51: KELUAR DARIPADA ALAM KEPADA PENCIPTA ALAM
JANGAN KAMU BERPINDAH DARI SATU HAL ALAM KEPADA HAL ALAM YANG LAIN. JIKA DEMIKIAN KAMU ADALAH UMPAMA KELEDAI YANG BERPUTAR MENGELILINGI PENGGILINGAN, DI MANA IA MENUJU KE SATU TUJUAN, TIBA-TIBA IA KEMBALI KEPADA TEMPAT MULAINYA. HENDAKLAH ENGKAU MELINTASI SEMPADAN ALAM DAN MENUJU KEPADA PENCIPTA ALAM. SESUNGGUHNYA KEPADA TUHANMU PUNCAK SEGALA TUJUAN.
Keadaan orang yang tidak dapat melepaskan dirinya dari syirik adalah umpama seekor keledai yang terikat dan berputar menggerakkan batu penggiling. Walaupun jauh jarak yang dijalaninya namun, dia senantiasa kembali ke tempat yang sama. Jika ia mau bebas perlulah ia melepaskan ikatannya dan keluar dari bulatan yang sempit. Orang yang mau membebaskan dirinya dari syirik secara keseluruhannya hendaklah membebaskan perhatian hatinya dari semua perkara kecuali Allah s.w.t. Keluar dari bulatan alam dan masuk kepada Wujud Mutlak.
Ada beberapa peringkat yang perlu dilalui sebelum mencapai Wujud Mutlak. Peringkat pertama ialah membebaskan diri dari kongkongan penjara alam jasad. Penjara alam jasad ialah hawa nafsu. Di dalam penjara hawa nafsu ini tersedia berbagai-bagai hidangan yang lazat-lazat separti kekuasaan, kemegahan, kemuliaan, kasihkan puji-pujian, ujub, ria, tamak, dengki dan lain-lain. Jika mau melepaskan diri dari penjara ini hendaklah berpuasa dari semua makanan yang dihidangkan. Jangan diajak bercakap tentang makanan tersebut karena jika dibawa kepada perbincangan akan mendatangkan selera. Sembunyikan selera dan lapar walaupun perut bergelora. Sambutlah setiap hidangannya dengan menggelengkan kepala dan palingkan muka ke arah lain. Apabila makanannya tidak dijamah, hawa nafsu tidak ada kuasa lagi memenjarakan seseorang itu. Bebaslah dia keluar dari penjara tersebut.
Setelah keluar dari penjara nafsu seseorang itu berhadapan pula dengan penjara dunia. Penjara dunia mempamerkan berbagai-bagai jenis keindahan dan keseronokan dan menjanjikan keabadian. Dunia menghidangkan apa saja yang menyenangkan dan memecahkan liur. Di dalam penjaranya seseorang dibenarkan melakukan apa saja, menikmati apa jua hidangannya tanpa pantang dan larang. Di dalam penjara dunia ini seseorang dikurung di dalam bilik yang bernama syahwat. Kaki dan tangannya dirantai dengan rantai yang bernama kelalaian. Matanya ditutup dengan penutup yang bernama panjang angan-angan. Di dalam penjara ini makanan hawa nafsu masih lagi dihidangkan karena dunia dan hawa nafsu senantiasa bekerjasama. Oleh itu setelah berpuasa daripada hidangan hawa nafsu seseorang itu perlu pula mendapatkan alat memutuskan rantai yang mengikatnya dan merobohkan dinding penjara tersebut. Alatnya ialah ingat kepada mati dan huru hara selepas kematian. Inilah alat yang boleh membebaskan seseorang dari penjara dunia.
Setelah keluar dari penjara dunia seseorang itu akan masuk ke dalam penjara akhirat. Hidangan di dalam penjara ini ialah pahala, syurga dan bidadari. Rantai yang mengikat seseorang di dalam penjara ini ialah kehendak atau keinginan atau lebih tepat jika dipanggil kesadaran terhadap diri sendiri. Perhatian kepada diri sendiri yang melakukan amal kebaikan menjadikan seseorang lebih terkongkong di dalam penjara akhirat. Kendaraan yang boleh membawanya keluar ialah ilmu, yaitu ilmu yang boleh melepaskan seseorang dari bersandar kepada amalnya dan melihat bahwa amal kebaikan yang keluar dari dirinya adalah kurniaan Allah s.w.t semata-mata. Tanpa kurniaan rahmat dan petunjuk dari Allah s.w.t niscaya tidak akan ada kebaikan pada dirinya. Apabila seseorang telah kuat berpegang kepada kurniaan Allah s.w.t dia akan bebas dari penjara akhirat.
Setelah selamat dari penjara akhirat seseorang itu akan masuk pula ke dalam penjara alam malaikat, yaitu penjara alam maujud yang terakhir. Hidangan di dalam penjara ini ialah kehampiran dan kemuliaan di sisi Allah s.w.t. Rantai pengikat ialah sisa-sisa kehendak diri sendiri dan kesadaran terhadap diri sendiri yang menerima kurniaan Allah s.w.t. Pada peringkat ini perlulah dihapuskan semua sekali kehendak, cita-cita, angan-angan, harapan, hajat, fikiran dan segala yang maujud. Apabila kefanaan dari semua yang maujud dicapai, dapatlah dia keluar dari penjara malaikat.
Setelah berjaya keluar dari semua jenis penjara alam, seseorang itu masuk ke dalam penjara Ilmu Allah s.w.t. Ilmu Allah s.w.t bukanlah alam, tetapi adalah hal ketuhanan sendiri. Hidangan di dalam penjara ini ialah rahasia yang ghaib-ghaib tentang hukum Allah s.w.t di dalam alam. Dalam suasana Ilmu Allah s.w.t inilah dapat dilihat penkehendakan Ilahi yang menggerakkan alam maya dan semua kejadian yang berlaku di dalamnya. Oleh sebab Ilmu Allah s.w.t sangat luas dan tiada batas sempadan maka penjaranya juga tidak ada sempadan. Siapa yang asyik dengan berbagai-bagai ilmu yang terdapat di dalamnya akan terpenjara selama-lamanya di sini, karena jika mau dikaji Ilmu Allah s.w.t niscaya seseorang itu akan mati dahulu sebelum sempat mengkaji sebesar zarah dari Ilmu-Nya. Seseorang yang mau lepas dari penjara ini hendaklah menjadikan ilmu sebagai kendaraan bukan tujuan. Ilmu bukanlah mahkota untuk dijunjung tetapi ia adalah alat untuk berjalan. Apabila ilmu dilayan dengan adil yaitu meletakkannya pada tempat yang patut baginya, dapatlah seseorang itu bebas dari tawanannya.
Bila keluar dari penjara ilmu, diri akan masuk ke dalam penjara makrifat. Ia adalah penjara yang paling kukuh. Ilmu Allah dan makrifatullah bukan lagi alam maujud. Apa yang didapati pada kedua-duanya adalah hakikat-hakikat atau hal-hal ketuhanan. Paling tinggi pencapaian ilmu tentang Allah s.w.t ialah: Tidak tahu dan tidak boleh dikatakan apa-apa, karena tiada sesuatu menyamai-Nya, menyerupai-Nya atau boleh diibaratkan bagi-Nya. Pada martabat makrifat pula setinggi-tinggi pencapaian ialah: Zat diri-Nya tidak boleh dikenal oleh siapa pun. Dia kini adalah sebagaimana Dia dahulu, bahkan tidak ada kini dan dahulu pada-Nya.
Percobaan untuk mengenal diri Allah s.w.t lebih dari itu adalah sia-sia. Jika dicoba juga maka hasilnya adalah tidak ada apa yang didapati. Siapa yang sampai kepada makam makrifat janganlah tinggal terpenjara di dalamnya. Keluarlah dari makrifat barulah boleh sampai ke Hadrat Allah s.w.t.
Tajrid atau penanggalan secara keseluruhannya dari segala-galanya adalah syarat untuk bertemu dengan Allah s.w.t. Seseorang hendaklah melepaskan ilmu pengetahuannya, amal perbuatannya, makrifatnya, sifatnya, namanya dan semua maklumat, dengan demikian dia bertemu dengan Allah s.w.t seorang diri tanpa sebarang bekal. Dia hendaklah melihat tibanya hidayat dan kemurahan Allah s.w.t, bukan hasil dari amal dan ilmunya. Tinggalkan segala-galanya dan masuklah kepada Hadrat Allah s.w.t. Bagaimana mungkin berbuat demikian?
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakan: “Roh itu dari perkara urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit saja”. ( Ayat 85 : Surah al-Israa’ )
Apa yang kita tidak mengarti dan tidak mempunyai ilmu tentangnya kecuali terlalu sedikit ialah roh.
“Serta Aku tiupkan padanya roh dari (ciptaan)-Ku.” ( Ayat 72 : Surah Saad)
Roh yang berkait atau dinisbahkan kepada Allah s.w.t itulah yang menghadap kepada Allah s.w.t dan yang dapat masuk ke Hadrat Allah s.w.t. Roh adalah urusan Allah s.w.t. Bagaimana roh masuk ke Hadrat Allah s.w.t itu juga urusan Allah s.w.t, kamu tidak diberi ilmu tentangnya kecuali teramat sedikit. Pengetahuan yang sedikit itu ialah: “URUSAN ALLAH S.W.T!” Jangan disoal dan diusul lagi. Allah s.w.t adalah puncak segala tujuan, penghabisan segala perjalanan dan tumpuan semua permintaan.
52: SUCIKAN MAKSUD DAN TUJUAN
PERHATIKAN SABDA RASULULLAH SAW :
“BARANGSIAPA YANG HIJRAHNYA KEPADA ALLAH DAN RASUL MAKA HIJRAHNYA ADALAH KEPADA ALLAH DAN RASUL. BARANGSIAPA YANG HIJRAHNYA KEPADA DUNIA UNTUK MENDAPATKANNYA ATAU WANITA UNTUK MENGAHWININYA, MAKA HIJRAHNYA TERHENTI PADA TUJUAN HIJRAHNYA ITU”.
FAHAMILAH SABDA RASULULLAH SAW TERSEBUT DAN PERHATIKAN PERSOALANNYA JIKA KAMU BOLEH MEMAHAMINYA. DAN, SELAMATLAH ATAS KAMU.
Hikmat ini adalah lanjutan kepada Kalam Hikmat yang lalu. Keluar dari satu hal kepada hal yang lain adalah hijrah juga namanya. Apa yang didapati dari hijrah ialah apa yang dituju atau dimaksudkan dengan hijrah itu. Orang yang keluar dari penjara hawa nafsu dan dunia karena inginkan syurga, maka pencariannya akan terhenti pada syurga. Orang yang keluar dari penjara akhirat karena menginginkan kekeramatan akan berhenti bila berjaya memperolehi kekeramatan. Orang yang keluar dari semua penjara alam karena bermaksud mencapai Ilmu Allah akan berhenti pada ilmu. Orang yang keluar dari kurungan ilmu karena mau mendapatkan makrifat akan berhenti pada makrifat. Semua maksud dan tujuan yang telah dinyatakan tadi menujung seseorang dari masuk ke Hadrat Allah s.w.t. Hanya satu saja tujuan yang benar-benar suci lagi murni, yaitu berhijrah kepada Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Rasulullah s.a.w menyebutkan berhijrah kepada Allah s.w.t dan Rasul-Nya, bukan berhijrah kepada Allah s.w.t semata-mata.
Hijrah zahir adalah berpindah dari Makkah pergi ke Madinah. Hijrah hati adalah meninggalkan sifat-sifat yang keji dan pergi kepada sifat-sifat yang terpuji. Hijrah rohani adalah meninggalkan segala yang maujud dan pergi kepada Rasul Allah karena hanya Rasul Allah yang boleh membimbing kepada Allah s.w.t, sesuai dengan penyaksian:
“Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad Rasul Allah.”
Ketuhanan Allah s.w.t dan kerasulan Muhammad s.a.w tidak dipisahkan. Rasul Allah adalah umpama jembatan yang menghubungkan segala sesuatu dengan Allah s.w.t. Bagaimana mau sampai kepada Allah s.w.t jika tidak melalui jembatan-Nya. Apa juga usaha dan jalan yang diambil untuk pergi kepada Allah s.w.t, tidak akan berhasil jika tidak diikuti jalan Rasul Allah. Bahkan bolehlah dikatakan Allah s.w.t tidak mungkin ditemui jika Rasul-Nya tidak ditemui. Muhammad s.a.w adalah Rasul Allah. Semua nabi-nabi sejak Nabi Adam a.s menyaksikan bahwa Muhammad s.a.w adalah Rasul Allah. Tidak ada kenabian tanpa nur Kenabian Muhammad s.a.w. Tiada syuhud (penyaksian) tanpa syuhud terhadap nur Kebenaran Muhammad s.a.w. Tidak akan sampai kepada Hakikat Allah s.w.t tanpa fana di dalam Hakikat Muhammad s.a.w. Tiada makrifatullah tanpa makrifat Muhammad s.a.w. Begitulah hukum hakikat dan makrifat. Penyaksian ketuhanan Allah s.w.t dan penyaksian kerasulan Muhammad s.a.w tidak boleh bercerai berai.
Allah berfirman dalam Hadis Qudsi yang bermaksud:
“Wahai Muhammad! Kamu melihat mereka melihat kamu, dan meskipun mereka melihat kamu namun, mereka tidak mengenal kepada kamu.”
Orang yang paling hampir dengan Rasulullah s.a.w adalah Saidina Abu Bakar as-Siddik r.a. Beliau berkata: "Wahai Rasulullah. Engkau tidak terpisah daripada saya meskipun aku berada di dalam bilik kakus (tempat membuang air) "
Kelebihan Abu Bakar r.a dari sekalian manusia adalah lantaran Sir yang ada pada dirinya. Sir (Rahasia) adalah perkaitan atau jembatan antara roh dengan Allah s.w.t. Sir yang tersembunyi dalam rahasia hati berkekuatan melebihi kekuatan langit dan bumi. Sir dapat memandang tanpa biji mata dan mendengar tanpa telinga. Sir tidak menetap di satu tempat dan tidak pula mengembara. Sir tidak makan dan tidak minum. Akal tidak ada pengetahuan tentang Sir. Sir tidak ada hubungan dengan hukum sebab musabab. Sir hidup dalam abad demi abad, sedangkan jasad hidup dalam waktu tertentu.
