa saja yang selain Allah s.w.t adalah hijab yang menutup pandangan mata hati dari melihat Allah s.w.t, walaupun Allah s.w.t tidak memakai tutupan. Nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan adalah juga hijab.

Sekiranya ada orang yang mampu berkendaraan menjelajah ke seluruh alam maya untuk mencari Allah s.w.t niscaya Allah s.w.t tidak akan ditemuinya karena Dia bukan anasir alam. Sekiranya mereka mencari dengan menggunakan bahasa maka Allah s.w.t juga tidak akan ditemui karena Dia tidak ditakluki oleh hukum bahasa dan ibarat. Ilmu pengetahuan juga tidak sanggup mencapai Yang Esa karena ilmu masih terikat kepada menyaksikan dan disaksikan yaitu suasana serba dua. Ilmu tidak mampu sampai kepada Yang Esa, yang sama menyaksikan dan disaksikan. Nama-nama juga hijab karena tidak mampu menzahirkan Yang Empunya nama. Sifat-sifat juga tidak mampu menzahirkan zat. Sifat hanyalah sekadar memperihalkan bagi menggerakkan pemahaman saja, sedangkan Dia Maha Suci lagi Maha Tinggi dari apa yang disifatkan. Setelah gagal mencari dalam semua itu seseorang akan sampai ke puncak pencariannya yaitu kejahilan tentang zat Ilahiat dan inilah yang dinamakan makrifat. Orang yang sampai di sinilah yang dipanggil orang yang mengenal Allah s.w.t.

Sekiranya ilmu  mampu melepaskan kita dari medan ilmu, kita akan sampai kepada medan makrifat. Jika kita bersatu dengan ilmu, kita akan terhijab. Ilmu mesti dijadikan kendaraan menuju kepada makrifat. Diri kita tidak boleh disatukan dengan ilmu. Apabila kita tiba kepada makrifat kita akan tercengang-cengang menghadapi hijab kejahilan. Kita terpaksa mengakui bahwa zat Ilahiat tidak dapat diperkatakan dan tidak dapat disifatkan.

Orang yang sampai kepada perhentian ini tidak ada jalan lagi baginya untuk sampai kepada Allah s.w.t melainkan menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t dengan menanggalkan apa saja yang dianggapnya boleh menyampaikannya kepada Allah s.w.t. Maka keluarlah dia dari apa saja yang selain Allah s.w.t. Dibuangnya segala hijab-hijab yang menutupi mata hatinya. Dia keluar dari ilmunya, amalnya, makrifatnya, sifatnya, namanya, bahasa dan ibarat. Pelepasan yang menyeluruh ini adalah pintu masuk ke Hadrat-Nya dan dia masuk dengan kekuatan Nurullah, yaitu tarikan yang langsung dari Allah s.w.t.

“Nur berlapis nur, Allah memimpin siapa yang di kehendaki-Nya (menurut undang-undang dan peraturan-Nya) kepada nur hidayah-Nya itu.” ( Ayat 35 : Surah an-Nur )

Makhluk tidak akan zahir jika tidak ada Nur-Nya. Makrifat tidak mungkin dicapai tanpa suluhan Nur-Nya. Ilmu tidak mungkin diperolehi tanpa penerangan Nur-Nya. Mata hati tidak mungkin boleh melihat tanpa pancaran cahaya Nur-Nya. Allah s.w.t memimpin kepada Nur-Nya siapa yang Dia kehendaki. Orang yang dipimpin kepada Nur-Nya adalah orang yang mampu keluar dari hijab nafsu dan akal. Nafsu ditundukkan kepada yang hak sehingga tidak ada keinginan dan cita-cita melainkan mau bertemu dengan Allah s.w.t. Akal ditundukkan kepada yang hak sehingga tidak ada yang difikir dan direnungi melainkan Wajah Allah s.w.t jua yang menyata pada semua arah. Walau ke arah mana pun dihalakan pandangan akal dan pandangan hati, Wajah Allah s.w.t jua yang kelihatan.

“Dan Allah jualah yang memiliki timur dan barat, maka ke mana saja kamu arahkan diri (ke kiblat untuk menghadap Allah) maka di situlah arah yang diridoi Allah; sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat dan limpah kurnia-Nya), lagi senantiasa Mengetahui.” ( Ayat 115 : Surah al-Baqarah )

42: SIFAT YANG MENYALAHI UBUDIYAH

KELUARLAH DARI SIFAT-SIFAT KEMANUSIAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN UBUDIYAH SUPAYA MUDAH BAGI KAMU UNTUK MENYAHUT PANGGILAN ALLAH  DAN MENDEKAT KE HADRAT-NYA.

Hikmat 41 menyingkap tentang hijab-hijab. Melalui uraian ternyata betapa sukarnya untuk melepasi hijab-hijab sebelum sampai kepada Allah s.w.t. Hikmat 42 ini memberi panduan untuk melepasi halangan dan mendekat kepada-Nya. Kita diajak supaya melepasi sifat-sifat kemanusiaan yang menyalahi ubudiyah. Sifat ubudiyah yang sejati ialah sifat malaikat karena malaikat adalah hamba Allah s.w.t yang paling tepat melaksanakan perintah-Nya. Sifat yang paling menyalahi ubudiyah ialah sifat iblis karena iblislah yang paling derhaka kepada Allah s.w.t. Jadi, Hikmat ini boleh membawa maksud, keluarlah dari sifat-sifat iblis dan masuklah kepada sifat-sifat malaikat supaya kita boleh melaksanakan tuntutan Allah s.w.t dengan tepat dan kita dapat mendekat ke Hadrat-Nya. Dalam diri manusia ada sifat-sifat malaikat dan ada pula lawannya yaitu sifat-sifat iblis. Mesti dibuat pengasingan di antara kedua-dua jenis sifat tersebut. Mesti diistiharkan jihad terhadap iblis yang menyalurkan sifat-sifatnya ke dalam diri kita.

Sifat-sifat iblis, sekiranya disenaraikan, sangatlah banyak. Sudah memadai jika dirumuskan bahwa apa juga yang menyekat atau melengahkan kita daripada menyempurnakan tuntutan Allah s.w.t adalah berpunca daripada sifat iblis. Jalan untuk menghapuskan sifat-sifat yang demikian ada dua, yaitu jalan panjang dan satu lagi, jalan singkat. Jalan panjang adalah mengenal satu persatu semua sifat buruk itu, mempelajari cara ia bartindak, kesannya kepada diri kita, tanda kita memilikinya, cara mencegahnya sekiranya belum dijangkiti dan cara mengobatinya jika sudah dijangkiti. Jalan yang paling singkat adalah meninggalkan apa saja yang selain Allah s.w.t, berpegang kepada firman-Nya ayat 91, surah al-An'aam yang bermaksud:

“Katakanlah, “Allah!” dan biarkan mereka bermain-main dalam kesesatan mereka.”

Penting bagi orang yang belum mencapai makam keteguhan untuk tidak mempedulikan apa yang berlaku di sekelilingnya karena dia belum dapat memisahkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih melihat perbuatan makhluk. Campurtangannya dalam urusan makhluk menutup pandangan mata hatinya dari Tuhan. Kekeruhan dalam kehidupan dunia akan memalapkan cahaya rohaninya. Lebih baik jika dia membenamkan dirinya ke dalam ibadat, zahirnya bersungguh-sungguh di dalam syariat dan batinnya teguh dengan iman. Ingatlah, dunia adalah puteri iblis. Siapa yang berkahwin dengan si puteri ini pasti si bapa akan kerap mengunjunginya.

Sifat iblis adalah ingkar kepada kebenaran. Iblis adalah tenaga gelap. Kebenaran pula adalah cahaya. Dalam melakukan pekerjaan menujung cahaya kegelapan iblis mengenderai kegelapan nafsu. Apabila kegelapan nafsu yang ditambahkan lagi dengan kegelapan iblis membalut hati maka hati tidak akan dapat menerima cahaya kebenaran. Balutan ini menutup mata  hati dari menyaksikan al-Haq. Sifat iblis dan sifat nafsu menjadi tenaga yang bartindak menolak sebarang kebenaran yang ingin masuk ke dalam hati.

Walaupun akal boleh mengakui kebenaran namun, tenaga sifat iblis akan menujung hujah akal dari diterima oleh hati. Sebab itu orang yang mengakui kebenaran masih juga boleh berbuat perkara yang berlawanan dengan pengakuannya itu. Tenaga iblis dan tenaga nafsu itulah yang membentuk tenaga ingkar (kufur atau menolak kebenaran). Tenaga kekufuran ini akan menawan hati semua orang, termasuklah hati orang-orang Islam.   Kehadiran tenaga ini dalam diri mengheret seseorang kepada perbuatan fasiq, kemunafikan, kekafiran, kemusyrikan, maksiat dan segala perkara yang dimurkai Allah s.w.t.

Tenaga ingkar ini mesti dihapuskan dengan cara menekannya sekuat mungkin dengan tenaga kebenaran. Antara kebenaran yang mau ditekankan dan dimasukkan ke dalam hati adalah pengakuan-pengakuan : “Allah Maha Suci! Allah Maha Besar! Segala puji untuk Allah! Allah Maha Esa dan tiada sesuatu yang bersekutu dengan-Nya! Tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad s.a.w adalah Pesuruh Allah!”