Bila seseorang yakin tentang sirnya maka dia bukan lagi dirinya. Dia adalah daripada Allah s.w.t, sedangkan sekalian yang maujud datang kemudian daripadanya. Tidak ada satu pun yang datang kemudian daripadanya dapat mengalahkannya, asalkan dia mengenal kedudukannya dan membiasakan duduk di dalam makamnya, maka dengan demikian dia lebih kuat dari bumi dan langit, lebih kuat dari syurga dan neraka, lebih kuat dari huruf dan asma’, lebih kuat dari apa yang nyata di dalam dunia dan akhirat. Bagaimana hubungan hati seseorang dengan Rasulullah s.a.w menentukan kedudukan sirnya. Hati yang menerima pancaran cahaya nur Rasulullah s.a.w dikatakan hati yang ada perkaitan dengan Sir.
Hijrah rohani melalui berbagai-bagai peringkat sebelum sampai kepada Allah s.w.t. Seseorang salik atau murid yang melakukan hijrah rohani kepada Allah s.w.t tidak akan berhasil mencapai maksudnya jika dia tidak ‘bersama’ Muhammad s.a.w karena semua pintu langit, semua pintu syurga, semua pintu hijab dan pintu masuk ke Hadrat Allah s.w.t hanya dibuka kepada Muhammad s.a.w dan yang menyertai Muhammad s.a.w. Berhijrah kepada Allah s.w.t tetapi lari dari Muhammad s.a.w adalah kejahilan.
Salik yang benar pada hijrahnya, mulai-mulai dikurniakan cahaya yang menerangi hatinya, membuatnya merasakan hampir dengan Allah s.w.t, dan hatinya merasakan Allah s.w.t berbicara dengannya. Apa saja yang sampai kepada hatinya adalah juru bicara Allah s.w.t. Kemudian dia dibawa kepada makam makrifat yaitu saling kenal mengenal. Jadilah dia seorang yang mengenal Allah s.w.t. Makam ini adalah permulaian makam kesudahan. Ahli tasawuf sering mengucapkan:
Permulaian agama ialah mengenal Allah s.w.t.
Hijrah bersama-sama Rasulullah s.a.w meletakkan makrifat sebagai permulaian, sedangkan hijrah tanpa Rasulullah s.a.w menjadikan makrifat sebagai kesudahan jalan. Sebab itu orang yang berhijrah tanpa Rasulullah s.a.w, setelah memperolehi makrifat mereka beragama dengan cara lain dari cara Rasulullah s.a.w beragama. Mereka tidak lagi berpegang kepada Sunah Rasulullah s.a.w. Sebenarnya mereka baru berada di ambang pintu agama, belum lagi masuk ke dalam gerbang agama yang benar, yang di bawa oleh Rasulullah s.a.w.
Setelah mencapai makrifat, orang arif menanggalkan segala-galanya. Dia tidak lagi bersandar kepada amal, ilmu, makrifat, aulia yang agung, malaikat dan semua yang selain Allah s.w.t. Dia mengikhlaskan hati pada semua perbuatannya dan niatnya hanya tertuju kepada Allah s.w.t. Dia membenamkan dirinya ke dalam sabar menghadapi apa juga ujian dan fitnah. Kuatlah dia berserah diri dan tawakal kepada Allah s.w.t. Kemudian dia naik kepada rido dengan segala hukum dan takdir Allah s.w.t. Seterusnya dia masuk ke dalam makam syuhud, yaitu menyaksikan-Nya dengan mata hati. Masuklah dia ke dalam makam keteguhan. Pada peringkat ini dia sudah melepasi makam kalbu, karena kalbu adalah keadaan yang berbalik-balik, berubah-ubah, tidak tetap dan tidak teguh. Bila dia sudah berada dalam keteguhan maka dihulurkan kepadanya perjanjian kewalian. Kewalian bukanlah kekeramatan. Sikap menghubungkan kewalian dengan kekeramatan adalah kesidelapan yang besar. Sikap beginilah yang membuat orang tertipu dengan keramat khadam dan jin. Ada pula yang tartipu dengan sihir yang dilakukan oleh syaitan.
Kewalian sebenarnya menggambarkan tentang nama Allah s.w.t, al-Waliyyu, yang bermaksud Yang Menjaga, Yang Melindungi dan Yang Memelihara. Orang yang dijadikan-Nya wali adalah orang yang dibawa masuk ke dalam wilayah-Nya atau penjagaan, perlindungan dan pemeliharaan-Nya, dari berbalik mata hatinya kepada selain Allah s.w.t. Seorang wali ialah orang yang tetap penglihatan mata hatinya kepada Allah s.w.t walau dia di dalam kesibukan sekalipun. Semua sahabat Rasulullah s.a.w adalah wali-wali tetapi jarang kedengaran mereka mempamerkan kekeramatan. Rasulullah s.a.w sendiri bersama-sama sahabat termulia, Abu Bakar as-Siddik r.a, berhijrah dari Makkah ke Madinah dengan berjalan kaki dan menaiki unta, bukan terbang di udara dan sampai di Madinah dalam sekelip mata.
Aulia Allah yang agung mengatakan kekeramatan adalah permainan kanak-kanak yang diperlukan seseorang untuk meneguhkan iman, sedangkan orang yang sudah teguh imannya tidak memerlukan kepada keramat. Seorang wali Allah s.w.t mengatakan orang yang keramat bukanlah orang yang dapat mengeluarkan uang dari dompetnya yang kosong atau menukar daun kayu menjadi uang kertas. Seorang yang keramat ialah orang yang dompetnya penuh dengan uang, tetapi bila dia coba mengambil uang di dalam dompetnya itu didapatinya semua uang itu tidak ada, walaupun begitu hatinya tidak berkocak sedikit pun oleh hal tersebut, dia tidak merasa apa-apa. Jadi, kewalian adalah istiqamah yaitu keteguhan bersama-sama Allah s.w.t, bukan kekeramatan. Andainya Allah s.w.t melahirkan kekeramatan melalui wali-Nya itu adalah karena hikmah yang Dia sendiri mengaturnya karena tujuan yang hanya Dia mengetahuinya.
Orang yang berada di dalam wilayah-Nya akan dibawa pula kepada makam pilihan. Setelah dipilih-Nya diserahkan amanat dan disingkapkan kepadanya khazanah Rahasia-rahasia-Nya. Orang yang berada pada peringkat ini sudah dapat menyimpan Rahasia-rahasia Allah s.w.t, tidak membeberkannya sebagai barang murahan yang boleh menyebabkan berlaku fitnah kepada orang banyak. Setelah itu semua dilalui, jadilah dia seorang khalil atau sahabat setia. Seorang khalil dapat mencapai makam al-mahabbah (makam cinta). Makam cinta ini dinamakan makam as-Sir yaitu makam Hakikat Muhammad s.a.w. Kefanaan di dalam makam Mahabbah ini membakar segala tutupan dan hijab lalu tersingkaplah kemutlakan. Lalu si hamba masuk ke Hadrat Allah s.w.t dengan didorong oleh tarikan yang kuat oleh cahaya nur yang pada sisi-Nya. Selamatlah si hamba itu sampai ke Hadrat Tuhannya. Allah s.w.t yang memulaikan ciptaan-Nya dan mengulanginya. Permulaian segala sesuatu ialah Allah s.w.t dan akhirnya juga adalah Allah s.w.t. Dia Yang Awal dan Yang Akhir. Kami datang dari Allah s.w.t dan kepada Allah s.w.t kami kembali.
53 & 54: WASPADA MEMILIH SAHABAT
JANGAN MENJADIKAN SAHABAT (TEMAN HIJRAH) AKAN ORANG YANG TIDAK MEMBANGKITKAN SEMANGAT KEPADA ALLAH S.W.T DAN PERKATAANNYA TIDAK MEMIMPIN KE JALAN ALLAH S.W.T.
KEMUNGKINAN ENGKAU KELIRU TETAPI MENGANGGAPKAN ENGKAU BENAR LANTARAN PERSAHABATAN ENGKAU DENGAN ORANG YANG LEBIH RENDAH HALNYA (KEADAAN ROHANINYA) DARI KAMU.
Orang yang melakukan perjalanan cenderung membawa sahabat bersama-samanya. Ada sahabat berfungsi sebagai khadam. Ada sahabat yang berguna untuk berbicara dan ada sahabat yang boleh menjadi penunjuk jalan. Muhajirin (orang yang berhijrah) kepada Allah s.w.t dan Rasul-Nya tidak memerlukan khadam. Dia mungkin memerlukan sahabat berbicara, tetapi yang sangat diperlukannya ialah sahabat yang boleh menjadi penunjuk jalan. Seseorang haruslah berhati-hati dalam memilih sahabat penunjuk jalan. Orang yang hendak dijadikan pembimbing itu hendaklah seorang yang boleh membangkitkan semangat untuk bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah s.w.t dan perkataannya mengandungi hikmah yang menggerakkan hati agar menghadap Allah s.w.t.
Orang yang layak membimbing orang lain pada jalan kerohanian adalah orang yang telah menempuh sendiri jalan tersebut dan telah mengalami hal-hal (hakikat-hakikat) serta memperolehi makrifat. Mungkin sukar untuk kita mengetahui hal sebenar orang yang demikian namun, sekiranya diperhatikan, pengalaman dan pencapaiannya terbayang pada perbuatan dan pertuturannya. Perbuatannya membangkitkan semangat orang di sekelilingnya agar beramal bersungguh-sungguh bagi mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Perkataannya pula mengandungi nasehat dan tunjuk ajar yang menggerakkan hati supaya menghadap kepada Allah s.w.t. Apabila orang yang sedang menjalani jalan kerohanian bersahabat dengan orang arif yang demikian, dia akan dapat menghilangkan kekeliruan yang mungkin dialaminya semasa pengembaraannya.
Sekiranya si salik memilih sahabat dari kalangan orang yang tidak pernah mengalami zauk hakikat dan makrifat dan kedudukan kerohanian orang tadi jauh lebih rendah daripadanya, si salik itu tidak akan mendapat bimbingan yang diharapkannya. Kehadiran sahabat yang demikian mungkin tidak membangkitkan semangat untuk berbuat taat kepada Allah s.w.t dan ucapannya tidak melahirkan keghairahan menghadap Allah s.w.t. Lebih bahaya lagi jika dia memberi petunjuk yang salah kepada si salik. Kemungkinan terjadi si salik melakukan kesalahan tetapi dia tidak menyadari akan kesalahan tersebut, dan sahabatnya juga tidak menyadarinya. Si salik itu terus berpegang pada pendapat yang salah dan sahabatnya memberi sokongan. Dia menganggap benar apa yang sebenarnya salah. Sekiranya perkara yang salah itu melibatkan soal akidah, kemungkinan salah iktikad itu membawa kepada kekufuran.
Bertambah jauh perjalanan bertambah banyak perkara pelik yang dialami dan kekeliruan yang dihadapi menjadi bertambah sulit. Hanya sahabat yang terdiri daripada orang arif dapat menerangkan setiap pengalaman kerohanian yang dilalui dan menyingkap segala kekeliruan yang dihadapi.
Syaitan akan senantiasa mencari jalan untuk menujung dan menyesatkan orang yang coba berjalan di atas jalan yang lurus.
Katakanlah: “Patutkah kita menyeru serta menyembah yang lain dari Allah, sesuatu yang tidak memberi manfaat kepada kita dan tidak dapat mendatangkan mudarat kepada kita; dan (patutkah) kita dikembalikan undur ke belakang (menjadi kafir musyrik) setelah kita diberi hidayah petunjuk oleh Allah (dengan agama Islam), separti orang yang telah disesatkan oleh syaitan-syaitan di bumi (di tempat yang lengang) dalam keadaan bingung, sedang ia pula mempunyai sahabat-sahabat yang mengajaknya ke jalan yang lurus (dengan berkata kepadanya): ‘Marilah bersama-sama kami’. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah sebenar-benar petunjuk, dan kita diperintahkan supaya berserah diri kepada Tuhan yang memelihara dan menkehendakkan sekalian makhluk”. ( Ayat 71 : Surah al-An’aam )
Orang yang dikelirukan oleh syaitan tidak dapat mengenali sahabat yang benar-benar mengajak kepada petunjuk. Syaitan membuatnya menjadi bingung, lalu dia menyangka bahwa dia sudah berada di atas jalan yang lurus sedangkan dia telah tersalah jalan. Sahabat memainkan peranan yang penting dalam membantu seseorang mencari yang hak.
55: ZAHID DAN RAGHIB
BUKAN SEDIKIT (NILAINYA) AMAL YANG KELUAR DARI HATI SI ZAHID, DAN TIDAK BANYAK (NILAINYA) AMAL YANG KELUAR DARI HATI SI RAGHIB.
Kita telah diajak keluar dari alam kepada Pencipta alam, berhijrah kepada Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Kita diajar supaya memilih sahabat yang dapat membangkitkan semangat untuk berjuang pada jalan Allah s.w.t dan berbuat taat kepada-Nya. Hikmat 55 ini memberi gambaran apakah hijrah rohani itu akan berjaya atau gagal. Alat untuk menilainya ialah dunia. Bagaimana kedudukan dunia di dalam hati akan mempengaruhi perjalanan kerohanian.
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu tubuh kasar dan hati seni. Gabungan dua unsur tersebut membuat manusia boleh berfungsi sebagai cermin yang boleh membalikkan wajah yang memandang kepadanya. Tubuh kasar adalah umpama muka cermin yang gelap dan hati seni pula umpama muka cermin yang terang. Gabungan badan yang gelap dan hati yang terang menyebabkan manusia berkebolehan untuk menerima pancaran Nur Ilahi atau disebut juga menerima tajalli, yaitu melihat sesuatu tentang Allah s.w.t dengan mata hati. Malaikat hanya mempunyai tubuh yang terang dan binatang pula hanya mempunyai badan yang gelap. Makhluk yang mempunyai hanya satu jenis badan tidak sesuai untuk menjadi cermin yang menerima sinaran Nur Ilahi.
Manusia dalam keadaan keasliannya berkebolehan menerima sinaran Nur Ilahi, yaitu menerima tajalli Allah s.w.t. Tetapi, keadaan yang asli itu tertutup, terpendam atau tartimbus karena manusia hidup dalam dunia. Dunia menjadi anasir yang merusakkan keharmonian gabungan badan yang gelap dengan hati yang terang.
Di dunia wujud satu makhluk bangsa jin yang dijadikan daripada cahaya api dan dinamakan syaitan. Cahaya api ini berkebolehan untuk menyelinap masuk ke dalam badan manusia yang gelap dan mengubah suasananya sehingga hilang fungsinya sebagai cermin yang menahan cahaya. Oleh sebab gangguan cahaya api itulah hati manusia tidak dapat menerima sinaran Nur Ilahi. Nur Ilahi yang memancarkan tanda-tanda, peringatan dan sebagainya tidak melekat pada cermin hati, sebaliknya cahaya tersebut menyeberang keluar. Walaupun nabi-nabi membacakan ayat-ayat Allah s.w.t dan memperlihatkan mukjizat, tetapi hati yang demikian tidak dapat menerimanya. Apa yang datang itu berlalu begitu saja tidak terlekat pada hati. Manusia yang demikian, yang kebolehannya yang asli terganggu itu dinamakan si raghib.
Hati si raghib yang sudah menjadi cermin yang tembus cahaya, akan menerima kedatangan kebenaran secara samar-samar karena yang sejati tidak melekat pada cerminnya. Kesamaran itu akan menimbulkan keraguan dan sangkaan. Dalam keadaan demikian si raghib tidak lagi melihat kebenaran yang asli. Sangkaan telah menggubah ‘kebenaran’ yang dilihat oleh si raghib itu. Bila cahaya yang asli tidak melekat pada hati, syaitan memainkan peranannya dengan memancarkan cahayanya kepada hati untuk menambahkan kesamaran dan kekeliruan . Hasilnya muncullah jelmaan yang mengambil alih tempat kebenaran. Jelmaan itulah yang dianggap sebagai kebenaran oleh si raghib. Dalam suasana demikian, sekiranya dia beramal, maka amalannya berpandukan kepada jelmaan yang dipancar oleh syaitan bukan bersumberkan kebenaran yang asli. Walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, tidak ada yang menepati dengan yang benar, dan tidak ada nilainya.
Orang yang mendapat petunjuk dari Allah s.w.t menyadari kesidelapan yang berlaku kepada si raghib, dan dia akan berusaha untuk mengembalikan keaslian dirinya dengan memisahkan hatinya dari dunia dan cahaya api yang menerangi dunia. Dia berusaha untuk keluar dari dunia. Keluar dari dunia bukan bermakna mati. Maksudnya ialah mengwujudkan suasana hati yang tidak ada dunia di dalamnya. Ketika membincangkan Kalam Hikmat 51 telah disentuh tentang cara-cara melepaskan diri dari penjara dunia. Apabila dunia tidak mampu lagi mengenakan tipu daya, seseorang manusia itu akan kembali kepada keasliannya yang berkebolehan menangkap kebenaran. Tidak ada lagi kesamaran dan jelmaaan yang mengganggu hatinya. Apa yang datang kepada hatinya adalah kebenaran yang sejati, tidak dibayangi oleh kepalsuan. Orang yang telah bebas dari penjara dunia itu dinamakan zahid yang bersifat zuhud Si zahid melihat sesuatu sebagaimana semestinya dilihat. Apabila dia beramal maka amalnya bertepatan dengan sebagaimana yang mesti diamalkan. Apa juga amal yang keluar daripadanya adalah amal yang benar dan tidak sia-sia. Sebab itu tidak boleh dianggap sedikit amal yang keluar dari si zahid.
Hati hendaklah bebas daripada kasihkan dunia, kemegahan dan kemuliaannya. Kepentingan duniawi akan menghilangkan sifat ikhlas daripada hati. Orang yang ikhlas, walaupun hidup dalam dunia, melakukan kebaikan kepada makhluk Allah s.w.t tanpa memandang kepada apa juga tawaran yang dibuat oleh dunia. Hubungan amalan yang ikhlas dengan Tuhan adalah ketaatan bukan kepentingan. Hamba melakukan kebaikan dan kebajikan atas dasar melakukan pengabdian kepada Allah s.w.t.
“Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepada-Ku.” ( Ayat 56 : Surah adz-Dzaariyaat )
"Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepada-Nya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya mendirikan sembahyang serta memberi zakat. Dan yang demikian itulah Agama yang benar." ( Ayat 5 : Surah al-Bayyinah )
Hamba yang mengabdikan diri kepada Allah s.w.t melakukan segala pekerjaan dengan ikhlas karena Allah s.w.t. Mereka tidak mempersekutukan amal mereka dengan sesuatu, baik anasir alam maupun kepentingan diri sendiri. Merekalah hamba Allah s.w.t yang hanif, yang senantiasa berpegang kepada kebenaran. Kehanifan itu menjadi kemudi pada hati mereka. Hati akan segera memberontak jika kebenaran diperkosakan. Bila hati sudah dikemudikan oleh sifat hanif, haluan akan lari daripada kesesatan. Diri yang demikian akan dipenuhi oleh ketaatan kepada Allah s.w.t. Jadi, ikhlas, tidak berbuat kemusyrikan dan kesesatan, hanif dan mentaati Allah s.w.t adalah agama yang sebenarnya.
Ahli-ahli sufi bersepakat bahwa jika diisikan dunia ke dalam hati pasti tidak akan ditemui Allah s.w.t, dan sekiranya Allah s.w.t bertempat di hati pasti tidak ada dunia di dalamnya. Orang yang memiliki hati yang diisikan dengan Allah s.w.t semata-mata adalah orang yang benar-benar berjiwa besar. Orang yang meletakkan dunia di atas takhta kerajaan hatinya adalah orang yang coba menipu Allah s.w.t dan kaum muslimin seluruhnya.
56: AMAL, AHWAL DAN MAKAM
BAIKNYA AMAL ADALAH HASIL DARI BAIKNYA AHWAL (HAL-HAL) DAN BAIKNYA AHWAL ADALAH KARENA PENETAPAN MAKAM YANG DIKURNIAKAN ALLAH S.W.T.
Hikmat yang lalu mengaitkan nilai amal dengan zuhud hati terhadap dunia. Hati yang zuhud tidak terlindung dari Nur Ilahi. Hati yang menerima cahaya Nur Ilahi akan mendapat pengalaman kerohanian yang dinamakan ahwal (hal-hal). Ahwal yang menetap pada hati dinamakan makam.
Orang raghib yang hatinya tertutup dari menerima sinaran Nur Ilahi tidak dapat mengalami ahwal. Hati yang separti ini tidak dapat bertahan bila menerima ujian. Jiwanya akan menjadi gelisah apabila bermasalah. Syaitan akan menguasai hatinya sepenuhnya. Syaitan akan mengwujudkan gambar-gambar yang menunjukkan cara-cara menyelesaikan masalah yang dihadapi. Cara yang paling disarankan oleh syaitan ialah membunuh diri. Syaitan akan memberi gambaran bahwa membunuh diri adalah penyelesaian yang paling baik dan paling suci. Ada penganut beberapa kepercayaan menganggap membunuh diri satu jenis jihad yang menyampaikan seseorang ke syurga.
Pahlawan Jepang dahulu kala membunuh diri jika gagal melaksanakan perintah raja mereka. Wanita Hindu zaman dahulu terjun ke dalam api yang sedang membakar mayat suaminya. Ada pula orang membunuh diri dengan cara berlapar karena kononnya berjuang menentang kezaliman. Ada orang yang membunuh diri karena ditinggalkan kekasih dan mereka merasa megah karena nama mereka akan diukir dalam sejarah sebagai kekasih yang setia. Semua perbuatan tersebut dianggap suci oleh pelaku-pelakunya karena mereka sudah memiliki nilai kebenaran yang tersendiri, yaitu kebenaran yang lahir dari kilauan cahaya api syaitan, bukan kebenaran yang sejati.
Ahli zuhud mengalami hal yang berbeda. Mereka juga menerima bala bencana separti orang lain, tetapi sebelum hamba-Nya yang dikasihi-Nya itu jatuh ke dalam jurang kebinasaan, Allah s.w.t menyinarkan hati si hamba itu dengan Nur-Nya. Hati zahid yang diterangi oleh Nur Ilahi akan mengalami satu suasana yang dipanggil sabar. Aliran kesabaran berjalan di dalam hatinya dan diteguhkan kedudukan kesabaran di dalam hatinya itu sehingga menjadi keperibadiannya. Dia dikatakan mempunyai sifat sabar. Walaupun tempuh bala bencana sudah tamat, tetapi sifat sabarnya tidak hilang dan berguna dalam menghadapi bencana yang lain pula. Kesabaran yang sudah menjadi sifat hati itu bertindak sebagai tenaga yang menarik sifat-sifat kebaikan yang lain supaya datang kepadanya.
Kesabaran yang datang bersama-sama bala bencana yang dihadapinya pertama dahulu dinamakan hal dan kesabaran yang menetap sebagai sifatnya dinamakan makam. Apabila Allah s.w.t mengurniakan hal kepada hamba-Nya, kemudian hal itu menetap menjadi makam, akan terhasillah amal kebaikan yang berterusan, bukan setakat didatangi hal itu saja. Hal yang telah menetap dan menjadi makam itu memperteguhkan hati sehingga ia mampu menerima hal-hal yang lain pula. Hal-hal (ahwal) yang datang kemudian itu menetap pula menjadi makam atau sifatnya yang berkekalan. Begitulah hatinya dipenuhi oleh sifat-sifat kebaikan sehingga tidak ada lagi sifat buruk pada hatinya.
Kehidupan dunia ini merupakan medan buat manusia membentuk amalannya, yaitu amalan zahir dan amalan batin. Amalan zahir banyak menyentuh aspek kehidupan di dalam dunia. Amalan batin pula banyak menyentuh soal kehidupan sesudah meninggalkan dunia. Amalan batin lebih diutamakan karena ia mengandungi niat, iman, ikhlas, sabar, ridho, tawakal, hanif dan lain-lain yang menentukan nilai sesuatu amal itu.
“Dialah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) - untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu: siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya; dan Ia adalah Maha Kuasa (membalas amal kamu), lagi Maha Pengampun, (bagi orang-orang yang bertaubat);” - ( Ayat 2 : Surah al-Mulk )
Allah s.w.t mendahulukan peringatan tentang maut daripada peringatan tentang hidup. Maut hanya wujud pada kehidupan dunia ini. Pada kehidupan akhirat maut tidak ada. Hidup yang dibayangi oleh maut ini merupakan ujian. Hidup adalah kesempatan dan peluang untuk membuat persiapan bagi melangkahi jembatan maut, pergi ke tempat yang tidak ada amal dan tidak ada mati. Lihatlah kepada buku catatan amalan masing-masing. Lihatlah kepada usia yang sudah berlalu. Mampukah amalan yang ada menyelamatkan diri sesudah menyeberangi jembatan maut nanti?
Allah s.w.t bukakan dua jalan kepada mereka yang masih ada hayat di dunia. Jalan pertama membawa mereka menemui Allah al-Aziz, Maha Perkasa, Maha Keras (Maha Strict), tidak ada kasihan belas kepada yang bersalah dan hukuman-Nya sangat berat. Jalan kedua membawa mereka menemui Allah al-Ghafur, Maha Pengampun, Maha Bertolak-ansur, Maha Tidak Berkira, dimaafkan-Nya segala dosa walau berapa banyak sekalipun. Buatlah pilihan ketika masih ada hayat dikandung badan.
Bagi mereka yang mau menemui Allah al-Ghafur, Dia memberitahukan caranya.
“Seketika dia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci murni.” ( Ayat 84 : Surah as-Saaffaat )
Mereka yang layak berada di bawah naungan rahmat keampunan Allah s.w.t adalah mereka yang dengan kesucian hatinya menyerahkan diri dan jiwa raganya kepada Tuhan. Mereka menolak segala bentuk pertuhanan yang selain Allah s.w.t. Mereka bersedia menjalankan apa jua perintah Allah s.w.t tanpa takwil. Mereka adalah para hamba yang ikhlas atau bertajrid yaitu melepaskan diri dari segala yang mengikat. Tidak ada pergantungan, sandaran, tempat meminta, tempat berharap dan tempat mengadu kecuali Allah s.w.t. Mereka adalah para hamba yang masuk ke dalam urusan Allah s.w.t, dijaga dan dipelihara oleh Tuhan. Orang yang dipelihara kesucian hatinya sehingga ke akhir hayatnya itu akan kembali kepada Tuhannya dengan sejahtera.
“Hari yang padanya harta benda dan anak-pinak tidak dapat memberikan pertolongan sesuatu apa pun, kecuali (harta benda dan anak cucu) orang-orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat sejahtera (dari syirik dan penyakit munafik);” ( Ayat 88 & 89 : Surah asy-Syu’araa’ )
57: PERANAN ZIKIR
JANGAN MENINGGALKAN ZIKIR LANTARAN ENGKAU BELUM SELALU INGAT KEPADA ALLAH S.W.T KETIKA BERZIKIR, SEBAB KELALAIAN KAMU TERHADAP ALLAH S.W.T KETIKA TIDAK BERZIKIR LEBIH BAHAYA DARIPADA KELALAIAN KAMU TERHADAP ALLAH S.W.T KETIKA KAMU BERZIKIR. SEMOGA ALLAH S.W.T MENAIKKAN DERAJAT KAMU DARIPADA ZIKIR DENGAN KELALAIAN KEPADA ZIKIR YANG DISERTAI INGAT KEPADA ALLAH S.W.T, DAN MUDAH-MUDAHAN ALLAH S.W.T AKAN MENGANGKAT KAMU DARIPADA ZIKIR YANG BESERTA KEHADIRAN ALLAH S.W.T DI DALAM HATI KAMU KEPADA ZIKIR DI MANA LENYAPNYA SEGALA SESUATU SELAIN ALLAH S.W.T. HAL YANG DEMIKIAN ITU TIDAKLAH SUKAR BAGI ALLAH S.W.T.