Bila kita menyebut Maha Suci Allah, bukan bermakna kita menyucikan Allah s.w.t. Allah s.w.t bukanlah tidak bersih hingga perlu disucikan. Maha Suci Allah itu sempurna kesucian-Nya sejak azali hingga kepada tanpa kesudahan. Dia tidak memerlukan makhluk untuk menyucikan-Nya dan tidak ada makhluk yang layak berbuat demikian. Begitu juga dengan sebutan Allah Maha Besar, bukan bermakna Allah s.w.t itu kecil hingga perlu diperbesarkan. Allah s.w.t sudah cukup besar, sempurna kebesaran-Nya, tidak perlu lagi diperbesarkan dan tidak ada makhluk yang layak memperbesarkan-Nya.

Apa juga perbuatan makhluk tidak ada yang mengenai Allah s.w.t. Sebutan hanyalah pengakuan atau penyaksian semata-mata. Kita mengaku yang benar sebagaimana benarnya. Tenaga pengakuan, penerimaan dan ketundukan terhadap kebenaran inilah yang diperlukan oleh hati untuk menjadikannya kuat, bukan untuk faedah Tuhan. Memasukkan tenaga kebenaran ke dalam hati inilah yang dinamakan zikir. Tenaga kebenaran hendaklah dipalu keras-keras kepada tenaga ingkar yang membaluti hati. Apabila dihentam terus menerus tenaga ingkar itu tidak dapat bertahan lalu ia hancur. Bebaslah hati untuk menerima  cahaya kebenaran.

Perlu diperingatkan bahwa fungsi zikir bukanlah untuk memecahkan hijab yang menutupi pintu langit. Kita tidak mau terbang ke langit. Kita mencari kebenaran yang hakiki dan Kebenaran Hakiki bukan berada di atas langit. Ia berada di dalam diri kita sendiri. Hijab yang menutupi kita daripada Kebenaran Hakiki ini yang hendak dihapuskan.

Rangsangan atau gerakan yang datang daripada tenaga iblis, disampaikan kepada hati yang dibaluti oleh kegelapan nafsu, dalam keadaan hati merasakan bahwa ia datang daripada hati itu sendiri, bukan ia ditekankan oleh tenaga luar. Hijab nafsu menyebabkan hati tidak sadar dan tidak mengetahui yang ia sudah dikuasai oleh tenaga iblis. Apabila hijab nafsu itu berjaya disingkap hati mampu mengasingkan yang asli dengan yang mendatang. Setiap bisikan kepada kejahatan yang sampai kepada hati didengar oleh hati seolah-olah mendengar orang lain menyampaikan bisikan itu. Oleh itu hati mudah mengawasi bisikan yang datang itu. Beginilah suasana hati yang sudah disinari oleh cahaya kebenaran. Hati yang berada dalam cahaya mudah menyelamatkan dirinya daripada terjerumus ke dalam sifat-sifat dan perbuatan yang dimurkai Allah s.w.t.

43 & 44: RIDHO ATAU TIDAK KEPADA NAFSU PUNCA MAKSIAT ATAU TAAT

INDUK SEGALA MAKSIAT, SYAHWAT DAN KELALAIAN ADALAH RIDO TERHADAP NAFSU DAN SUMBER SEGALA TAAT, TERPELIHARA DIRI (DARI SYAHWAT) DAN BANGUN (PADA TAAT) ADALAH TIDAK RIDO KEPADA NAFSU.

BERSAHABAT DENGAN ORANG JAHIL YANG TIDAK MENURUT HAWA NAFSU  LEBIH BAIK DARIPADA BERSAHABAT DENGAN ORANG ALIM YANG TUNDUK KEPADA NAFSU. ILMU APAKAH YANG DAPAT DIPANGGIL BAGI ORANG ALIM YANG DITAWAN OLEH NAFSUNYA, SEBALIKNYA KEJAHILAN APAKAH YANG DAPAT DISEBUTKAN BAGI SESEORANG YANG SUDAH DAPAT MENGEKANG NAFSUNYA.

Hikmat 42 memaparkan sifat iblis yang menyalahi ubudiyah. Hikmat 43 dan 44 ini pula akan menguraikan nafsu, yang biasa dipanggil hawa nafsu. Terdapat perbedaan antara sifat iblis dengan hawa nafsu. Sifat iblis adalah pendatang haram sementara hawa nafsu adalah tuan rumah yang mengizinkan pendatang haram tinggal di rumahnya. Tidak mungkin ada sifat yang menyalahi ubudiyah jika tidak ada hawa nafsu. Malaikat tidak mempunyai hawa nafsu, sebab itu mereka senantiasa taat dan menjalankan tugas mereka dengan sempurna, malah mereka tidak tahu berbuat derhaka kepada Allah s.w.t. Matahari tidak ada hawa nafsu, sebab itu ia tidak menyimpang dari orbitnya. Manusia mempunyai hawa nafsu sebab itu manusia boleh berbuat tidak taat dan boleh lari dari jalan lurus yang dibentangkan kepada mereka.

Iblis dan kuncu-kuncunya yaitu syaitan bartindak memberi saranan dan cadangan tetapi tidak berkuasa menggerakkan mana-mana anggota manusia supaya  melakukan sesuatu yang dia ingini. Tetapi, jika hawa nafsu menerima saranan dan cadangan iblis itu maka hawa nafsu berkuasa memaksa anggota tubuh badannya supaya berbuat sebagaimana yang disarankan oleh iblis itu. Iblis menyalurkan sifat-sifat, dan hawa nafsulah yang menerima serta memakai sifat-sifat tersebut. Satu perkara yang ketara adalah saranan atau idea yang disampaikan oleh iblis dan syaitan kepada hawa nafsu itu dirasai oleh hawa nafsu bahwa saranan itu datang dari dirinya sendiri, bukan disalurkan kepadanya dari sumber lain. Hawa nafsu akan mempertahankan pendapat iblis dan syaitan yang diterimanya itu separti dia mempertahankan pendapatnya sendiri bahkan dia menepak dada mengakui bahwa pendapat tersebut adalah pendapatnya sendiri.

Karl Marx yang menyebarkan fahaman tidak bertuhan tidak mengatakan fahaman itu sebagai rencana iblis tetapi dia mengakui bahwa dialah yang menemui fahaman tersebut. Peter yang menyebarkan fahaman Tuhan tiga dalam satu tidak mengatakan iblis yang mengajarnya tetapi mengatakan dia menerima wahyu dari Tuhan. Begitulah kebodohan dan kesombongan hawa nafsu yang tidak sadar dirinya ditunggangi oleh iblis dan syaitan. Apabila dia menerima cadangan dari iblis dan syaitan dia derhaka kepada Tuhan dan melakukan syirik terhadap-Nya.

Hawa nafsu bukan setakat mampu menerima rangsangan dari iblis dan syaitan malah dia sendiri berupaya merangsang dirinya sendiri tanpa dirangsang oleh iblis dan syaitan. Rangsangan yang muncul dari hawa nafsu sendiri mengarah kepada melakukan maksiat, memenuhi tuntutan syahwat dan asyik dengan perkara yang melalaikan. Apabila iblis dan syaitan memberi rangsangan yang sesuai dengan sifat nafsu itu sendiri mudahlah dia melakukan maksiat dan kemunkaran. Dia tidak merasa sedih bila berbuat kejahatan dan tidak merasa rugi bila hanyut di dalam lautan kelalaian. Apa yang penting baginya ialah memenuhi apa yang dia ingini tanpa menghiraukan akibatnya.

Seseorang yang diistilahkan sebagai jahil tetapi tidak menurut hawa nafsu, tidak ada padanya sifat megah, sombong, takbur dan bodoh. Dia boleh tunduk kepada kebenaran jika kebenaran dibentangkan kepadanya. Dia boleh juga menyampaikan kebenaran yang diketahuinya kepada orang lain. Jadi, kebodohan apakah yang boleh dikatakan kepada orang separti ini yang bersedia menerima dan menyampaikan kebenaran. Orang yang diistilahkan sebagai alim pula, bagaimana boleh dikatakan alim jika dia menurut hawa nafsunya, memakai sifat bodoh dan sombong, menolak kebenaran jika datang dari orang lain atau tidak secucuk dengan kehendak nafsunya. Orang alim yang menurut hawa nafsu tidak mengajak manusia menyembah Allah s.w.t sebaliknya mengajak mereka menyembah ilmunya. Manusia lain menjadi alat baginya untuk menaikkan ego dirinya sendiri. Oleh yang demikian adalah lebih baik jika bersahabat dengan orang jahil yang tidak tunduk kepada hawa nafsunya. Kejahilan tidak menujungnya untuk mengenali kebenaran dan dia juga mampu memberi sokongan ke arah kebenaran.

Sifat iblis adalah hijab diluar hati dan hawa nafsu adalah hijab di dalam hati. Jika hijab diluar disingkapkan dengan tenaga kebenaran, maka hijab di dalam ini juga perlu disingkapkan dengan tenaga kebenaran. Nafsu mesti ditundukkan kepada kebenaran. Pekerjaan ini bukanlah mudah karena nafsu kita adalah diri kita sendiri. Tidak ada beda pada hakikatnya diantara nafsu, hati dengan diri. Memerangi hawa nafsu berarti memerangi diri sendiri. Di dalam diri sendiri itu berkumpul kemauan, cita-cita, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Apabila mau berperang dengan diri sendiri tidak boleh meminta pertolongan kepada diri sendiri.

Ilmu tidak berdaya menentang hawa nafsu karena ilmu adalah alatnya dan alat akan patuh kepada tuannya. Perbahasan ilmu yang berlarutan akan menambahkan kekeliruan dan akan meneguhkan nafsu. Makrifat juga tidak boleh digunakan untuk melawan hawa nafsu karena jika makrifat digunakan ia akan menarik ke dalam ilmu, maka terjadilah yang serupa. Oleh itu jangan meminta tolong kepada ilmu  dan jangan meminta bantuan makrifat untuk melawan nafsu tetapi larilah kepada Allah s.w.t. Menjeritlah sekuat-kuat hati, pintalah pertolongan-Nya.