Empat keadaan yang berkaitan dengan zikir:
- Tidak berzikir langsung.
- Berzikir dalam keadaan hati tidak ingat kepada Allah s.w.t.
- Berzikir dengan disertai rasa kehadiran Allah s.w.t di dalam hati.
- Berzikir dalam keadaan fana dari makhluk, lenyap segala sesuatu dari hati, hanya Allah s.w.t saja yang ada.
Kerohanian manusia berada dalam beberapa derajat, maka suasana zikir juga berbeda-beda, mengikut derajat rohaninya. Derajat yang paling rendah adalah si raghib yang telah tenat dikuasai oleh syaitan dan dunia. Cahaya api syaitan dan fatamorgana dunia menutup hatinya sehingga dia tidak sedikit pun mengingati Allah s.w.t. Seruan, peringatan dan ayat-ayat Allah s.w.t tidak melekat pada hatinya. Inilah golongan Islam yang dijajah oleh sifat munafik. Golongan ini tidak berzikir langsung.
Golongan kedua berzikir dengan lidah tetapi hati tidak ikut berzikir. Lidah menyebut nama Allah s.w.t, tetapi ingatan tertuju kepada harta, pekerjaan, perempuan, hiburan dan lain-lain. Inilah golongan orang Islam yang awam. Mereka dinasehatkan supaya jangan meninggalkan zikir karena dengan meninggalkan zikir mereka akan lebih dihanyutkan oleh kelalaian.. Tanpa zikir, syaitan akan lebih mudah memancarkan gambar-gambar tipuan kepada cermin hatinya dan dunia akan lebih kuat menutupinya. Zikir pada peringkat ini berperanan sebagai ‘juru ingat’. Sebutan lidah menjadi teman yang mengingatkan hati yang lalai. Lidah dan hati berperanan separti dua orang yang mempunyai minat yang berbeda. Seorang enggan mendengar sebutan nama Allah s.w.t, sementara yang seorang lagi memaksanya mendengar dia menyebut nama Allah s.w.t. Sahabat yang berzikir (lidah) mestilah memaksa bersungguh-sungguh agar temannya (hati) mendengar ucapannya. Di sini terjadilah peperangan di antara tenaga zikir dengan tenaga syaitan yang disokong oleh tenaga dunia yang coba menujung tenaga zikir dari memasuki hati.
Golongan yang ke tiga pula adalah mereka yang tenaga zikirnya sudah berjaya memecahkan dinding yang dibina oleh syaitan dan dunia. Ucapan zikir sudah boleh masuk ke dalam hati. Tenaga zikir bartindak menyucikan hati daripada karat-karat yang melekat padanya. Pada mulainya ucapan zikir masuk ke dalam hati sebagai sebutan nama-nama Allah s.w.t. Setelah karat hati sudah hilang maka sebutan nama-nama Allah s.w.t akan disertai oleh rasa mesra yang mengandungi kelazatan. Pada peringkat ini zikir tidak lagi dibuat secara paksa. Hati akan berzikir tanpa menggunakan lidah. Sebutan nama-nama Allah s.w.t menujukan hati kepada Empunya nama-nama, merasai sifat-sifat-Nya sebagaimana dinamakan.
Golongan ke empat ialah mereka yang telah sepenuhnya dikuasai oleh Haq atau hal ketuhanan. Mereka sudah keluar dari sempadan alam maujud dan masuk ke dalam hal yang tidak ada alam, yang ada hanya Allah s.w.t. Tubuh kasar mereka masih berada di atas muka bumi, bersama-sama makhluk yang lain. Tetapi, kesadarannya terhadap dirinya dan makhluk sekaliannya sudah tidak ada, maka kewujudan sekalian yang maujud tidak sedikit pun mempengaruhi hatinya. Mereka karam dalam zikir dan yang dizikirkan. Mereka yang berada pada tahap ini telah terlepas dari ikatan manusiawi dan seterusnya mencapai penglihatan hakiki mata hati, sebagaimana yang telah dinyatakan ketika membincang Hikmat 45.
Mereka yang mempunyai penglihatan hakiki mata hati ada dua jenis. Jenis pertama adalah yang mempunyai nama dan tabir penutup. Hijab nama (asma’) tidak terangkat lalu dia melihat di dalam hijab. Dia melihat Allah s.w.t pada apa yang menghijabkannya.
Zikirnya ialah nama yang padanya dia melihat Allah s.w.t. Jenis kedua pula ialah yang berpisah dengan nama dan hijab, lalu dia melihat Allah s.w.t dan merasakan ketenangan dengan penglihatan itu. Pada ketika itu tidak sepatah pun ucapan yang terucap olehnya dan tidak sepatah pun kalam yang terdengar padanya. Dia melihat nama itu tidak mempunyai kekuatan hukum apa pun selain-Nya. Bila nama dinafikan tibalah pada wusul (sampai). Bila tidak terlintas lagi nama tibalah pada ittisal (perhubungan). Nama yang tidak lagi terlintas disebabkan kuatnya tarikan dari yang dinamai. Makam ini dinamakan makam al-Buhut (kehairan-hairanan), karena dia melihat Allah s.w.t dalam kehairan-hairanan, tiada ucapan kecuali pandangan. Inilah makam terakhir di mana semua hati terhenti di situ. Ia adalah tingkatan tartinggi tentang kecintaan terhadap zat Ilahiat.
Pada tahap ini Nur-Nya memancar, menyinar, menjulang naik ke lubuk hati. Peringkat ini sudah tiada zikir dan tiada pula yang berzikir, hanyalah memandang bukan berzikir dan tiada berbalik kembali pandangannya. Inilah hal yang dikatakan faham dengan tiada uraian pemahamannya dan mencapai dengan tiada sesuatu pencapaiannya. Insan di dalam hal ini sudah tidak lagi memohon fatwa, tidak memohon perkenan, tidak meminta pertolongan dan ucapan juga tiada. Baginya setiap sesuatu adalah ilmu dan setiap ilmu adalah zikir. Inilah hamba yang telah benar-benar berjaya menghimpun semua makam dan martabat. Dia sudah melihat takdir-takdir dan melihat bagaimana Allah s.w.t menujuu takdir demi takdir dan melihat bagaimana Allah s.w.t mengulangi takdir-takdir itu dengan berbagai-bagai cara yang dikehendaki-Nya karena sesungguhnya Allah s.w.t saja yang memulaikan penciptaan dan Dia juga yang mengulanginya. Penglihatannya tidak berbolak-balik lagi. Dia melihat Allah s.w.t di hadapan dan di belakang apa yang dilihatnya dan melihat Allah s.w.t dalam segala yang dilihatnya.
Apabila kerinduan terhadap Allah s.w.t telah menguasai hati seseorang hingga kepada tahap tiada ucapan yang boleh diucapkan maka keadaan itu dikatakan melihat Allah s.w.t yang tiada sesuatu yang menyamai-Nya, sebagaimana firman-Nya:
“Tiada sesuatupun yang sebanding dengan (Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan penkehendakan)-Nya, dan Dia jualah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( Ayat 11 : Surah asy-Syura )
58: TANDA MATINYA HATI
SEBAHAGIAN DARIPADA TANDA MATINYA HATI IALAH APABILA TIDAK MERASA SEDIH JIKA TERLEPAS SESUATU AMAL KEBAIKAN DARIPADANYA DAN TIDAK MENYESAL JIKA TERJADI PERBUATAN YANG TIDAK BAIK OLEHNYA.
Kita telah dinasehatkan supaya jangan meninggalkan zikir walaupun tidak hadir hati ketika berzikir. Begitu juga dengan ibadat dan amal kebaikan. Janganlah meninggalkan ibadat lantaran hati tidak khusyuk ketika beribadat dan jangan meninggalkan amal kebaikan lantaran hati belum ikhlas dalam melakukannya. Khusyuk dan ikhlas adalah sifat hati yang sempurna. Zikir, ibadat dan amal kebaikan adalah cara-cara untuk membentuk hati agar menjadi sempurna. Hati yang belum mencapai tahap kesempurnaan dikatakan hati itu berpenyakit. Jika penyakit itu dibiarkan, tidak diambil langkah mengobatinya, pada satu masa, hati itu mungkin boleh mati. Mati hati berbeda daripada mati tubuh badan. Orang yang mati tubuh badan ditanam di dalam tanah. Orang yang mati hatinya, tubuh badannya masih sehat dan dia masih berjalan ke sama ke mari di atas muka bumi ini.
Jika kita renungi kembali kepada diri zahir manusia, kita akan dapat menyusunnya sebagai tubuh, nyawa, naluri-naluri dan akal fikiran. Bila dibandingkan dengan hewan, kita akan mendapati susunan hewan separti susunan manusia juga.. Hewan mempunyai tubuh badan, nyawa dan naluri-naluri. Bedanya adalah hewan tidak mempunyai akal fikiran. Oleh sebab manusia memiliki akal fikiran maka manusia boleh diistilahkan sebagai hewan yang cerdik.
Hewan yang cerdik (manusia), dipanggil nafsu natiqah menurut istilah tasawuf . Pemilikan akal tidak mengubah manusia dari status kehewanan. Jika ada hewan berbangsa monyet, harimau, kuda dan lain-lain, maka ada hewan berbangsa manusia. Hewan berbangsa manusia menjadi raja memerintah semua hewan yang lain. Akal fikiran yang ada pada mereka membuat mereka boleh membentuk kehidupan yang lebih sempurna dari hewan lain yang tidak berakal. Akal fikiran juga mampu membuat hewan bangsa manusia menawan daratan, lautan dan udara.
Walaupun mereka berjaya menawan daratan dengan kendaraan mereka namun, itu tidak membedakan mereka daripada kuda dan hewan lain yang mampu juga menawan daratan. Walaupun mereka berjaya menawan lautan namun, itu tidak membedakan mereka daripada hewan ikan yang juga menggunakan lautan. Walaupun mereka berjaya menawan udara namun, itu tidak membedakan mereka daripada hewan burung yang juga menggunakan udara. Kemampuan yang ditunjukkan oleh akal fikiran tidak mengubah status hewan yang ada pada manusia. Apakah yang menjadikan manusia sebagai insan, bukan hewan?
Manusia menjadi istimewa karena memiliki hati rohani. Hati mempunyai nilai yang mulia yang tidak dimiliki oleh akal fikiran. Semua anggota dan akal fikiran menuju kepada alam benda sementara hati rohani menuju kepada Pencipta alam benda. Hati mempunyai persediaan untuk beriman kepada Tuhan. Hati yang menghubungkan manusia dengan Pencipta. Hubungan dengan Pencipta memisahkan manusia daripada daerah hewan dan mengangkat derajat mereka menjadi makhluk yang mulia. Hati yang cergas, sehat dan dalam keasliannya yang murni, berhubung erat dengan Tuhannya. Hati itu menyuluh akal fikiran agar akal fikiran dapat berfikir tentang Tuhan dan kejadian Tuhan. Hati itu menyuluh juga kepada anggota tubuh badan agar mereka tunduk kepada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Hati yang berjaya menaklukkan akal fikiran dan anggota tubuh badannya serta mengarahkan mereka berbuat taat kepada Allah s.w.t adalah hati yang sehat.
Hati yang sehat melahirkan takwa, yaitu pengabdian kepada Allah s.w.t. Takwalah yang membedakan kedudukan seseorang hamba pada sisi Tuhan. Semakin tinggi derajat ketakwaan semakin hampir seorang hamba dengan Tuhannya. Semakin rendah derajat takwa semakin hampir seseorang dengan daerah kehewanan. Jika takwa tidak ada jadilah manusia itu hewan yang pandai berfikir dan berkata-kata.
Hewan yang pandai berfikir inilah yang dikatakan manusia yang mati hatinya. Dia tidak dapat menggerakkan fikiran dan anggotanya menuju kepada Allah s.w.t. Bagian yang menuju kepada Pencipta tidak berfungsi, hanya bagian yang menuju kepada alam benda merupakan bagian yang aktif. Manusia yang mati hatinya atau manusia yang berbangsa hewan ini tidak merasa sedih jika terlepas peluang baginya untuk melakukan amalan yang mendekatkan diri dengan Tuhan dan dia tidak merasa kesal jika dia berbuat dosa dan maksiat yang menjauhkan dirinya daripada Allah s.w.t.
Kematian hati tidak dapat dikenal jika seseorang itu mengambil daya nilai keduniaan sebagai piawaian. Banyak orang yang menurut pengartian tasawuf sudah mati hatinya tetapi mereka mencapai berbagai-bagai kecemerlangan dalam kehidupan dunia. Mereka menjadi pemimpin kepada orang banyak. Mereka menciptakan berbagai-bagai benda keperluan manusia. Mereka berjaya mendaki Gunung Everest. Mereka memegang bermacam-macam rekod kejohanan. Mereka menguasai kekayaan dan berbagai-bagai lagi kejayaan dan kecemerlangan.
Apa juga kejayaan dan kecemerlangan yang diperolehi hendaklah diletakkan di atas neraca akhirat. Jika kejayaan dan kecemerlangan itu mampu menambahkan berat neraca kebaikan, maka kejayaan dan kecemerlangan itu adalah benar. Jika tidak ia hanyalah fatamorgana.
59 & 60: DOSA DAN BAIK SANGKA
TIDAKLAH BESAR SESUATU DOSA MELEBIHI SESUATU YANG MENUJUNG KAMU BERBAIK SANGKA KEPADA ALLAH S.W.T. BARANGSIAPA MENGENAL TUHANNYA NISCAYA MELIHAT KECILNYA DOSA.
TIDAK ADA DOSA KECIL JIKA ALLAH S.W.T MENGHADAPI KAMU DENGAN KEADILAN-NYA DAN TIDAK ADA DOSA BESAR JIKA ALLAH S.W.T MENGHADAPI KAMU DENGAN KURNIAAN-NYA.
Allah s.w.t menurunkan syariat kepada umat manusia melalui nabi-nabi-Nya. Syariat menentukan hukum-hukum yang wajib dipatuhi. Hukum itu terdiri daripada dua jenis, satu yang wajib dibuat dan satu lagi yang wajib tidak dibuat. Perbuatan yang menyalahi hukum dinamakan dosa. Tidak melakukan yang wajib dilakukan adalah berdosa. Melakukan yang wajib tidak dilakukan juga berdosa. Syarat penerimaan dosa adalah kesadaran dan kerelaan hati dalam perbuatan tersebut. Perbuatan yang menyalahi hukum jika dibuat tanpa kesadaran, dan dengan terpaksa tidak dikatakan berdosa. Jika meninggalkan sembahyang karena tartidur sebelum masuk waktu wajib sembahyang dan terjaga dari tidur setelah luput waktu sembahyang, maka meninggalkan sembahyang selama tempuh tertidur itu tidaklah berdosa.
Seorang yang sedang kebuluran dan tidak ada makanan yang halal ditemuinya, yang ada hanyalah segumpal daging khinzir yang syariat mengharamkan memakannya, jika dia memakan daging tersebut tidaklah dikira dia berdosa. Jika keadaan tidak sadar sengaja diadakan, separti sengaja meminum arak kemudian ketika mabuk itu dia melakukan maksiat, maka dia mendapat dua dosa, yaitu dosa meminum arak dan dosa melakukan maksiat setelah sengaja tidak menyadarkan dirinya. Sengaja mengwujudkan suasana darurat untuk menyalahi hukum tidak melepaskan dari beban dosa. Misalnya, seorang pesakit yang membuat alasan penyakitnya hanya boleh sembuh dengan meminum arak menurut nasehat doktor kafir, maka perbuatan meminum arak secara ini hukumnya berdosa.
Dosa disabitkan kepada pelanggaran syariat dan syariat pula dicipta oleh Allah s.w.t. Jadi, pada hakikatnya dosa adalah ditentukan oleh Allah s.w.t. Allah s.w.t yang meletakkan hukum. Tidak taat kepada Allah s.w.t itulah sebenarnya dosa. Syariat boleh berubah tetapi Allah s.w.t yang wajib ditaati tidak berubah. Banyak perkara yang diharamkan dalam syariat Nabi Musa a.s dihalalkan dalam syariat Nabi Muhammad s.a.w. Syariat nabi-nabi yang terdahulu tidak menghadkan bilangan isteri-isteri tetapi syariat Nabi Muhammad s.a.w menghadkannya setakat empat orang saja dalam satu masa. Jadi, intisari pahala dan dosa bukanlah sesuatu perbuatan itu, tetapi ketaatan atau kedurhakaan kepada Allah s.w.t yang menjadi pahala atau dosa. Melakukan gerakan sembahyang jika tidak disertai dengan ketaatan kepada Allah s.w.t, tidak dinamakan bersembahyang. Setiap perbuatan bergantung kepada niat. Perbuatan dilakukan oleh anggota zahir dan niat dilakukan oleh anggota batin yaitu hati rohani. Perbuatan hati itulah yang menentukan pahala atau dosa.
Semua jenis ibadat hanya diakui sebagai ibadat jika hati memperakukan ibadat itu karena Allah s.w.t. Hati yang menentukan nilai perbuatan, bukan perbuatan yang menjadi penentu nilai. Oleh sebab itu perbuatan yang bersalahan dengan hukum tidak menjadi besar jika dibandingkan dengan perbuatan hati yang menafikan kesempurnaan Allah s.w.t dan mengadakan sangkaan buruk terhadap-Nya. Perbuatan dosa yang dilakukan oleh anggota zahir hanya mengotorkan manusia itu sendiri saja, tetapi sangkaan buruk terhadap Allah s.w.t mengaburkan kesempurnaan ketuhanan Allah s.w.t, dan ini jauh lebih besar dosanya. Sebab itu dosa yang paling besar dan tidak diampuni-Nya adalah syirik, yaitu meruntuhkan keesaan ketuhanan Allah s.w.t.
Manusia yang terkurung di dalam penjara dunia, hatinya dibayangi oleh cahaya api syaitan. Syaitan membawa kepadanya khayalan-khayalan yang membentuk sangkaan. Apabila seseorang itu didatangi oleh keinsafan dan mau bertaubat dari dosa-dosanya, syaitan akan mengulang-tayang akan perbuatan dosanya dengan gambaran yang sangat hina dan menjijikkan sehingga orang itu merasakan dosanya terlalu besar, tidak mungkin mendapat keampunan Allah s.w.t. Dia tenggelam dalam lautan sangkaan bahwa Allah s.w.t tidak akan mengampunkan dosanya. Seterusnya timbul sangkaan bahwa tidak berfaedah lagi dia melakukan kebaikan karena dosa-dosa yang lalu menujung kebaikan yang hendak dilakukannya diterima oleh Allah s.w.t. Jadilah dia seorang yang hidup dengan dosa-dosa yang lalu dan tidak ada kebaikan baru dikerjakan.
Tugu sangkaan buruk terhadap Allah s.w.t yang dibina oleh syaitan mestilah dirobohkan. Hikmat 57 telah menganjurkan agar tidak meninggalkan zikir walaupun hati lalai dari apa yang dizikirkan. Zikir yang dilakukan secara paksa itu akan meleburkan sangkaan buruk terhadap Allah s.w.t sedikit demi sedikit, lalu muncullah sangkaan baik. Rohaninya seterusnya meningkat ke derajat yang lebih tinggi, di mana tidak ada lagi sangkaan terhadap Allah s.w.t, tetapi hati mengenal Allah s.w.t dengan sebenar-benar kenal. Dapatlah dia melihat bahwa niat datangnya dari Iradat Allah s.w.t. Tidak ada suatu kehendak kecuali apa yang bergantung kepada Iradat Allah s.w.t. Tidak ada satu perbuatan kecuali apa yang bergantung kepada Kudrat Allah s.w.t. Pada sisi Allah s.w.t tidak ada yang jahat, semuanya baik belaka. Jahat hanya wujud apabila nafsu manusia mengadakan kehendak dan perbuatan dirinya sendiri, lupa dia bersandar kepada Allah s.w.t. Junaid al-Baghdadi berkata: “Barangsiapa tidak mencapai fana dirinya dan baqa dengan Allah s.w.t, maka semua kebaikan yang dibuatnya adalah mengandungi dosa”.
Ahli makrifat melihat kecilnya perbuatan dosa jika dibandingkan dengan pengakuan dirinya ada kuasa menciptakan sesuatu perbuatan. Bagi mereka, selagi mereka melihat diri mereka melakukan amalan, selagi itulah amalan mereka mengandungi dosa. Perhatian kepada diri menghijab perhatian kepada Tuhan. Orang arif mengembalikan segala perkara kepada Tuhan. Mereka melihat diri mereka tidak melakukan kejahatan karena Allah s.w.t menjaga dan melindungi mereka daripada kejahatan. Mereka melihat diri mereka berbuat kebaikan karena Allah s.w.t mengurniakan kebaikan itu kepada mereka. Tidak terlihat lagi pada mata hati mereka sesuatu apa pun kecuali yang dari Allah, kepada Allah dan beserta Allah s.w.t.
Tanpa makrifat seseorang akan melihat amal yang dilakukannya dan dia cenderung untuk mengukur dirinya dengan amalan tersebut. Seterusnya dia menjadikan amalan tersebut sebagai persediaan untuk menghadap Allah s.w.t. Boleh dikatakan dia menjadikan amalannya sebagai tuntutan terhadap Allah s.w.t. Apabila seseorang hamba membawa kepada Allah s.w.t amal perbuatannya, maka Allah s.w.t menerimanya dengan hisab dan perhitungan yang terperinci. Hisab Allah s.w.t sangat halus dan rapi. Tidak ada walau sebesar zarah pun yang terkeluar dari kiraan-Nya. Sebab itu jika kamu dihadapkan kepada keadilan Allah s.w.t, tidak ada dosa yang kecil atau remeh-temeh yang boleh lepas dari kiraan Allah s.w.t. Semuanya besar dan semuanya dikira. Berbeda keadaannya bagi orang yang dihadapi Allah s.w.t dengan kurnia-Nya. Allah s.w.t berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman akan jiwa mereka dan harta benda mereka dengan (balasan) bahwa mereka akan beroleh syurga, (disebabkan) mereka berjuang pada jalan Allah; maka (di antara) mereka ada yang membunuh dan terbunuh.” ( Ayat 111 : Surah at-Taubah )
Orang yang dibeli oleh Allah s.w.t, menjadi hamba abdi kepada-Nya. Allah s.w.t, sebagai Tuan, menguruskan, memelihara dan menjaga abdi-Nya. Apa juga perbuatan yang dilakukan oleh hamba abdi adalah yang diperintahkan oleh Tuannya. Tuan yang mengeluarkan perintah, Tuan juga yang mempertanggungjawabkannya. Hamba abdi tidak ada pilihan. Lantaran itu apabila Allah s.w.t menghadapi hamba abdi-Nya, maka dihadapi-Nya dengan kurnia-Nya bukan dengan tuntutan. Apabila Allah s.w.t tidak membuat tuntutan, tidak ada dosa dan kesalahan yang besar. Jadi, buatlah keputusan apakah mau menjadi orang yang mengumpul amal dan membuat tuntutan kepada Allah s.w.t dengan amal itu, atau menjualkan diri kepada Allah s.w.t, menjadi abdi-Nya dan berserah sepenuhnya kepada-Nya.
61: AMAL YANG BERNILAI PADA SISI ALLAH S.W.T
TIDAK ADA AMAL YANG DIHARAPKAN DITERIMA ALLAH S.W.T SELAIN AMAL YANG KAMU TIDAK MELIHAT KEPADANYA DAN MEMANDANGNYA KECIL ATAU REMEH.
Hikmat ini mengajak kita merenung kepada amal yang kita anggap kecil, remeh dan tidak penting. Amal yang demikian kita lakukan seketika kemudian terus melupakannya. Misalnya, ketika kita sedang memandu, seekor anak ayam melintasi jalan di hadapan, kita memperlahankan kereta sehingga anak ayam itu selamat menyeberang. Misal yang lain, seekor lalat terjatuh ke dalam minuman kita, lalu kita keluarkannya dan membiarkan ia terbang pergi. Peristiwa separti itu dialami dalam beberapa saat saja, bersaja, tidak menyentuh jiwa dan kemudian dilupakan buat selama-lamanya. Amal yang separti itulah yang perlu direnungkan karena begitulah bentuk amal yang diterima oleh Allah s.w.t. Amal yang demikian keluar dari kemanusiaan yang asli dan murni. Keaslian dan kemurnian itulah yang hendak dihidupkan dalam setiap amalan, walau bagaimana besar sekalipun amalan itu.
Apalah bedanya menyelamatkan seorang manusia dengan seekor lalat yang sama-sama lemas di dalam air. Allah s.w.t yang mengizinkan dan menggerakkan kamu untuk menyelamatkan lalat yang lemas itu. Allah s.w.t juga yang mengizinkan dan menggerakkan kamu menyelamatkan manusia yang lemas. Siapakah kamu, di manakah kamu, apakah kekuasaan kamu, apakah tindakan kamu dalam peristiwa-peristiwa tersebut? Adakah berbeda kamu yang menyelamatkan lalat itu dengan kamu yang menyelamatkan manusia itu? Sekiranya seseorang itu tidak ada keegoan atau ketaksuban terhadap dirinya sendiri dan hatinya tawadhuk kepada Allah s.w.t, maka dia akan melihat Allah s.w.t yang menyelamatkan lalat dan Dia juga yang menyelamatkan manusia itu. Ambillah iktibar dari amal yang kecil-kecil dan dipandang remeh dalam membentuk amal yang besar-besar dan dipandang penting, supaya kamu tidak melihat kepada amal ketika beramal.
Nilai sesuatu amal terletak pada ikhlas yang mengiringi amal tersebut dan ikhlas melepaskannya. Biasa terjadi seseorang itu ikhlas ketika berbuat kebaikan tetapi keikhlasan itu terusik kemudiannya. Kebanyakan manusia enggan melepaskan perbuatan baik yang telah mereka lakukan. Mereka suka mengingati dan menyebut kebaikan tersebut. Perbuatan demikian boleh membawa seseorang jatuh ke dalam samaah, yaitu menceritakan kebaikan supaya dirinya diakui dan disanjung sebagai seorang yang baik. Samaah menjadi minyak yang memudahkan ria menyala. Apabila ria sudah menyala segala kebaikan yang telah dibuatnya akan terbakar. Apa yang tinggal dalam simpanan akhiratnya hanyalah debu-debu yang tidak berharga. Orang tersebut akan menjadi orang yang memikul peti besi yang besar berisi debu untuk dibukakan di hadapan Tuhan. Mereka gembira di dunia tetapi kehampaan di akhirat.
Orang yang berada dalam suasana asbab perlu menghidupkan ikhlas dan memeliharanya agar tidak dirusakkan oleh ujub, ria dan sama'ah. Ikhlas dihidupkan dengan meniadakan kepentingan diri apabila berhubungan dengan orang lain. Ikhlas dipelihara dengan cara tidak mengikat kebaikan yang dibuat itu sama ada di mulut ataupun di ingatan. Serahkan segala kebaikan yang dibuat kepada Allah s.w.t, tidak perlu kita menyimpan di mulut kita. Ketahuilah, memelihara ikhlas lebih sukar daripada menghidupkan ikhlas. Seseorang hanya perlu berperang sekejap saja dengan nafsunya sebelum berjaya melakukan sesuatu perbuatan dengan ikhlas, tetapi dia perlu berperang dengan nafsunya sepanjang hayatnya untuk memelihara ikhlas yang sudah dilakukannya dahulu.