Istiqamah atau tetap di dalam ubudiyah, menunaikan kewajiban sambil terus berserah diri kepada-Nya, itulah kekuatan yang dapat menumpaskan hawa nafsu. Jangan sekali-kali menuntut kekeramatan karena ia juga menjadi alat hawa nafsu. Tetaplah di dalam ubudiyah, tidak berubah keyakinan terhadap Allah s.w.t, kekuasan-Nya, kebijaksanaan-Nya dan ketuhanan-Nya baik ketika sehat atau sakit, senang atau susah, kaya atau miskin, suka atau duka. Apabila wujud sifat rido kepada ketentuan Allah s.w.t, itu tandanya hawa nafsu sudah tunduk kepada kebenaran.

45: MAKRIFAT HATI TERHADAP ALLAH S.W.T

TERBUKA MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN HAMPIRNYA ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN KETIADAAN KAMU DI SAMPING WUJUD ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN HAKIKI MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU HANYA ALLAH YANG WUJUD, TIDAK TERLIHAT LAGI KETIADAAN KAMU DAN WUJUD KAMU.

Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyadari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesadaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa hampirnya Allah s.w.t dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahwa Allah s.w.t senantiasa mengawasinya. Allah s.w.t melihat segala gerak-gerinya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan berwaspada.

Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin ialah:
  1. Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.
  2. Hati tidak cenderung kepada harta, merasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
  3. Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
  4. Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah s.w.t.
  5. Kehalusan kerohaniannya membuatnya merasa malu kepada Allah s.w.t dan merendah diri kepada-Nya.
Orang Mukmin yang taat kepada Allah s.w.t, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid yaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah s.w.t. Dia tidak lagi kuatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi meletakkan pergantungan kepada sesama makhluk. Hatinya telah teguh dengan perasaan rido terhadap apa jua yang ditentukan Allah s.w.t untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama yaitu takdir yang Allah s.w.t tentukan untuknya.

Apa yang Allah s.w.t takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang separti ini senantiasa di dalam penjagaan Allah s.w.t karena dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t. Allah s.w.t kurniakan kepadanya keupayaan untuk melihat dengan mata hati dan bartindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui fikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan memberi kesan kepada hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia menafikan kewujudan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah s.w.t. Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati..

Dia merasa benar-benar akan keesaan Allah s.w.t bukan sekadar mempercayainya. Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah s.w.t dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah s.w.t, tidak lagi melihat kepada wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana separti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam berkeadaan demikian dia  tidak lagi mengendahkan peraturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah s.w.t. Soal duniawi separti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya. Perbuatannya boleh menyebabkan orang banyak menyangka dia sudah gila. Orang yang mencapai peringkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahwa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah s.w.t dan segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t.

Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tahap pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang  akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa hampirnya Allah s.w.t. Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah boleh melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Keupayaan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan pengenalan atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperolehi keyakinan yang dinamakan ainul yaqin. Pada tahap ainul yaqin makrifatnya ghaib dan dia juga ghaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesadaran terhadap sesuatu perkara..

Beginilah hukum makrifat yang berlaku. Makrifat lebih tinggi nilainya dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pencapaian terhadap persoalan yang terpecah-pecah bidangnya. Makrifat pula adalah hasil pencapaian terhadap hakikat-hakikat yang menyeluruh yaitu hakikat kepada hakikat-hakikat. Tetapi, penyaksian mata hati jauh lebih tinggi dari ilmu dan makrifat karena penyaksian itu adalah hasil dari kemauan keras dan perjuangan yang gigih disertai dengan upaya hati dan pengalaman. Penyaksian adalah setinggi-tinggi keyakinan. Penyaksian yang paling tinggi ialah penyaksian hakiki oleh mata hati. Ia merupakan keyakinan yang paling tinggi dan dinamakan haqqul yaqin. Pada tahap penyaksian hakiki mata hati, mata hati tidak lagi melihat kepada ketiadaan dirinya atau kewujudan dirinya, tetapi Allah s.w.t dilihat dalam segala sesuatu, segala kejadian, dalam diam dan dalam tutur-kata. Penyaksian hakiki mata hati melihat-Nya tanpa dinding penutup antara kita dengan-Nya. Tiada lagi antara atau ruang antara kita dengan Dia. Dia berfirman:

“Dan Ia (Allah) tetap bersama-sama kamu di mana saja kamu berada.” ( Ayat 4 : Surah al-Hadiid)

Dia tidak terpisah dari kamu. Penyaksian yang hakiki ialah melihat Allah s.w.t dalam segala sesuatu dan pada setiap waktu. Pandangannya terhadap makhluk tidak menutup pandangannya terhadap Allah s.w.t. Inilah makam keteguhan yang dipenuhi  oleh ketenangan serta kedamaian yang sejati dan tidak berubah-ubah, bernaung di bawah payung Yang Maha Agung dan Ketetapan Yang Teguh. Pada penyaksian yang hakiki tiada lagi ucapan, tiada bahasa, tiada ibarat, tiada ilmu, tiada makrifat, tiada pendengaran, tiada kesadaran, tiada hijab dan semuanya sudah tiada. Tabir hijab telah tersingkap, maka Dia dipandang tanpa ibarat, tanpa huruf, tanpa abjad. Allah s.w.t dipandang dengan mata keyakinan bukan dengan mata zahir atau mata ilmu atau kasyaf. Yakin, semata-mata yakin bahwa Dia yang dipandang sekalipun tidak ada sesuatu pengetahuan untuk diceritakan dan tidak ada sesuatu pengenalan untuk dipamerkan.

Orang yang memperolehi haqqul yaqin berada dalam suasana hatinya kekal bersama-sama Allah s.w.t pada setiap ketika, setiap ruang dan setiap keadaan. Dia kembali kepada kehidupan separti manusia biasa dengan suasana hati yang demikian, di mana mata hatinya senantiasa menyaksikan Yang Hakiki. Allah s.w.t dilihat dalam dua perkara yang berlawanan dengan sekali pandang. Dia melihat Allah s.w.t pada orang yang membunuh dan orang yang kena bunuh. Dia melihat Allah s.w.t yang menghidupkan dan mematikan, menaikkan dan menjatuhkan, menggerakkan dan mendiamkan. Tiada lagi perkaitannya dengan kewujudan atau ketidakwujudan dirinya. Wujud Allah Esa, Allah s.w.t meliputi segala sesuatu.

46: ALLAH MAHA ESA, SEDIA DAN KEKAL
  
TELAH ADA ALLAH  DAN TIADA SESUATU BESERTA-NYA. DAN, DIA KINI ADALAH TETAP SEBAGAIMANA ADANYA.

Pada martabat zat, segala sifat, nama dan semua kewujudan lenyap di dalamnya, tidak boleh disaksi dan ditakbir lagi. Selagi boleh disaksi dan ditakbir ia masih lagi sifat bukan zat. Apabila sampai kepada perbatasan: “Lemah mengadakan pendapat tentang zat Ilahiat”, seseorang tidak ada pilihan melainkan mengakui wujudnya zat Wajibul Wujud (Wajib Wujud) karena jika tidak wujud zat niscaya tidak ada sifat dan tidak ada kejadian atau perbuatan. Seorang bukan ahli kasyaf bermakrifat dengan akalnya dan beriman kepada zat Wajibul Wujud setelah terjadi kebuntuan  akalnya mengenai hal ketuhanan pada suasana yang diistilahkan sebagai Wahadiyyah atau suasana penkehendakan Ilahi yang juga dipanggil Rububiah. Akal menyaksikan Rububiah atau hal ketuhanan yang menggerakkan sekalian makhluk. Peringkat kesudahan pencapaian akal dan ilmu makhluk dinamakan Hijab al-‘Izzati atau benteng keteguhan. Ilmu sekalian orang alim dan arif terhenti di sini. Zat Allah s.w.t tidak diketahui oleh makhluk karena Dia tidak termasuk di dalam sempadan maklumat, pendapat dan kenyataan. Allah berfirman :

“Dan Allah perintahkan supaya kamu beringat-ingat terhadap kekuasaan diri-Nya” (menyeksa kamu). ( Ayat 30 : Surah a-li ‘Imran )

Rasulullah s.a.w bersabda:

“Semua kamu (yang berfikir) tentang Zat Allah adalah orang dungu.
Percobaan akal untuk menembusi Hijab Keteguhan adalah sia-sia. Jika dipaksa juga tidak ada yang ditemui melainkan kemungkinan menjadi gila.”

Begitulah makrifat Allah s.w.t melalui akal. Makrifat dengan akal menjadi asas kepada makrifat melalui zauk atau pandangaan mata hati. Ahli Allah s.w.t meningkatkan imannya dengan membenamkan dirinya ke dalam ibadat dengan bersungguh-sungguh. Mereka berpuasa pada siang hari dan bersembahyang pada malam hari. Ada antara mereka yang bersembahyang lebih 500 rakaat sehari, khatam membaca al-Quran tiap-tiap hari dan berpuasa sepanjang tahun. Sekiranya Allah s.w.t izinkan, mereka akan mengalami hakikat wujud Zat Allah s.w.t yang sukar untuk diuraikan.

Pengalaman makrifat menurut akal berhenti pada kenyataan: “Semata-mata zat, yang maujud hanya Wajibul Wujud”. Pengalaman makrifat secara zauk pula berakhir pada: “Zat yang kosong dari makhluk, yang maujud hanya Allah s.w.t. Telah ada Allah s.w.t dan tiada sesuatu beserta-Nya. Dia kini adalah tetap sebagaimana dahulunya ”.

Ungkapan ini bukan untuk dibahaskan atau diuraikan dengan terperinci karena ia telah melepasi sempadan ilmu. Ia adalah pengalaman rohani, dinamakan penyaksian hakiki mata hati, tatkala  hilang rasa wujud diri dan sekalian yang maujud, hanya Wujud Allah s.w.t yang nyata, semata-mata Allah s.w.t dan segala-galanya Allah s.w.t. Keadaan ini dicapai setelah melepasi makam-makam ilmu, amal, berserah diri, rido, ikhlas, lalu masuk ke dalam makam tauhid yang hakiki dan pengalaman tauhid yang hakiki itulah yang dinyatakan oleh Hikmat 46 di atas.

“Telah ada Allah s.w.t dan tiada sesuatu beserta-Nya.”

“Allah s.w.t kini adalah Allah s.w.t yang dahulu juga.”

Pengalaman rohani adalah aneh menurut kacamata akal. Ia adalah satu keadaan terlepasnya ikatan  kesadaran terhadap diri sendiri dan dikuasai oleh kesadaran yang lain. Jika mau memahami akan kesadaran-kesadaran yang mempengaruhi kesadaran manusiawi itu terlebih dahulu perlulah difahami tentang kejadian manusia itu. Manusia yang bertubuh badan boleh diistilahkan sebagai alam jasad. Alam jasad mendiami alam dunia. Hubungan yang rapat antara alam jasad dengan alam dunia menyebabkan pengaruh alam dunia kepada alam jasad sangat kuat. Alam jasad menerima pengaruh alam dunia dan menganggapnya sebagai kesadaran dirinya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan antara kesadaran jasad yang asli dengan kesadaran duniawi yang menguasainya.

Alam dunia pula berada di dalam Alam Malakut (alam malaikat). Alam Malakut menguasai alam dunia dan alam jasad. Tenaga malaikat-malaikat menjadi tenaga kepada dunia dan jasad yang menyebabkan dunia dan jasad boleh bergerak. Sistem yang berjalan rapi di dunia dan jasad adalah disebabkan oleh tenaga malaikat yang bekerja dengan tepat mengawalnya. Sedutan udara, kerlipan mata, peridoran darah, pertumbuhan rambut dan kuku, pergerakan otot dan semuanya adalah hasil daripada tindakan malaikat walaupun manusia tidak menyadarinya. Perjalanan matahari, penurunan hujan, tiupan angin dan semua aktiviti benda-benda dunia terhasil daripada tindakan malaikat-malaikat. Perkaitan antara jasad, dunia dan malakut adalah umpama sebatang pokok kelapa di atas sebuah pulau di dalam laut. Pokok kelapa tidak terpisah dari pulau dan tidak terpisah dari laut. Air laut meresap ke dalam tanah pulau dan air yang sama juga meresap ke dalam akar, batang, daun dan seluruh pokok kelapa. Pokok kelapa memperolehi tenaga pertumbuhan dari air laut yang meresap ke dalamnya. Begitulah ibaratnya tenaga malaikat yang menjadi sistem aktiviti manusia.

Alam Malakut dengan segala isinya termasuklah dunia dan jasad berada di dalam Alam Jabarut. Jabarut bukanlah alam separti yang difahamkan. Jabarut bermakna sifat Allah s.w.t. Ini bermakna malakut, dunia dan jasad adalah kesan daripada keupayaan sifat atau dikatakan juga perbuatan yang dihasilkan oleh sifat. Jabarut pula dikuasai oleh Lahut yaitu Zat Ilahiat. Malakut, dunia dan jasad diistilahkan sebagai sekalian alam, merupakan perbuatan yang dikuasai oleh sifat dan sifat pula dikuasai oleh zat. Ini bermakna tidak putus perkaitan di antara Lahut kepada Jabarut kepada malakut kepada dunia dan kepada jasad.

Jika dilihat kepada lapisan yang paling luar akan kelihatanlah pergerakan benda-benda. Jika direnungkan kepada lapisan yang lebih mendalam sedikit kelihatanlah pula pergerakan benda-benda dihasilkan oleh tenaga malaikat. Jika dilihat kepada lapisan yang lebih mendalam akan kelihatan pula pergerakan benda-benda dan tenaga malaikat merupakan perbuatan Tuhan. Jika dilihat kepada lapisan yang lebih dalam akan kelihatan pula sekalian perbuatan Tuhan itu adalah kesan daripada keupayaan sifat Allah s.w.t. Jika dilihat kepada lapisan yang paling dalam akan kelihatanlah bahwa sekalian alam yang muncul karena perbuatan Tuhan, perbuatan pula lahir daripada keupayaan sifat Tuhan dan sifat pula bersumberkan zat Ilahiat. Jika dilihat semuanya tanpa terdinding antara satu dengan yang lain maka kelihatanlah bahwa zat Ilahiat menguasai segala sesuatu.

Apabila semuanya sudah sempurna kedudukannya maka Allah s.w.t mengwujudkan sesuatu yang sangat istimewa. Ia adalah roh manusia. Roh manusia adalah sesuatu yang dari Allah s.w.t, tiupan Roh Allah s.w.t, berkait dengan Zat Allah s.w.t, tidak boleh dinisbahkan kepada apa saja melainkan kepada Allah s.w.t, tetapi ia bukanlah Allah s.w.t karena “Tiada sesuatu yang menyamai-Nya”. Roh manusia yang dinisbahkan kepada Allah s.w.t inilah yang paling mulia:

Kemudian apabila Aku sempurnakan kejadiannya (Adam), serta Aku tiupkan padanya roh dari (ciptaan)-Ku maka hendaklah kamu sujud kepadanya. ( Ayat 72 : Surah Saad )

Kemuliaan roh manusia yang Allah tiupkan dari Roh-Nya menyebabkan malaikat-malaikat kena sujud kepada Adam. Roh pada martabat ini adalah urusan Allah s.w.t:

Katakanlah: “Roh itu dari perkara urusan Tuhanku”. ( Ayat 85 : al-Israa’ )
Bagaimana atau apakah perkaitan roh dengan Allah s.w.t? Perkaitannya adalah Rahasia Allah s.w.t yang manusia tidak diberi pengetahuan mengenainya kecuali sedikit saja. Roh pada martabat Rahasia Allah s.w.t inilah yang sudah mengenal Allah s.w.t dan menyaksikan bahwa:

“Sesungguhnya Allah Maha Esa. Tiada sesuatu beserta-Nya.”

Roh yang berkait dengan Allah s.w.t menghadap kepada Allah s.w.t dan dikuasai oleh kesadaran yang hakiki atau penglihatan rohani yang hakiki atau kesadaran tauhid yang hakiki.

Roh urusan Allah s.w.t itu kemudiannya berkait pula dengan perbuatan Allah s.w.t yaitu alam. Unsur alam yang menerima perkaitan dengan roh urusan Allah s.w.t itu dinamakan roh juga. Roh jenis kedua ini menghuni alam separti makhluk Tuhan yang lain juga. Tempat roh tersebut ialah Alam Arwah {alam roh}.

Roh yang mendiami Alam Arwah ini kemudiannya berkait pula dengan jasad. Jasad yang berkait dengan roh menjadi hidup dan dipanggil manusia. Perjalanan dari atas ke bawah ini dinamakan:

“Kami datang dari Allah s.w.t.”

Oleh sebab manusia datang dari Allah s.w.t mereka berkewajiban pula kembali kepada Allah s.w.t.

Kepada Allah s.w.t kami kembali.
Perjalanan kembali kepada Allah s.w.t hendaklah dilakukan ketika jasad masih lagi diterangi oleh roh yaitu ketika kita masih hidup di dalam dunia. Apabila roh sudah putus hubungannya dengan jasad, tidak ada lagi peluang untuk kembali kepada Allah s.w.t. 


Siapa yang buta (hati) di dunia akan buta juga di akhirat, malah lebih buruk lagi. Hamba Allah s.w.t yang menyadari kewajibannya akan berusaha bersungguh-sungguh untuk kembali kepada Allah s.w.t ketika kesempatan masih ada. Syariat diturunkan supaya manusia tahu jalan kembalinya. Orang yang berjuang untuk kembali kepada asalnya melepaskan kesadaran alam bawah yang menguasainya. Dia masuk kepada kesadaran malaikat. Kemudian dia keluar dari kesadaran malaikat dan masuk kepada kesadaran roh yang murni dan seterusnya masuk kepada kesadaran roh yang menjadi Rahasia Allah s.w.t dan kembali menyaksikan Yang Hakiki sebagaimana telah disaksikannya sebelum berkait dengan jasad dahulu. Keluarlah ucapannya:

Telah ada Allah s.w.t (sebagaimana ia menyaksikan sebelum berkait dengan jasad) dan tiada sesuatu yang menyertai-Nya (sebagaimana disaksikannya dahulu). Dan Dia kini (sedang disaksikannya semulai) sama separti ada-Nya (separti yang disaksikannya dahulu).

Keadaannya adalah separti orang yang melihat kepada sesuatu, kemudian dia memejamkan matanya seketika. Bila dia membuka matanya  semulai dia melihat sesuatu yang sama berada dihadapannya. Tahulah dia bahwa pengalaman semasa memejam mata itu sebenarnya gelap, majazi atau khayalan. Dia kembali melihat yang benar setelah matanya terbuka. Jadi, seseorang hanya boleh melihat Yang Hakiki setelah kembali kepada keasliannya yaitu dia kembali melihat dengan penyaksian hakiki mata hati.