Walau melalui arah mana pun diperhatikan, persoalannya tetap kembali kepada hati. Hati menjadi medan perebutan kuasa di antara nafsu dengan ikhlas. Modal nafsu adalah kepentingan diri. Nafsu mengingatkan sesuatu yang dia ada kepentingan atau hak padanya telah dilepaskan kepada orang lain. Oleh karena nafsu tidak mati maka ingatannya kepada yang kehilangan itu juga tidak mati. Jihad terhadap nafsu ini berpanjangan. Ikhlas adalah umpama bayi suci yang perlu dipelihara dan dilindungi daripada diterkam oleh harimau nafsu.
Cara menundukkan harimau nafsu adalah jangan memberinya makan. Makanannya adalah cerita mengenai haknya yang telah terlepas ke tangan orang lain. Racun bagi harimau nafsu adalah cerita mengenai kebaikan Tuhan yang membagikan nikmat yang tidak terhingga kepada makhluk-Nya. Penetapan hak Allah atau Allah jualah Pemilik sebenar, akan melindungi bayi suci daripada musuh-musuh yang mau mencederakannya.
62–64: WIRID DAN WARID
62 - SESUNGGUHNYA WIRID MENDATANGKAN KEPADA KAMU WARID SUPAYA KAMU MENDEKAT DAN MASUK KE HADRAT ALLAH S.W.T.
63 - WIRID MENDATANGKAN KEPADA KAMU WARID SUPAYA KAMU TERSELAMAT DARI KEKUASAAN DEBU-DEBU DUNIA DAN SUPAYA KAMU MERDEKA DARI PERBUDAKAN MATA BENDA DAN SYAHWAT KEDUNIAAN.
64 - WIRID MENDATANGKAN KEPADA KAMU WARID SUPAYA KAMU BEBAS DARI PENJARA WUJUD KAMU DAN MASUK KEPADA SYUHUD (PENYAKSIAN).
Tidak mungkin bayi suci yang lahir dalam hati dapat dipelihara dan dilindungi dengan kekuatan dan kepandaian seseorang manusia itu. Manusia berhajat kepada Allah s.w.t untuk memelihara dan melindunginya. Hanya kurniaan Allah s.w.t yang mendatangi hati seseorang hamba itu yang mampu menjadi tentera menjaga khazanah kebaikan yang ada dalam hati. Kurniaan Allah s.w.t itu hanya menetap jika suasana hati sesuai untuknya. Allah s.w.t berkuasa mencabut semulai apa juga kurniaan-Nya kepada hamba-Nya. Kesalihan telah dicabut daripada Azazil sehingga dia menjadi iblis. Kesalihan juga telah dicabut daripada Bal’am bin Ba’ura sehingga dia hidup di hutan separti hewan. Siapa yang menyangka kebaikan dan kelebihan yang ada padanya sebagai hak mutlaknya, lupa dia kepada kurniaan Allah s.w.t dan kekuasaan-Nya, sesungguhnya orang itu menanti masa untuk menerima kemurkaan Allah s.w.t. Sekiranya Allah s.w.t mengasihani seseorang hamba itu Dia akan meletakkan sesuatu kelemahan pada hamba tersebut.
Kelemahan itu senantiasa membayanginya untuk memperingatkannya tentang tarafnya sebagai hamba Tuhan yang senantiasa berhajat kepada-Nya. Nabi Muhammad s.a.w dihadapkan dengan kelemahan dalam membuat bapa saudara baginda s.a.w, Abu Talib, mengucapkan dua kalimah syahadah. Nabi Nuh a.s dihadapkan dengan kelemahan dalam memujuk isteri dan anak supaya ikut menaiki kapalnya. Orang kaya dihadapkan dengan penyakit yang hartanya tidak mampu mengobatinya. Orang yang diberi kebolehan dihadapkan dengan kelemahan mendapatkan sesuatu yang sangat diingininya. Setiap orang berdiri dengan kelemahan yang tidak mungkin dia mengatasinya, kecuali dengan izin Allah s.w.t. Hal yang demikian menjadi rahmat yang memelihara kehambaan pada seseorang hamba itu.
Hikmat-hikmat di atas menceritakan tentang persiapan hati untuk menerima kedatangan kurniaan Allah s.w.t. Persiapan hati itu dinamakan wirid dan kurniaan Allah s.w.t dinamakan warid.
Aurad atau wirid adalah amal ibadat yang dilakukan secara berterusan menurut satu pola yang tertentu. Orang yang mengamalkan wirid akan melakukan jenis ibadat yang serupa pada tiap-tiap hari. Jika satu-satu amalannya tidak dapat dilakukannya pada masa yang biasa dia melakukannya karena sesuatu halangan yang tidak dapat dielakkannya, maka dia akan melakukan amalan yang tartinggal itu pada masa lain. Apabila seseorang sudah beramal secara demikian dengan teguh, maka dia dikatakan beramal secara aurad atau wirid. Amal ibadat yang dilakukan dengan banyak hanya pada hari-hari tertentu dan tidak dilakukan dengan banyak pada hari-hari lain tidak dinamakan wirid.
Wirid yang terbaik adalah yang menggabungkan sembahyang, puasa dan zikir, separti yang diamalkan oleh Rasulullah s.a.w semasa hidup baginda s.a.w. Wirid yang diamalkan oleh Rasulullah s.a.w diikuti oleh para sahabat. Dari para sahabat amalan ini berkembang kepada generasi-generasi kemudian hinggalah ke hari ini. Guru-guru yang arif kemudiannya menyusun wirid-wirid yang boleh diamalkan oleh murid-murid mereka mengikut derajat rohani mereka. Murid yang tekun mengamalkan wirid yang ditalkinkan oleh gurunya berkemungkinan didatangi oleh warid.
Warid adalah pengalaman rohani yang dikurniakan Allah s.w.t kepada hati murid yang mengekali wirid. Selain dinamakan warid, ia juga dipanggil dengan nama-nama lain separti hal, pengalaman hakikat, waridah, Nur Ilahi, Sir dan lain-lain, menurut istilah tasawuf . Banyaknya istilah yang digunakan adalah karena sukarnya mau menceritakan tentang apa yang sebenar berlaku pada hati seseorang yang menerima kurniaan Allah s.w.t. Nur atau warid yang datang kepada hati seorang murid tidak sama dengan yang lain. Masa kedatangannya juga tidak serupa, walaupun murid-murid tersebut mengamalkan wirid yang serupa. Ada murid yang cepat mendapat warid dan ada yang lambat bahkan ada juga yang tidak pernah memperolehinya. Tempuh warid menetap di dalam hati juga tidak serupa. Ada yang memperolehi warid hanya sekadar beberapa minit saja, kemudian ia menghilang. Ada yang bertahan selama satu minggu, sebulan, setahun dan sebagainya. Keadaan tidak menentu itu terjadi karena murid belum mencapai keteguhan atau istiqamah. Warid yang menetap hingga menjadi sifat murid itu dinamakan wisal dan dia akan hidup berterusan dengan wisal yang menyerap pada dirinya, hingga ke akhir hayatnya.
Seorang murid atau salik perlulah bersungguh-sungguh mengamalkan wirid atau aurad bagi menyucikan hati agar hati itu berada dalam keadaan yang sesuai dan layak menerima kedatangan warid atau Nur Ilahi. Wirid adalah amalan untuk mempersiapkan diri, bukan wirid itu yang mengangkat seseorang ke Hadrat Allah s.w.t, bukan wirid yang mendatangkan warid. Warid adalah semata-mata kurniaan Allah s.w.t, tetapi hanya hati yang sesuai saja yang boleh menanggung kedatangannya, separti juga wahyu yang merupakan kurniaan Allah s.w.t namun, hanya hati nabi-nabi yang boleh menerima kedatangannya. Apabila seseorang itu menerima kedatangan warid itu tandanya Allah s.w.t berkenan membawanya hampir dengan-Nya. Warid yang diterima oleh hati itu menarik hati kepada Allah s.w.t dengan mengeluarkannya dari penjara dunia dan syaitan. Kekuatan dunia, hawa nafsu, syaitan dan mata benda tidak dapat menyekat hati yang berjalan dengan warid karena warid itu adalah tarikan langsung dari Allah s.w.t, bahkan orang yang menerima warid itu sendiri tidak dapat menujung berlakunya kesan warid ke atas dirinya. Tarikan langsung dari Allah s.w.t mengelurkan hati nurani dari penjara wujud dan masuk ke dalam tauhid yang hakiki, menyaksikan (syuhud) dengan mata hatinya akan keesaan Allah s.w.t.
Orang yang hatinya didatangi warid akan mengalami perubahan yang luar biasa. Jiwanya akan merasa tenang dan fikirannya tidak lagi kusut-masai. Dia dapat merasakan kelazatan beribadat dan berzikir. Warid yang masuk ke dalam hati menghancurkan sifat-sifat yang keji dan melahirkan sifat-sifat yang terpuji.
Warid yang diterima oleh hati melahirkan beberapa jenis perasaan. Hati mungkin merasa gembira dan mungkin juga merasa sayu bila menerima kedatangan warid. Warid dalam suasana gembira adalah tajalli Allah s.w.t kepada hamba-Nya dengan sifat Jamal (keindahan). Warid yang melahirkan rasa sedih dan kecut hati adalah tajalli Allah s.w.t dengan sifat Jalal (kebesaran). Orang yang mengalami suasana sifat keindahan Allah s.w.t akan merasai kedamaian, ketenangan, keseronokan, kelazatan dan sangat membagiakan. Pengalaman rohani tersebut membuatnya mengenali Allah s.w.t sebagai Tuhan Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Lemah-lembut, Maha Pengampun dan sifat-sifat lain yang menyenangkan. Apabila hati rohani mengalami sifat-sifat keagungan dan keperkasaan Allah s.w.t maka akan terasa kecut hatinya, menggeletar tubuhnya dan mungkin dia jatuh pingsan. Pengalaman begini membuatnya mengenali Allah s.w.t sebagai Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Keras, Maha Tegas, Maha Hebat seksaan-Nya dan tidak ada sesuatu yang terlepas dari genggaman-Nya.
Pengalaman warid adalah umpama Mikraj (tangga) untuk mencapai Allah s.w.t. Warid peringkat pertama menggerakkan hati supaya rajin beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Warid peringkat kedua memutuskan si hamba dari pergantungan kepada makhluk dan membulatkan semangatnya untuk berpegang kepada Allah s.w.t semata-mata. Warid peringkat ke tiga melepaskan si hamba dari sifat-sifat kemanusiaan dan seterusnya bebas dari kewujudan yang terbatas lalu masuk kepada Wujud Mutlak yang tiada batas. Kesadarannya tidak ada lagi pada dirinya dan alam maujud seluruhnya, yang ada hanya Allah s.w.t Yang Maha Esa lagi Maha Berdiri Dengan Sendiri.
65–67: NUR, MATA HATI DAN HATI
65 - NUR-NUR ILAHI ADALAH KENDARAAN HATI DAN RAHASIA HATI.
66 - NUR ITU IALAH TENTERA HATI, SEBAGAIMANA KEGELAPAN ADALAH TENTERA NAFSU. JIKA ALLAH S.W.T MAU MENOLONG HAMBA-NYA MAKA DIBANTU DENGAN TENTERA ANWAR (NUR-NUR) DAN DIHENTIKAN BEKALAN KEGELAPAN.
67 - NUR ITU BAGINYA MENERANGI (MEMBUKA TUTUPAN), MATA HATI ITU BAGINYA MENGHAKIMKAN DAN HATI ITU BAGINYA MENGHADAP ATAU MEMBELAKANG.
Allah s.w.t hanya boleh dikenal jika Dia sendiri mau Dia dikenali. Jika Dia mau memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka hati hamba itu akan dipersiapkan dengan mengurniakannya warid. Hati hamba diterangi dengan Nur-Nya. Tidak mungkin mencapai Allah s.w.t tanpa dorongan yang kuat dari Nur-Nya. Nur-Nya adalah kendaraan bagi hati untuk sampai ke Hadrat-Nya. Hati adalah umpama badan dan roh adalah nyawanya. Roh pula berkait dengan Allah s.w.t dan perkaitan itu dinamakan as-Sir (Rahasia). Roh menjadi nyawa kepada hati dan Sir menjadi nyawa kepada roh. Boleh juga dikatakan bahwa hakikat kepada hati adalah roh dan hakikat kepada roh adalah Sir. Sir atau Rahasia yang sampai kepada Allah s.w.t dan Sir yang masuk ke Hadrat-Nya. Sir yang mengenal Allah s.w.t. Sir adalah hakikat kepada sekalian yang maujud.
Nur Ilahi menerangi hati, roh dan Sir. Nur Ilahi membuka bidang hakikat-hakikat. Amal dan ilmu tidak mampu menyingkap rahasia hakikat-hakikat. Nur Ilahi yang berperanan menyingkap tabir hakikat. Orang yang mengambil hakikat dari buku-buku atau dari ucapan orang lain, bukanlah hakikat sebenar yang ditemuinya, tetapi hanyalah sangkaan dan khayalan semata-mata. Jika mau mencapai hakikat perlulah mengamalkan wirid sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti sambil terus juga berwirid. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki warid akan didatangkan-Nya kepada hati yang asyik dengan wirid itu. Itulah kejayaan yang besar boleh dicapai oleh seseorang hamba semasa hidupnya di dunia ini.
Alam ini pada hakikatnya adalah gelap. Alam menjadi terang karena ada kenyataan Allah s.w.t padanya. Misalkan kita berdiri di atas puncak sebuah bukit pada waktu malam yang gelap gelita. Apa yang dapat dilihat hanyalah kegelapan. Apabila hari siang, matahari menyinarkan sinarnya, kelihatanlah tumbuh-tumbuhan dan hewan yang menghuni bukit itu. Kewujudan di atas bukit itu menjadi nyata karena diterangi oleh cahaya matahari. Cahaya menzahirkan kewujudan dan gelap pula membungkusnya. Jika kegelapan hanya sedikit maka kewujudan kelihatan samar. Sekiranya kegelapan itu tebal maka kewujudan tidak kelihatan lagi. Hanya cahaya yang dapat menzahirkan kewujudan, karena cahaya dapat menujuu kegelapan.