Hikmat 46 di atas walaupun pendek tetapi  menggambarkan perjalanan datang dan pergi yang sangat jauh, bermulai dari Allah s.w.t, sampai kepada dunia dan jasad, kemudian kembali semulai kepada Allah s.w.t.

Perjalanan yang telah diceritakan di atas adalah pengalaman rohani bukan perpindahan jasad dari satu tempat kepada tempat yang lain. Orang yang sedang mengalami hal yang demikian masih berada di bumi, masih bersifat sebagai manusia, bukan ghaib daripada pandangan orang lain. Hanya perhatian dan kesadarannya terhadap yang selain Allah s.w.t ghaib dari alam perasaan hatinya. Pengalaman rohani tersebut memberinya kefahaman dan pengenalan tentang Tuhan. Makrifatullah melalui pengalaman rohani jauh lebih kuat kesannya kepada hati daripada makrifatullah melalui pandangan akal. Akal yang mengenali Allah s.w.t bersifat Maha Melihat dan Mendengar melahirkan kewaspadaan pada tindakan dan tingkah-laku. Makrifat tentang Allah Maha Melihat dan Mendengar yang dialami secara kerohanian menyebabkan gementar dan kecut hati sehingga ketara pada tubuh badan separti pucat mukanya dan menggigil tubuhnya.

Pengalaman kerohanian tentang Allah Maha Esa menanamkan pengartian pada hati mengenai keesaan Allah s.w.t. Pengartian yang lahir secara demikian menjadi keyakinan yang teguh, tidak boleh dibahas atau ditakwilkan lagi.

47: AL-KARIM, TUMPUAN SEGALA HAJAT
 
JANGAN DILAMPAUI NIAT TUJUAN KAMU KEPADA SELAIN-NYA KARENA AL-KARIM TIDAK DAPAT DILAMPAUI OLEH SEBARANG HARAPAN.

Orang yang masih dalam perjalanan sangat teringin untuk cepat sampai kepada Allah s.w.t. Dia terpesona melihat keadaan orang-orang yang telah sampai. Kadang-kadang timbul rasa tidak sabar untuk ikut sama sampai kepada tujuannya. Perasaan tidak sabar akan menimbulkan harapan atau cita-cita agar ada seseorang yang dapat menolong mengangkatnya. Orang yang diharapkan itu mungkin terdiri daripada mereka yang telah sampai atau mungkin juga dia menaruh harapan kepada wali-wali ghaib dan malaikat-malaikat. Maksud dan tujuannya tidak berubah, yaitu sampai kepada Allah s.w.t tetapi dalam mencapai maksud itu sudah diselit dengan harapan kepada selain-Nya. Ini bermakna sifat bertawakal dan berserah dirinya sudah bergoyang. Sebelum dia terjatuh, Hikmat 47 ini menariknya supaya berpegang kepada al-Karim. Walau kepada siapa pun diletakkan harapan namun, harapan dan orang berkenaan tetap mencari al-Karim. Tidak ada harapan dan cita-cita yang dapat melepasi al-Karim.

Al-Karim adalah salah satu daripada Asma-ul-Husna. Nama ini memberi pengartian istimewa tentang Allah s.w.t. Al-Karim bermaksud:
  1. Allah s.w.t Maha Pemurah.
  2. Allah s.w.t memberi tanpa diminta.
  3. Allah s.w.t memberi sebelum diminta.
  4. Allah s.w.t memberi apabila diminta.
  5. Allah s.w.t memberi bukan karena permintaan, tetapi cukup sekadar harapan, cita-cita dan angan-angan hamba-hamba-Nya. Dia tidak mengecewakan harapan mereka.
  6. Allah s.w.t memberi lebih baik daripada apa yang diminta dan diharapkan oleh para hamba-Nya.
  7. Allah Yang Maha Pemurah tidak kedekut dalam pemberian-Nya. Tidak dikira berapa banyak diberi-Nya dan kepada siapa Dia memberi.
  8. Paling penting, demi kebaikan hamba-Nya sendiri, Allah s.w.t memberi dengan bijaksana, dengan cara yang paling baik, masa yang paling sesuai dan paling bermanafaat kepada si hamba yang menerimanya.
Sekiranya para hamba mengenali al-Karim niscaya permintaan, harapan dan angan-angan tidak tertuju kepada yang lain melainkan kepada-Nya. Allah al-Karim menciptakan makhluk dengan kehendak-Nya tanpa ada kaitan dengan sebarang permintaan, cita-cita atau harapan siapa pun. Dia menentukan dan menetapkan hukum pada setiap kejadian-Nya dengan kehendak-Nya juga. Dia menyediakan segala keperluan makhluk-Nya dan mempermudahkan makhluk-Nya memperolehi rezeki masing-masing dengan kehendak-Nya juga. Tidak ada sesuatu yang campur tangan dalam urusan-Nya membagikan kebaikan kepada makhluk-Nya.

Manusia terhijab memandang kepada kemurahan al-Karim oleh sikap mereka sendiri. Mereka menerima sesuatu kebaikan al-Karim sebagai perkara semulaijadi sehingga mereka lupa perkara yang mereka anggap sebagai semulaijadi itu sebenarnya dijadikan, tidak ada sebarang kebetulan pada urusan Tuhan. Tuhan mengatur sesuatu dengan rapi, kemas dan sempurna, tiada sebarang kecacatan dan tidak ada kebetulan. Pergantian siang dengan malam, perubahan cuaca, keberkahan sistem sebab-akibat adalah kurniaan al-Karim untuk manfaat makhluk-Nya, tanpa siapa meminta Dia berbuat demikian. Sistem perjalanan darah, pernafasan, perkomahan, penghadhaman dan semua yang ada dengan manusia adalah kurniaan al-Karim yang memberi tanpa diminta. Manusia tidur malamnya dan dikejutkan oleh al-Karim pada siangnya tanpa diminta. Al-Karim menaburkan ikan-ikan di laut sebagai makanan manusia tanpa diminta. Al-Karim menurunkan hujan dan menyuburkan pokok-pokok tanpa diminta. Tidak dapat dinilaikan betapa besar dan banyaknya nikmat yang disediakan oleh al-Karim untuk makhluk-Nya tanpa mereka meminta. Makhluk berbangsa manusia adalah yang paling banyak menikmati kemurahan al-Karim.

Makhluk yang tidak dibekalkan nafsu dan akal  tidak tahu meminta. Mereka menerima apa saja yang al-Karim sediakan buat mereka. Manusia yang dibekalkan nafsu dan akal selain menerima segala nikmat yang disediakan oleh al-Karim tanpa mereka mengajukan permintaan, mereka juga mempunyai keinginan, harapan, cita-cita dan angan-angan. Dalam banyak perkara yang mereka inginkan mereka ajukan permintaan kepada Allah s.w.t. Allah al-Karim bukan sekadar memberi apa yang diminta malah Dia memberi juga apa yang dicita-citakan, diharapkan dan angankan.

Al-Quran mengingatkan manusia supaya mengenang nikmat kebaikan dan kemurahan Allah al-Karim.

“Maka yang mana satu di antara nikmat-nikmat Tuhan kamu, yang kamu hendak  dustakan (wahai umat manusia dan jin)?” ( Ayat 13 : Surah ar-Rahmaan )

Ayat di atas diulang sebanyak 31 kali dalam satu surah saja yaitu surah ar-Rahman. Wahai bangsa jin dan bangsa manusia yang dipikulkan tanggungjawab pengabdian kepada Allah s.w.t! Perhatikan nikmat, rahmat, kasihan belas dan kasih sayang-Nya, yang mana satu yang mau kalian dustakan? Allah s.w.t menanyakan yang sama sebanyak 31 kali. Tiang Arasy bergegar sekiranya Allah s.w.t ajukan pertanyaan ini kepada para malaikat yang menanggung Arasy. Apakah tidak hancur hati kamu mendengar pertanyaan Tuhan ini? Makhluk bangsa jin yang beriman menyambut pertanyaan Tuhan ini dengan jawaban:

“Ya Tuhanku! Tidak ada sesuatu pun dari kurnia Engkau, ya Rabbana, yang dapat kami dustakan.”

Allah! Ar-Rahman! Al-Karim! Kepada siapa lagi hendak kamu ajukan permintaan? Kepada siapa lagi hendak kamu sandarkan harapan? Bukankah Dia telah berfirman:

“Ia telah menetapkan atas diri-Nya memberi rahmat.” ( Ayat 12 : Surah al-An’aam )

Contohilah sikap Nabi Ibrahim a.s yang senantiasa bergantung kepada al-Karim dan tidak kepada yang lain. Beliau a.s menolak pertolongan yang ditawarkan oleh malaikat Jibrail a.s. Beliau a.s yakin bahwa Allah al-Karim tidak akan membiarkannya. Penyerahan Nabi Ibrahim a.s kepada al-Karim tidak sia-sia.

“Kami berfirman: “Hai api, jadilah engkau sejuk serta selamat sejahtera atas Ibrahim!”. ( Ayat 69 : Surah Anbiyaa’ )

Allah s.w.t, al-Karim, menerima penyerahan penuh Nabi Ibrahim a.s dan Dia melindungi hamba-Nya yang bertawakal itu.

Berkata pula seorang yang mempunyai ilmu pengetahuan dari kitab Allah: “Aku akan membawanya kepadamu dalam sekelip mata!”  Setelah Nabi Sulaiman melihat singgahsana itu terletak di sisinya, berkatalah ia: “Ini ialah dari limpah kurnia Tuhanku, untuk mengujiku adakah aku bersyukur atau aku tidak mengenangkan nikmat pemberian-Nya. Dan (sebenarnya) siapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan siapa yang tidak bersyukur (maka tidak menjadi masalah kepada Allah), karena sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pemurah”. ( Ayat 40 : Surah an-Naml )

Al-Karim yang menyejukkan api dari membakar Nabi Ibrahim a.s, Dia jugalah yang membawa Balkis dan istananya kepada Nabi Sulaiman a.s. Kurniaan Al-Karim tidak dapat diukur dan disukat. Dia memberi terlalu banyak karena Dia sangat Pemurah.

Wahai Tuhan kami. Walau bagaimana banyak sekalipun kami menyebut kebaikan Engkau namun ia tetap tidak mencukupi. Ampunilah kami lantaran kelemahan kami menyatakan syukur yang selayaknya kepada Engkau.

48: HAJAT DARIPADA ALLAH S.W.T, HANYA DIA DAPAT MELAKSANAKANNYA

JANGAN DIAJUKAN HAJATMU KEPADA SELAIN ALLAH S.W.T. ALLAH S.W.T YANG MENDATANGKAN HAJAT ITU KEPADA KAMU. SIAPAKAH YANG SELAIN ALLAH S.W.T DAPAT MENGANGKAT SESUATU YANG DILETAKKAN OLEH ALLAH S.W.T? BARANGSIAPA YANG TIDAK MAMPU MELAKSANAKAN HAJAT DIRINYA SENDIRI, BAGAIMANA PULA DIA SANGGUP MELAKSANAKAN HAJAT ORANG LAIN.

Dalam membentuk keperibadian tauhid, kita perlu melihat sesuatu dari asal mulainya hinggalah kepada penghabisan sampainya. Orang yang masih dalam proses membentuk keperibadian tauhid, diibaratkan jembatan tempat lalu-lintas yang datang dan yang pergi. Apa yang datang menceritakan asalnya dan yang pergi menceritakan tujuannya. Jembatan itu ialah hati dan yang datang itu bermacam-macam, antaranya adalah niat, harapan, angan-angan, cita-cita, hajat dan keinginan. Semuanya datang dari arah yang sama, semuanya bukan jenis benda yang berupa, tetapi adalah jenis tenaga atau kuasa ghaib. Walaupun ghaib, masing-masing itu mempunyai keupayaan dan kekuatan untuk memberi kesan kepada hati. Kesan yang berbeda-beda menyebabkan satu keupayaan dan kekuatan dapat dibedakan dengan keupayaan dan kekuatan yang lain. Boleh dikenal keupayaan dan kekuatan marah, benci, suka, niat, harapan, hajat dan lain-lain. Sumber datangnya segala-galanya ialah makam Lahut (zat Ilahiat), turun kepada makam Jabarut (sifat). Pada makam Jabarut muncullah Iradat dan Kudrat. Iradat dan Kudrat Allah s.w.t menjadi sumber kepada semua keupayaan dan kekuatan. Pancaran Iradat dan Kudrat diterima oleh Alam Malakut sebagai perintah Allah s.w.t. Iradat dan Kudrat yang diterima oleh para malaikat dinamakan Haula dan Kuwwata Allah s.w.t, lalu malaikat-malaikat yang menyambutnya mengucapkan:

Tidak ada keupayaan dan kekuatan melainkan (Iradat dan Kudrat) Allah s.w.t.
 Perintah-perintah yang berhubung dengan manusia dibawa turun dari Lahut kepada Jabarut kepada malakut dan kemudiannya kepada langit dunia atau langit pertama. Langit pertama adalah tempat pengasingan. Ketika Rasulullah s.a.w Mikraj, baginda s.a.w melihat dilangit pertama ada satu pintu ke syurga dan satu pintu ke neraka. Apa yang naik ke atas diasingkan di langit pertama dan apa yang turun ke bawah diasingkan juga di langit yang pertama.

Perintah yang berupa kebaikan turun dari langit pertama dengan diiringi oleh malaikat hingga sampai kepada manusia. Perintah yang mengandungi keburukan diiringi oleh syaitan hingga sampai kepada manusia juga. Baik dan jahat hanya diasingkan apabila memasuki dunia. Pada Alam Malakut tidak ada jahat dan tidak ada baik karena semuanya diterima oleh malaikat sebagai perintah Allah s.w.t. Malaikat yang memukul ahli neraka tidak membuat kezaliman tetapi melaksanakan perintah Allah s.w.t, tetapi manusia yang memukul manusia lain di dunia adalah melakukan kezaliman. Manusia dan jin yang mendiami alam dunia inilah yang dihadapkan dengan kebaikan dan kejahatan. Makhluk lain dalam dunia tidak memikul kebaikan dan kejahatan. Harimau yang memakan rusa tidak dikira melakukan kejahatan. Angin yang menerbangkan rumah orang tidak dikira sebagai melakukan kezaliman. Hanya manusia dan jin yang dipertanggungjawabkan memikul kebaikan dan kejahatan. Jin jenis jahat dinamakan syaitan. Syaitan sangat gemarkan apa saja yang jahat. Syaitan menanti dibawah bumbung langit dunia dan mengiringi keburukan yang turun dengan penuh sukaria hingga sampailah kepada hati manusia. Perkara yang baik diiringi oleh malaikat hingga selamat sampai kepada hati manusia. Walaupun begitu syaitan masih juga mencoba mengganggu perkara baik itu agar bertukar menjadi buruk, tetapi dihalang oleh malaikat.

Setiap perkara yang diterima oleh hati, dibawa oleh malaikat dan syaitan, diberi berbagai-bagai nama mengikut kesannya kepada hati. Ada yang dipanggil niat, ada yang dipanggil keinginan dan ada yang dipanggil hajat serta banyak lagi nama yang digunakan untuk membedakan yang satu dengan yang lain. Setiap yang dibawa oleh malaikat adalah baik, maka lahirlah niat baik, kehendak yang baik dan hajat yang baik. Setiap yang dibawa oleh syaitan adalah buruk, maka lahirlah niat buruk, keinginan jahat dan hajat yang jahat. Biar apa pun istilah yang digunakan, yang pasti ia mempunyai keupayaan untuk menarik hati agar cenderung ke arah atau kepada sesuatu dan ada kekuatan yang memaksa hati untuk mengadakan tindakan mengarah kepada yang dicenderungi itu. Keupayaan dan kekuatannya bukan saja terhenti setakat hati dan anggota-anggota di bawah kawalannya saja, malah ia mampu bergerak melalui ruang dan zaman.

Keupayaan dan kekuatannya mampu mempengaruhi orang lain supaya bergerak ke arah yang sama. Misalnya, seorang pemimpin yang berwawasan mampu mempengaruhi orang banyak supaya bergerak ke arah wawasannya. Ketua penjahat juga mampu menekankan rencana jahatnya kepada anak buahnya. Wawasan dan rencana itu boleh diteruskan oleh orang lain dan boleh juga melintasi zaman lain walaupun orang yang memulaikannya sudah meninggal dunia. Sebab itulah sesuatu amal yang dipelopori oleh seseorang kemudian menjadi ikutan orang lain maka si pelopor itu tetap bertanggungjawab ke atas perbuatan orang yang mengikutnya, karena pada hakikatnya keupayaan dan kekuatan yang diterimanya itulah yang disebarkannya kepada orang lain.

Makhluk yang pertama menerima keupayaan dan kekuatan jahat ialah iblis laknatullah dan daripadanya keupayaan dan kekuatan jahat itu tersebar. Siapa yang melakukan kejahatan dia berbuat demikian dengan tenaga iblis laknatullah. Makhluk yang pertama menerima keupayaan dan kekuatan baik ialah Nabi Muhammad s.a.w. Walaupun Nabi Adam a.s diciptakan terlebih dahulu daripada Nabi Muhammad s.a.w tetapi roh Nabi Muhammad s.a.w diciptakan terlebih dahulu dan roh Nabi Muhammad s.a.w itulah bekas yang pertama menerima tenaga baik. Siapa saja yang melakukan kebaikan maka dia berbuat demikian dengan menggunakan tenaga yang dibekalkan oleh Roh Muhammad s.a.w. Kejahatan tidak berpisah dengan iblis laknatullah. Kebaikan tidak berpisah dengan Muhammad s.a.w.

“Dan tiadalah Kami mengutuskan engkau (wahai Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (semua makhluk pada semua zaman)” ( Ayat 107 : Surah al-Anbiyaa’ )

Tidak ada satu pun makhluk yang memperolehi atau melakukan kebaikan melainkan ia bernaung di bawah rahmat yang Allah s.w.t telah tentukan kepada Nabi Muhammad s.a.w, walaupun kebaikan itu berlaku sebelum baginda s.a.w lahir ataupun sesudah baginda s.a.w wafat. Begitulah pandangan kita jika memandang kepada sempadan alam. Sekiranya pandangan kita tidak berubah dari asal mulai sesuatu tentu Iradat dan Kudrat Allah s.w.t tidak terlindung daripada kita. Kita akan melihat bahwa Iradat dan Kudrat Allah s.w.t saja yang menimbulkan keupayaan dan kekuatan yang singgah kepada hati lalu dinamakan niat, kemauan atau hajat. Iradat dan Kudrat Allah s.w.t yang sama juga memperjalankan niat, kemauan dan hajat melalui ruang dan waktu. Semuanya adalah Iradat dan Kudrat Allah s.w.t.