Jika cahaya matahari dapat menujuu kegelapan yang menutupi benda-benda alam yang nyata, maka cahaya Nur Ilahi pula dapat menujuu kegelapan yang menutup hakikat-hakikat yang ghaib. Mata di kepala melihat benda-benda alam dan mata hati melihat kepada hakikat-hakikat. Banyaknya benda alam yang dilihat oleh mata karena banyaknya cermin yang membalikkan cahaya matahari, sedangkan cahaya hanya satu jenis saja dan datangnya dari matahari yang satu jua. Begitu juga halnya pandangan mata hati. Mata hati melihat banyaknya hakikat karena banyaknya cermin hakikat yang membalikkan cahaya Nur Ilahi, sedangkan Nur Ilahi datangnya dari nur yang satu yang bersumberkan Zat Yang Maha Esa.
Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah daripada kebenaran. Hatilah yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup. Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran tetapi adalah untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang benderang bagi melihat kebenaran yang sememangnya tersedia ada, bukan mencari kebenaran baru. Cahayalah yang menerangi atau membuka tutupan hati. Nur Ilahi adalah cahaya yang menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan serta membawanya menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli.
Apabila Nur Ilahi sudah membuka tutupan dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati dapat memandang kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata. Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh hati bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya. Pengetahuan yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur Ilahi dinamakan ilmu laduni atau ilmu yang diterima dari Allah s.w.t secara langsung. Kekuatan ilmu yang diperolehi bergantung kepada kekuatan hati menerima cahaya Nur Ilahi.
Murid yang masih pada peringkat permulaian hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Nur Ilahi yang diperolehinya tidak begitu terang. Oleh itu ilmu laduni yang diperolehinya masih belum mencapai peringkat yang halus-halus. Pada tahap ini hati boleh mengalami kekeliruan. Kadang-kadang hati menghadap kepada yang kurang benar dengan membelakangkan yang lebih benar. Orang yang pada peringkat ini perlu mendapatkan penjelasan daripada ahli makrifat yang lebih arif. Apabila hatinya semakin bersih cahaya Nur Ilahi semakin bersinar meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas. Lalu hatinya menghadap kepada yang lebih benar, sehinggalah dia menemui kebenaran hakiki.
68 & 69: KETAATAN ADALAH KURNIAAN ALLAH S.W.T
68 - JANGANLAH KETAATAN KAMU KEPADA ALLAH S.W.T MENGGEMBIRAKAN KAMU KARENA KAMU MELIHAT TELAH MELAKSANAKANNYA, TETAPI GEMBIRALAH KARENA MELIHAT KETAATAN ITU DATANG DARI ALLAH S.W.T KEPADA KAMU. UCAPKANLAH:
“DENGAN SEBAB KURNIA ALLAH S.W.T KEPADA HAMBA-NYA, MAKA DENGAN DEMIKIAN ITULAH MEREKA PATUT BERGEMBIRA, ITU LEBIH BAIK DARI APA YANG MEREKA KUMPULKAN”.
69 - DILARANG KEPADA ORANG YANG MASIH BERJALAN MENUJU ALLAH S.W.T DAN ORANG YANG TELAH SAMPAI KEPADA-NYA DARI MELIHAT KEPADA AMAL PERBUATAN MEREKA DAN AHWAL YANG MEREKA BERADA DI DALAMNYA. ORANG YANG MASIH DALAM PERJALANAN BELUM MENCAPAI KETEGUHAN BENAR BERSAMA-SAMA ALLAH S.W.T DALAM AMAL DAN AHWAL. ADA PUN ORANG YANG TELAH SAMPAI, TELAH DILENYAPKAN ALLAH S.W.T KESADARANNYA KE DALAM PENYAKSIAN (MELIHAT-NYA), TIDAK LAGI MELIHAT KEPADA AMAL DAN AHWAL.
Hikmat 67 menguraikan, hatilah yang menghadap atau membelakang, berdasarkan kedudukan kerohanian seseorang. Hati yang baru keluar dari selimut kegelapan dan masuk kepadanya cahaya Nur Ilahi akan melahirkan sikap gemar melakukan ketaatan kepada Allah s.w.t. Kalau dahulu dia memaksa dirinya untuk beribadat, kini dia merasa mudah untuk beribadat dan tidak merasa berat walaupun banyak ibadat yang dilakukannya. Perubahan yang berlaku ini disadarinya dan dia sangat bergembira dengan perubahan tersebut. Kadang-kadang dia membandingkan amal kebaikannya dengan amal kebaikan orang lain yang masih hanyut dalam kelalaian. Bertambah ketara kepadanya akan kekuatan dia melakukan ibadat. Bertambah pula kegembiraannya. Lahirnya perasaan demikian adalah karena kuat azamnya untuk berjuang membuang sifat-sifat tercela dan menghidupkan sifat-sifat terpuji. Apabila dia melihat sifat-sifat terpuji sudah menghiasi dirinya timbullah kegembiraannya karena usahanya telah mengeluarkan hasil yang baik. Beginilah kesan yang muncul pada orang yang bersandar kepada usaha dan amalnya. Inilah yang selalu berlaku kepada orang yang masih diperingkat permulaian, sebelum hatinya mencapai kematangan.
Orang yang bersandar kepada usaha dan amalnya tidak dapat maju dalam bidang kerohanian. Jika dia mau maju dalam perjalanannya dia hendaklah mengubah haluan pandangannya. Dia tidak boleh lagi memandang dari amal kepada Allah s.w.t, sebaliknya dia hendaklah memandang dari Allah s.w.t kepada amal. Dia tidak seharusnya melihat amal sebagai kendaraan yang membawanya menuju Allah s.w.t, sebaliknya dia seharusnya melihat amal itu adalah tarikan dari Allah s.w.t agar dia dapat menuju kepada-Nya. Dia tidak seharusnya merasa gembira melihat amalnya membawanya hampir dengan Allah s.w.t, karena penglihatan begini mengandungi tipu daya. Dia hendaklah melihat Allah s.w.t saja yang bartindak membawanya hampir dengan-Nya. Amal yang lahir daripadanya adalah kurniaan Allah s.w.t sebagai tanda bahwa dia dipersiapkan untuk bertemu dengan Tuhannya. Inilah seharusnya membuat dia bergembira. Allah s.w.t memberi peringatan tentang perkara ini dengan firman-Nya:
Katakanlah (wahai Muhammad): “Dengan kurnia Allah dan dengan rahmat-Nya, maka dengan demikian seyogialah mereka bersukacita. Itulah yang lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan”. ( Ayat 58 : Surah Yunus )
“Dan jika tidaklah karena limpah kurnia Allah dan belas kasihan-Nya kepada kamu, tentulah kamu (terbabas) menurut syaitan kecuali sedikit saja (yaitu orang-orang yang teguh imannya dan luas ilmunya di antara kamu).” ( Ayat 83 : Surah an-Nisaa’ )
Ayat di atas mengajak kita melihat bahwa diri kita tidak mempunyai sebarang daya dan upaya. Tidak bergerak sebesar zarah pun melainkan dengan izin Allah s.w.t. Segala-galanya datang dari Allah s.w.t. Allah s.w.t saja yang menciptakan segala sesuatu termasuklah amal kebaikan yang kita lakukan. Kita sendiri tidak mampu melakukan perbuatan baik itu. Apa juga kebaikan yang muncul dari kita adalah kurniaan Allah s.w.t kepada kita. Amal kebaikan itu adalah rahmat dari Allah s.w.t, bukan hasil usaha kita. Jadi, kita sepatutnya bergembira menerima rahmat-Nya tidak bergembira melihat diri kita berbuat kebaikan.
Satu lagi tipu daya yang halus yang sering mengganggu perjalanan seorang murid adalah keinginan untuk mengetahui makam yang telah dicapainya. Dia suka mengintai-intai dirinya. Dia bertanya pada dirinya apakah hatinya sudah suci bersih, apakah dia sudah mencapai martabat wali Allah, apakah dia sudah menjadi Insan Kamil, apakah dia sudah mencapai makam bersatu dengan Allah s.w.t, apakah sudah ada kekeramatan pada dirinya dan lain-lain derajat kerohanian. Perkara yang separti ini boleh mengganggu perjalanan kerohanian karena ia menjuruskan perhatian kepada diri sendiri dan menambahkan kekebalan hijab diri dan semakin menutup mata hati dari melihat kepada Allah s.w.t. Selagi dia ‘menghidupkan’ dirinya dalam kesadarannya selagi itulah dia tidak dapat masuk ke Hadrat Allah s.w.t.
Orang yang mau mencapai Allah s.w.t hendaklah terlebih dahulu mencapai makam benar bersama-sama Allah s.w.t dalam amal dan ahwalnya. Hatinya senantiasa teguh bersama-sama Allah s.w.t, bukan bersama-sama dirinya, amalnya dan kedudukan kerohaniannya. Maksud dan tujuan hanyalah Allah s.w.t. Amal dan ahwal bukanlah tujuan tetapi hanya alat untuk menuju kepada tujuan. Orang yang telah sampai kepada matlamat memperolehi kedudukan benar bersama Allah s.w.t. Akal, nafsu dan hati berada dalam suasana harmoni. Apabila akal dan nafsu tidak lagi menghijab, maka mata hatinya menjadi celik dan dia masuk kepada penyaksian. Hatinya menyaksikan amal kebaikan yang keluar daripadanya adalah kurniaan Allah s.w.t, maka dia lenyap dalam perbuatan, takdir atau perlakuan Allah s.w.t. Dia tidak lagi melihat kepada amal tersebut. Ahwal adalah tajalli Allah s.w.t kepada hamba-Nya. Apabila Allah s.w.t bertajalli, segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya. Kesadaran si hamba hilang dalam penyaksian hakiki mata hati. Pandangan yang hakiki tidak memperlihatkan amal dan ahwalnya. Dia hanya menyaksikan Allah s.w.t Yang Maha Esa.
70–72: TAMAK MELAHIRKAN KEHINAAN
70 - TIDAKLAH PANJANG DAHAN KEHINAAN MELAINKAN YANG TUMBUH DARI BENIH TAMAK.
71 - TIADA SESUATU YANG DAPAT MENGHERET KAMU SEBAGAIMANA PAHAM (SYAK WASANGKA ATAU ANGAN-ANGAN).
72 - KAMU MERDEKA DARI SESUATU YANG KAMU TIDAK MEMPUNYAI HAJAT KEPADANYA DAN KAMU ADALAH HAMBA BAGI SESUATU YANG KAMU TAMAK KEPADANYA.
Bidang latihan kerohanian menekankan soal menyerah diri kepada Allah s.w.t. Orang yang maju dalam bidang tersebut adalah orang yang memisahkan dirinya dari pengaruh duniawi dan makhluk sekaliannya, hatinya hanya terikat dengan Allah s.w.t. Latihan kerohanian mendidik hati agar berpisah daripada diri sendiri yaitu berpisah dengan kehendak diri sendiri, cita-cita, angan-angan dan fikiran lalu masuk ke dalam penguasaan Iradat Allah s.w.t. Orang yang dikuasai oleh Iradat Allah s.w.t tidak mempunyai kehendak melainkan keinginan mau menghampirkan diri kepada Allah s.w.t, maksud dan tujuan hanyalah Allah s.w.t, fikiran dan renungan hanya kepada Allah s.w.t, tidak ada lagi kekuatan yang tertuju kepada selain Allah s.w.t.
Jika seseorang murid menghadapi kesukaran untuk berserah diri dan bergantung kepada Allah s.w.t, susah pula melepaskan keinginannya serta menghilangkan gambar-gambar benda alam dari hatinya, maka periksalah hati itu pasti akan ditemui bahwa hati itu menghidapi penyakit tamak atau loba. Tamak diibaratkan sebagai benih yang menumbuhkan pokok kehinaan. Dahan-dahan kehinaan akan menjalar dan terhulur ke sana ke mari. Penyakit tamak akan mengikis perasaan malu dan menghapuskan maruah diri dan memakaikan pakaian kehinaan kepada orang yang berkenaan.
Dia menjadi hina pada pandangan makhluk dan lebih buruk lagi kedudukannya di sisi Allah s.w.t. Dia umpama anjing yang lidahnya senantiasa terjulur melihat apa yang ada di dalam tangan orang lain. Si anjing tidak memperdulikan apakah dia dimaki, dihalau atau dipukul asalkan dia boleh dapat apa yang dia mau. Si tamak melihat seolah-olah rezeki yang diperuntukkan kepadanya tidak ada sempadan, sementara rezeki yang diperuntukkan kepada orang lain masuk ke dalam sempadan rezekinya, sebab itu menjadi haknya untuk mengambil apa yang masuk ke dalam sempadannya. Si tamak tidak memperdulikan bagaimana dia mendapatkan apa yang dia hajati, apakah dengan menadah tangan, memujuk rayu, menipu atau memaksa.
Tamak timbul dari paham yaitu syak wasangka atau ragu-ragu dengan rezeki yang dijamin oleh Allah s.w.t. Allah s.w.t menjaminkan rezeki kepada sekalian makhluk-Nya dan sebagai timbal balasnya hamba pula diberi tanggungjawab (Hikmat 5). Orang yang ragu-ragu terhadap jaminan Allah s.w.t mengabaikan kewajiban yang diamanatkan kepadanya dan rajin mencari apa yang dijamin untuknya sehingga menceroboh sempadan yang menjadi jaminan untuk orang lain. Inilah yang terjadi pada orang tamak. Bagaimana boleh dia menghampiri Allah s.w.t jika amanat yang diserahkan kepadanya diabaikannya dan tanggungjawab yang dipikulkan kepadanya dicampakkannya. Dia merasa ragu-ragu untuk menggunakan masa bersama-sama Allah s.w.t, bimbang rezeki yang dijamin tidak akan sampai kepadanya. Lantaran itu dia meninggalkan peluang bersama-sama Allah s.w.t karena mengejar apa yang dia tamakkan. Orang ini memilih harta Allah s.w.t daripada Allah s.w.t yang menguasai harta itu.