“Dan kamu tidak dapat menentukan kemauan kamu (mengenai sesuatupun),  kecuali dengan cara yang diatur oleh Allah.” ( Ayat 29 : Surah at Takwiir )

“Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” ( Ayat 96 : Surah as-Saaffaat )

Rasulullah s.a.w bersabda:

“Siapa dibimbing oleh Allah s.w.t kepada jalan yang benar engkau tidak dapat menyesatkannya dan siapa yang dibimbing oleh Allah s.w.t kepada kesesatan engkau tidak dapat meluruskannya.”

Kita sering ucapkan:

"Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Allah s.w.t."

Pandangan tauhid memperlihatkan kepada kita bahwa pada apa jua keadaan Iradat dan Kudrat Allah s.w.t tidak luput daripada kita walaupun dalam niat, harapan atau hajat. Apabila mata hati memandang dari asal mulai hingga ke akhir tujuan tetap pada Allah s.w.t maka hati pun akan bersandar kepada Allah s.w.t saja, tidak lagi bergantung kepada sesama makhluk dan tidak juga kepada dirinya sendiri. Dirinya dan orang lain sama-sama dipikulkan beban. Orang yang memikul beban tidak mampu mengangkat bebannya sendiri, jauh sekali untuk mengangkat beban orang lain. Siapakah dari kalangan makhluk Allah s.w.t yang dapat mengubah apa yang Allah s.w.t telah tetapkan dengan Iradat-Nya dan laksanakan dengan Kudrat-Nya? Tidak ada yang boleh berbuat demikian melainkan Allah s.w.t.

Perintah berbentuk kebaikan yang dibawa oleh malaikat mudah kita mengarti dan terima sebagai Iradat dan Kudrat Allah s.w.t. Bagaimana pula ‘perintah’ keburukan yang dibawa oleh syaitan? Adakah kita perlu melakukan keburukan tersebut? Adakah Allah s.w.t memerintahkan kita berbuat jahat? Persoalan ini membuat kita keliru. Kita harus meneliti perkara ini dengan mendalam supaya tidak terjadi salah iktikad. Ibaratkan syaitan sebagai anjing dan Tuhan adalah Tuan yang memerintahnya. Anjing tidak akan menyalak dan menggigit jika tidak diizinkan atau diperintah oleh Tuannya.

Andainya Tuan mengizinkan anjing menyalak dan menggigit kita kemungkinannya adalah karena:
  1. Tuan murka kepada kita.
  2. Kita mengaburkan hak Tuan.
  3. Pada diri kita ada sesuatu yang digemari oleh anjing.
Apabila kita berhadapan dengan situasi separti di atas kita mempunyai dua pilihan yaitu:
  1. Kita membiarkan diri kita digigit oleh anjing. Jika yang menggigit itu adalah anjing gila maka kita juga akan terkena penyakit anjing gila.
  2. Kita lari kepada Tuannya dan merayu agar menujuu anjing itu daripada kita.
Ketika menerima kedatangan ‘perintah’ supaya berbuat jahat kita mesti menerimanya dengan bijaksana agar kita tidak salah mentafsirkannya. Allah s.w.t selalu mengingatkan kita bahwa syaitan adalah musuh kepada manusia, dan layanlah syaitan itu sebagai musuh. Kita diajarkan supaya berlindung kepada Allah s.w.t dari syaitan yang kena rejam. Jika Allah Yang Maha Mulia menyuruh utusan yang sangat keji yang menjadi musuh kita, membawa  benda busuk kepada kita apakah yang dapat kita katakan tentang nilai diri kita pada pandangan Allah s.w.t? Nilai diri kita adalah sama dengan benda busuk yang dibawa oleh musuh kita itu, yaitu kita ini adalah umpama tong sampah yang layak untuk diisikan dengan sampah sarap.

Sekiranya kita menginsafi perkara tersebut, sebaik saja utusan yang keji itu dan benda yang busuk itu sampai kepada kita, tentu sekali kita akan jatuh pingsan karena takut dan kuatir terhadap kehinaan diri kita dan kemurkaan Allah s.w.t kepada kita. Apabila sadar kita seharusnya menginsafi akan kejahatan dan kehinaan diri kita yang menyebabkan utusan yang jahat dan dilaknat membawa benda kotor dan busuk kepada kita. Kita seharusnya menyucikan diri kita agar kekotoran hilang. Kita sepatutnya memperbanyakkan taubat, memohon keampunan dan belas kasihan daripada Allah s.w.t. 


Kita sepatutnya memperbaiki diri kita, bukan membahas benda busuk yang dibawa oleh utusan yang keji itu. Oleh sebab yang datang itu dengan keizinan Allah s.w.t ia membawa kekuatan yang tidak terdaya kita menentangnya dengan kekuatan diri kita sendiri. Sebab itulah kita diajarkan supaya mengadu kepada Allah s.w.t dan meminta perlindungan-Nya. Sekiranya kita menentangnya dengan kekuatan diri kita sendiri, kita akan tewas, tetapi jika kita berlindung di bawah payung kekuatan Allah s.w.t kita akan menang. Jadi, dalam menghadapi perintah baik dan ‘perintah’ jahat kita mesti lari kepada Allah s.w.t karena segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t dan hanya Dia yang mampu menangani segala sesuatu itu.

Penting bagi orang yang melatih kerohaniannya memerhatikan gerak hatinya karena ia adalah utusan yang membawa perkhabaran dan pemberi petunjuk. Jika kita selalu dikunjungi oleh utusan yang membawa kejahatan itu tandanya kita berada jauh dari Allah s.w.t, Tuan Yang Maha Mulia. Perutusan yang sampai itu merupakan teguran agar kita membetulkan jalan. Jalan yang sesuai untuk kita pilih dan lari ke dalamnya ialah bertaubat, beristighfar, mengingati balasan terhadap dosa, mengingati mati dan takut dengan sebenar-benar takut kepada Allah s.w.t yang berbuat sekehendak-Nya tanpa boleh dihalang oleh siapa pun. Jika perutusan yang datang membawa kebaikan maka jalan yang patut ditempuh ialah memperbanyakkan syukur, puji-pujian terhadap-Nya, mensucikan-Nya, serta memperteguhkan tawakal dan rido dengan takdir-Nya. Gerak hati atau lintasan hati adalah Kalam Allah s.w.t yang membawa perintah, teguran, nasehat dan tanda-tanda. Semuanya menjadi ujian kepada hati itu sendiri.

49: BAIK SANGKA TERHADAP ALLAH S.W.T

JIKA KAMU BELUM MENCAPAI BAIK SANGKA TERHADAP ALLAH  LANTARAN KESEMPURNAAN SIFAT-NYA, MAKA HENDAKLAH KAMU MEMPERBAIKI SANGKA TERHADAP WUJUD-NYA KARENA WUJUD-NYA BESERTA KAMU. BUKANKAH DIA TIDAK MELETAKKAN KAMU MELAINKAN PADA YANG BAIK-BAIK DAN TIDAK MENYAMPAIKAN KEPADA KAMU MELAINKAN NIKMAT-NIKMAT-NYA.

Kita menggantungkan harapan dan hajat kepada sesama makhluk karena kurangnya pengenalan (makrifat) terhadap Allah s.w.t. Apabila kurang kenal maka kita mengadakan sangkaan-sangkaan terhadap-Nya. Sangkaan dibagikan kepada dua yaitu sangkaan baik dan sangkaan buruk. Sangkaan baik datangnya dari iman dan sangkaan buruk datangnya dari keraguan. Corak sangkaan terhadap Allah s.w.t itulah menentukan haluan hajat dan harapan. Jika kita menyangkakan ada makhluk yang mampu menyampaikan harapan dan hajat kita maka kita bersandar kepada makhluk. Jika kita menyangkakan makhluk tidak berdaya maka kita tidak bersandar kepada makhluk.

Perkara sangkaan ini masih lagi di bawah persoalan Iradat dan Kudrat Allah s.w.t. Sangkaan baik dibawa oleh malaikat dan sangkaan buruk dibawa oleh syaitan. Kedatangan sangkaan buruk adalah tanda rohani kita masih terikat dengan alam dunia yang diselubungi oleh cahaya syaitan. Syaitan berada di bawah bumbung langit dunia dan rohani kita juga berada di bawah bumbung yang sama, maka syaitan boleh menjadi kawan dan juru nasehat kepada hati kita. Selagi rohani kita tidak melepasi kongkongan langit dunia selagi itulah gerak hati atau lintasan yang dibawa oleh syaitan mengganggu hati kita. Tujuan latihan kerohanian ialah memberi kekuatan kepada rohani  agar ia dapat naik melepasi langit dunia, lalu lepaslah ia daripada taklukan syaitan. Lintasan syaitan tidak lagi mengganggu hatinya, sebaliknya hati akan menerima lintasan malaikat.

Apabila kita memahami tentang hakikat sangkaan buruk maka kita akan berusaha membuangnya agar ia tidak melekat di hati kita. Kemudian sangkaan itu digantikan dengan sangkaan baik. Bagi kita orang awam, baik sangka terhadap Allah s.w.t dibina di atas kesadaran terhadap nikmat-nikmat yang Allah s.w.t kurniakan kepada kita. Nikmat yang kita terima daripada Allah s.w.t tidak pernah putus sejak kita mulai dijadikan hinggalah ke detik ini. Dalam surah al-Mu'minuun ayat-ayat 12 hingga 14 Allah s.w.t memberi gambaran yang jelas tentang kejadian manusia, supaya manusia menginsafi nikmat yang diterimanya tanpa diminta dan Allah s.w.t memberi nikmat dengan sebaik-baiknya. Maksud firman-Nya itu ialah:

Dan sesungguhnya Kami jadikan manusia dari air yang tersaring dari tanah. Kemudian Kami jadikan dia setitik mani di tempat ketetapan yang terpelihara. Kemudian mani itu Kami jadikan segumpal darah, lantas darah itu Kami jadikan segumpal daging. Kemudian daging itu Kami jadikan tulang-tulang. Kemudian tulang-tulang itu Kami baluti dengan daging. Lantas Kami jadikan dia kejadian yang lain. Maha Suci Allah, sebaik-baik Pencipta.

Perhatikan maksud ayat-ayat di atas. Siapakah kita pada peringkat-peringkat tersebut? Apakah kita sudah ada ikhtiar dan usaha? Adakah kita sudah pandai berharap dan berhajat? Tidak, ketika itu kita tidak memiliki apa-apa dan tidak mengetahui apa-apa. Dalam keadaan yang paling lemah dan paling tidak mengarti apa-apa itu adakah Allah s.w.t membiarkan kita?  Adakah lantaran kita tidak berusaha dan berikhtiar maka Dia membiarkan kita kelaparan dan kehausan? Adakah lantaran kita tidak mengajukan harapan dan hajat maka Dia tidak memperdulikan kita? 


Tidak, sama sekali tidak! Allah s.w.t tidak sekali-kali membiarkan hamba-hamba-Nya. Dia memberi perlindungan dan penjagaan tanpa diminta, tanpa diusahakan, tanpa diharapkan dan tanpa dihajatkan. Apakah ketika di dalam perut ibu saja Allah s.w.t memberikan kebaikan kepada kita dan menyekatnya apabila kita meluncur keluar kepada alam dunia ini?

Tidak, bahkan nikmat kebaikan Allah s.w.t berjalan terus, cuma bedanya ketika di dalam perut ibu kita menerima tanpa kesadaran  dan tanpa pengetahuan, apabila kita berada di dunia kita menerima nikmat serta kebaikan itu dengan kesadaran dan berpengetahuan. Kesadaran dan pengetahuan itu membina sangka baik kita kepada Allah s.w.t. Jika Allah s.w.t telah membuktikan Dia sanggup memberi tanpa diminta mengapa ia enggan memberi apabila harapan dan hajat ditujukan kepada-Nya? Hamba yang insaf akan yakin kepada Allah s.w.t dan dia akan bergantung kepada Allah s.w.t dengan baik sangka.

Kesadaran dan pengetahuan terhadap kebaikan yang Allah s.w.t lakukan membuat seseorang hamba mengarti bahwa Allah s.w.t berbuat baik karena Dia bersifat dengan sifat yang baik-baik. Kesan daripada sifat yang baik muncullah perbuatan yang baik. Apabila kebaikan Allah s.w.t dilihat pada sifat-Nya, aneka ragam perbuatan yang sebagiannya mengelirukan pandangan, tidak lagi memudarkan sangkaan baik seseorang hamba terhadap Allah s.w.t. Walaupun ada perbuatan Allah s.w.t yang kelihatan menekan hamba-Nya, tetapi Allah s.w.t yang sempurna sifat–sifat-Nya, dan semua sifat-Nya adalah baik belaka, tiada sebesar zarah pun yang tidak baik, mana mungkin boleh lahir perbuatan yang tidak baik daripada-Nya. Jadi, baik sangka yang bersandar kepada sifat adalah lebih kuat daripada baik sangka yang terhenti pada perbuatan. Baik sangka yang bersandar kepada perbuatan masih menyembunyikan keraguan yang samar-samar yaitu rasa kurang senang dengan apa yang berlaku, separti firman-Nya:

“Dan boleh jadi kamu benci pada sesuatu padahal ia baik bagi kamu.” ( Ayat 216 : Surah al-Baqarah )

Baik sangka yang bersandarkan kepada sifat akan melahirkan tawakal dan ridho yang sebenarnya, sesuai dengan maksud:

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani.
Segala puji tertentu bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan menkehendakkan sekalian alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani. Yang Menguasai pemerintahan hari Pembalasan (hari Akhirat). Engkaulah saja (Ya Allah) yang kami sembah, dan kepada Engkaulah saja kami memohon pertolongan.” ( Ayat 1 – 4 : Surah al-Faatihah )

Allah s.w.t saja memiliki sifat ketuhanan yang menguasai dan menkehendak seluruh alam. Sifat ketuhanan-Nya tidak berpisah dari sifat Pemurah dan Penyayang. Apa juga yang Dia lakukan kepada alam dan isi alam adalah dengan kasih sayang dan kasihan belas. Tidak ada kezaliman dan kejahatan pada perbuatan-Nya. Dia mampu menaburkan ke seluruh alam akan kasih sayang dan kasihan belas-Nya karena Dia memiliki hari Agama, yaitu semua kehidupan, dunia, Alam Barzakh, akhirat, yang diketahui oleh makhluk, yang tidak diketahui oleh makhluk, semua khazanah dan segala-galanya adalah milik-Nya yang mutlak, tidak berkongsi dengan siapa pun. Lantaran itu hanya Dia yang disembah dan hanya kepada-Nya diajukan permintaan dan harapan.

50: KESAN DARIPADA BUTA MATA HATI

KEAJAIBAN YANG SANGAT AJAIB ADALAH ORANG YANG LARI DARI SESUATU YANG TIDAK MUNGKIN DIA MELEPASKAN DIRI DARIPADA-NYA DAN DICARINYA SESUATU YANG TIDAK MUNGKIN SENANTIASA MENEMANINYA. SESUNGGUHNYA BUKAN BUTA MATA YANG DI KEPALA TETAPI, BUTA MATA YANG DALAM HATI.

Hikmat 45 menceritakan tentang tingkatan makrifat yang dicapai melalui  penyaksian mata hati. Makrifat melalui mata hati diperolehi dengan cara bertauhid. Hikmat 46 menggambarkan  tentang tauhid yang tartinggi. Tingkatan yang tartinggi itu tidak mudah dicapai. Jalan untuk mencapainya adalah dengan menghapuskan semua jenis syirik, yang kasar dan yang halus. Hikmat 47 hingga 49 menceritakan tentang syirik yang halus-halus, yaitu hati bukan setakat bergantung kepada Allah s.w.t saja tetapi pada masa yang sama ia juga berharap kepada makhluk, lantaran kurang keyakinannya kepada Allah s.w.t, atau karena menyangkakan makhluk boleh melakukan sesuatu yang memberi bekas kepada perjalanan takdir Ilahi. Syirik yang demikian dirumuskan oleh Hikmat 50 ini dengan mengatakan bahwa ia terjadi akibat buta mata hati. Sekiranya mata hati dapat melihat tentu dilihatnya bahwa  dalam apa juga keadaan dia tidak terlepas dari Iradat dan Kudrat Allah s.w.t. Dia tidak akan dapat melepaskan dirinya dari Allah s.w.t. Allah s.w.t mempunyai segala sifat-sifat iftiqar yang menyebabkan sekalian makhluk-Nya tidak ada jalan melainkan bergantung kepada-Nya. 


Apabila Allah s.w.t menciptakan makhluk maka dihukumkan makhluk itu berkehendak kepada-Nya, hanya Dia yang kaya, tidak berkehendak kepada sesuatu apa pun. Para hamba yang insaf tunduk kepada hukum Allah s.w.t, lalu mereka meletakkan pergantungan kepada-Nya semata-mata. Mereka tahu bahwa mereka tidak mungkin dapat melepaskan diri daripada Allah s.w.t dan ketentuan-Nya. Mereka juga tahu bahwa mereka tidak mungkin dapat melepaskan diri dari sesuatu yang Allah s.w.t letakkan ke atas mereka. Apabila Allah s.w.t meletakkan beban ke atas hamba-Nya maka hanya Dia saja yang mampu mengangkat beban itu daripadanya. Hamba dari golongan inilah yang celik mata hati, sedangkan mereka yang buta mata hati masih melihat makhluk sebagai sumber yang mendatangkan kesan. Mereka meminta pertolongan sesama makhluk. Mereka berharap makhluk akan melepaskan mereka daripada beban yang sedang mereka pikul. Mereka lupa bahwa  makhluk yang kelihatan seolah-olah berkuasa  memberi kesan itu hanyalah lalu-lalang di hadapan mereka, tidak ada yang menemaninya. Makhluk hanya ejen yang singgah untuk menyampaikan apa yang Allah s.w.t tentukan. Setelah tugas mereka selasaii maka berlalulah mereka dari situ. Berteman dengan sesuatu yang datang seketika kemudian menghilang merupakan keputusan yang tidak benar. Lebih baik bertemankan sahabat sejati yang tidak pernah berpisah walau satu detik pun, tidak disentuh oleh mengantuk dan kelalaian dan tidak sekali-kali menghampakan siapa yang bersahabat dengan-Nya.

Kalau kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad) maka sesungguhnya Allah telahpun menolongnya, yaitu ketika kaum kafir (di Makkah) mengeluarkannya (dari negerinya Makkah) sedang ia salah seorang dari dua (sahabat) semasa mereka berlindung di dalam gua, ketika ia berkata kepada sahabatnya: “Janganlah engkau berdukacita, sesungguhnya Allah bersama kita”. Maka Allah menurunkan semangat tenang tenteram kepada (Nabi Muhammad) dan menguatkannya dengan bantuan tentera (malaikat)  yang kamu tidak melihatnya. Dan Allah menjadikan seruan (syirik) orang-orang kafir terkebawah (kalah dengan sehina-hinanya), dan Kalimah Allah (Islam) ialah yang tartinggi (selama-lamanya), karena Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.( Ayat 40 : Surah at-Taubah )


...bersambung