Tamak dan sangkaan tidak berpisah. Orang tamak dihela ke sana ke mari oleh sangkaannya untuk mengejar kebendaan. Dia tidak sadar yang dia sudah menjadi hamba kepada benda, dan orang yang boleh mendatangkan benda itu kepadanya dapat menguasi dirinya itu. Tetapi, dia menyangka dialah yang menguasai benda dan orang tadi, padahal dia tunduk kepada benda dan orang yang menguasai pemilikan benda itu. Sekiranya seorang raja dikuasai oleh perasaan tamak, akan wujudlah kerajaan di belakang tabir yang menguasai takhta dan pemerintahan secara tidak langsung. Jika menteri kabinet dikuasai oleh perasaan tamak, akan wujudlah kabinet bayangan yang mempengaruhi keputusan menteri tadi. Kekuasaan, pangkat dan harta tidak memerdekakan seseorang yang tamak Dia hanya boleh merdeka jika dia membuang sifat ini. Apabila tidak ada lagi keinginannya untuk memiliki apa yang berada di dalam tangan orang lain, barulah dia bebas berjalan menuju Allah s.w.t. Dia sudah terlepas daripada sauh yang menariknya ke bawah.
“Allah s.w.t memberi ancaman yang keras kepada mereka yang tamak.”
“Sesungguhnya manusia tidak bersyukur akan nikmat Tuhannya; Dan sesungguhnya ia (dengan bawaannya) menerangkan dengan jelas keadaan yang demikian; Dan sesungguhnya ia melampau sangat sayangkan harta (secara tamak haloba). (Patutkah ia bersikap demikian?) Tidakkah ia mau mengetahui (bagaimana keadaan) ketika dibongkarkan segala yang ada dalam kubur? Dan dikumpulkan serta didedahkan segala yang terpendam dalam dada? Sesungguhnya Tuhan mereka, Maha Mengetahui dengan mendalam tentang (balasan yang diberikan-Nya kepada) mereka - pada hari itu.” ( Ayat 6 – 11 : Surah al- ‘Aadiyaat )
"Dan sebaliknya apabila ia diuji oleh Tuhannya, dengan di sempitkan rezekinya, (ia tidak bersabar bahkan ia resah gelisah) serta merepek dengan katanya: “Tuhanku telah menghinakan saya!” Janganlah demikian, (sebenarnya kata-kata kamu itu salah). Bahkan (perbuatan kamu wahai orang-orang yang hidup mewah, lebih salah lagi karena) kamu tidak memuliakan anak yatim, (malah kamu menahan apa yang ia berhak menerimanya); dan kamu tidak menggalakkan untuk memberi makanan (yang berhak diterima oleh) orang miskin; - Dan kamu senantiasa makan harta pusaka secara rakus (dengan tidak membedakan halal haramnya), Serta kamu pula sayangkan harta secara tamak haloba! Jangan sekali-kali bersikap demikian! (Sebenarnya) apabila bumi (dihancurkan segala yang ada di atasnya dan) diratakan serata-ratanya, Dan (perintah) Tuhanmu pun datang, sedang malaikat berbaris-baris (siap sedia menjalankan perintah), Serta diperlihatkan neraka Jahannam pada hari itu, (maka) pada saat itu manusia akan ingat (hendak berlaku baik), dan bagaimana ingatan itu akan berguna lagi kepadanya?” ( Ayat 16 – 23 : Surah al-Fajr )
73: NIKMAT DAN BALA ADALAH JALAN MENDEKATI ALLAH S.W.T.
SIAPA YANG ENGGAN MENGHADAP ALLAH S.W.T DENGAN KEHALUSAN KURNIA-NYA AKAN DIHERET (UNTUK MENGHADAP-NYA) DENGAN RANTAI UJIAN BALA.
Sekiranya Allah s.w.t telah menentukan seseorang hamba-Nya itu sampai kepada-Nya, sudah pasti si hamba itu akan sampai kepada-Nya. Hamba tadi akan dibawa menghadap Allah s.w.t melalui dua cara.
Pertama adalah secara lemah-lembut. Diberi-Nya nikmat, dibukakan jalan untuk taat dan dipermudahkan perjalanannya hingga dia sampai kepada Allah s.w.t. Orang begini sesuai untuk menerima pujukan. Ada pula orang yang tidak endah bila dipujuk. Cara kedua sesuai untuknya. Cara kedua adalah cara paksaan. Allah s.w.t memutuskan apa saja yang mengikat hamba-Nya tadi. Si hamba itu telah menjadi enggan berjalan menuju kepada Allah s.w.t karena dia diikat oleh berbagai-bagai perkara separti harta, kekuasaan, perniagaan dan sebagainya.
Selagi perkara-perkara itu mengikatnya selagi itulah dia tidak dapat berjalan kepada Allah s.w.t. Allah s.w.t yang mengasihani hamba tadi, memutuskan semua ikatan tersebut dengan cara mendatangkan ujian bala kepadanya. Ujian bala memisahkan si hamba dari apa jua yang menjadi penghalang antaranya dengan Allah s.w.t. Kemudian ujian bala membentuk hati agar dia berputus asa dari apa yang telah terpisah daripadanya. Bila dia tidak berhajat lagi kepada makhluk, barulah dia dibawa menghadap Allah s.w.t. Dia sudah boleh berjalan menuju Allah s.w.t karena beban berat di atas bahunya sudah terbuang. Kakinya merasa ringan untuk melangkah, fikirannya tenang dan jiwanya tenteram. Hatinya dapat bermunajat kepada Allah s.w.t dengan khusyuk karena tidak ada lagi gangguan duniawi dan mata benda. Begitulah dua jalan yang disediakan oleh Allah s.w.t untuk membawa hamba-hamba-Nya kepada-Nya. Allah s.w.t berfirman:
“Dan kepada Allah jualah sekalian makhluk yang ada di langit dan di bumi tunduk menurut, sampai dengan sukarela atau dengan terpaksa; dan (demikian juga) bayang-bayang mereka; pada waktu pagi dan petang.” ( Ayat 15 : Surah ar-Ra’d )
Walau jalan mana pun yang ditempuh oleh seseorang hamba itu, Allah s.w.t menantinya dengan keampunan, rahmat dan kasih sayang-Nya. Si hamba dibawa hampir dengan-Nya dan dikurniakan berbagai-bagai nikmat yang menggembirakan sehingga mereka tidak merasa rugi lantaran berpisah daripada kesenangan duniawi.
Ujian menjadi batu pengasah untuk menggilap iman seseorang. Ada orang diuji dengan rezeki, ditaburkan rezeki kepadanya atau disempitkan. Keluasan rezeki membentuk kesyukuran dan kesempitan membentuk kesabaran. Jiwa yang dicanai oleh kesyukuran dan kesabaran akan menimbulkan rasa penyerahan dan pergantungan yang kuat kepada Allah s.w.t. Keluasan rezeki membuatnya mengenali Allah s.w.t Yang Maha Baik, Maha Pemurah. Kesempitan rezeki membuatnya mengenali Allah s.w.t Yang Maha Keras, Maha Perkasa. Pada kedua-duanya dia mengenali Allah s.w.t yang menujuu takdir demi takdir dengan penuh hikmat kebijaksanaan.
“(Mengapa mereka bersikap demikian?) dan mengapa mereka tidak melihat (dengan hati mereka) bahwa Allah memewahkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya (sebagai cobaan adakah orang itu bersyukur atau sebaliknya), dan Ia juga yang menyempitkannya (sebagai ujian sampai diterima dengan sabar atau tidak)? Sesungguhnya hal yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang membuktikan kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” ( Ayat 37 : Surah ar-Ruum )
Orang yang beriman dengan Allah s.w.t dan takdir-Nya akan mendapat pimpinan-Nya. Allah s.w.t berkuasa membalikkan hati-hati. Dipimpin-Nya hati orang yang beriman agar menghadap kepada-Nya. Orang yang dipimpin-Nya akan merasa mudah untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Kehalusan pimpinan-Nya itu membuat hamba mengenali kekuasaan-Nya pada membalikkan hati yang keras menjadi lembut dan yang malas beribadat menjadi rajin.
“Tidak ada kesusahan (atau bala bencana) yang menimpa (seseorang) melainkan dengan izin Allah; dan siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memimpin hatinya (untuk menerima apa yang telah berlaku itu dengan tenang dan sabar); dan (ingatlah), Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.” ( Ayat 11 : Surah at-Taghaabun )
Orang-orang yang beriman akan senantiasa diuji karena ujian itu membawa berbagai-bagai ganjaran, nikmat dan kurniaan dari Allah s.w.t. Kekuatan amal ibadat tidak berdaya mengangkat derajat seseorang hamba, lalu Allah s.w.t hantarkan ujian dan melalui ujian itulah hamba-Nya dipersucikan dan diangkat derajatnya. Dalam melakukan yang demikian, Allah s.w.t kenakan ujian kepada hamba-Nya melalui perkara-perkara yang hampir dengan hamba itu, separti harta dan keluarga.
“Sesungguhnya hartabenda kamu dan anak-anak kamu itu hanyalah menjadi ujian; dan di sisi Allah jualah pahala yang besar.” ( Ayat 15 : Surah at-Taghaabun )
Ujian menjadi pengasing, mengasingkan hati yang beriman dengan hati yang kufur. Dalam medan ujian itu banyak manusia disesatkan oleh iblis karena hati mereka diselimuti oleh keraguan. Orang yang beriman dapat bertahan menghadapi gelombang ujian itu, malah ujian menambahkan kekuatan iman. Keupayaan mengekalkan iman di dalam mengharungi lautan ujian membuat hamba menginsafi bahwa sebenarnya Allah jua yang memelihara imannya itu, bukan kekuatan dirinya.
“Dan sesungguhnya iblis telah dapati sangkaannya tepat terhadap mereka, yaitu mereka menurutnya, kecuali sebagian dari orang-orang yang beriman (yang tidak terpedaya dengan hasutannya). Dan sememangnya tiadalah bagi iblis sebarang kuasa untuk menyesatkan mereka, melainkan untuk menjadi ujian bagi melahirkan pengetahuan Kami tentang siapakah yang benar-benar beriman kepada hari akhirat dan siapa pula yang ragu-ragu terhadapnya. Dan (ingatlah) Tuhanmu senantiasa mengawal serta mengawasi tiap-tiap suatu.” ( Ayat 20 & 21 : Surah Saba’ )
“Hamba yang dipelihara oleh Allah s.w.t itulah yang akan menemui kejayaan di dunia dan di akhirat.”
74: SYUKUR MENGIKAT NIKMAT
BARANGSIAPA TIDAK MENSYUKURI NIKMAT BERMAKNA MEMBUKA JALAN UNTUK KEHILANGAN NIKMAT ITU. DAN BARANGSIAPA BERSYUKUR MAKA SESUNGGUHNYA DIA MENGADAKAN PENGIKAT BAGI NIKMAT YANG DIPEROLEHINYA.
Biasanya kita takrifkan nikmat sebagai harta benda atau sesuatu yang menyenangkan. Kejadian dan keadaan yang selasai juga dianggap sebagai nikmat. Harta yang banyak adalah nikmat. Tubuh badan yang sehat adalah nikmat. Rupa yang cantik adalah nikmat. Suara yang merdu adalah nikmat. Betulkah semua itu nikmat? Jika harta menjadi nikmat tentu saja orang yang mempunyai harta yang banyak akan lebih tenteram jiwanya. Jika kesehatan adalah nikmat tentu orang yang sehat tubuh badannya akan merasa bagia. Jika wajah yang cantik dan suara yang merdu adalah nikmat tentu mereka yang memilikinya mendapat kepuasan. Tetapi, apa yang berlaku adalah sebaliknya. Orang yang berharta masih juga merasa miskin hingga mereka merasa perlu melakukan rasuah.
Orang yang memiliki tubuh badan yang sehat masih tidak senang dengan tubuh badannya. Orang yang memiliki wajah yang cantik dan suara yang merdu masih tidak merasa senang dengan kecantikan wajah dan kemerduan suara yang dimiliki oleh orang lain. Anehnya pula orang yang tidak berharta, tubuh sering dihinggapi penyakit, wajah tidak cantik dan suara tidak merdu, boleh hidup dengan aman, bagia dan tenteram. Golongan yang memiliki segala-galanya tidak merasakan kenikmatan sedangkan golongan yang tidak memiliki apa-apa pula yang merasakan kenikmatan hidup ini. Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah nikmat?
Jika kita mau memahami maksud nikmat, kita perlu memahami perjalanan hukum sebab musabab yang sampai kepada kita. Kita melihat beberapa orang menerima benda yang serupa dan menghadapi keadaan yang serupa tetapi keadaan jiwa mereka tidak serupa. Ada orang yang terus menerus merungut walau sebanyak mana harta yang diterimanya. Ada orang yang terus menerus berkeluh-kesah walaupun keadaan yang menguntungkan mendatanginya. Ada pula orang yang senantiasa tenteram walaupun tidak didatangi harta. Namun, dia tetap tenteram walaupun didatangi keadaan cemas atau kesusahan. Jika kita renungkan dengan mendalam kita dapat merasakan bahwa apa yang mendatangi kita adalah alat, sementara sesuatu yang datang bersama-sama alat itulah yang menimbulkan nikmat ataupun sebaliknya. Alat yang datang mungkin serupa tetapi sesuatu yang ikut serta itu tidak serupa. Mata benda dan kejadian hanyalah kendaraan yang membawa utusan, dan utusan inilah yang mencetuskan kebagiaan atau keresahan. Utusan inilah yang perlu disingkap untuk mengenali nikmat atau celaka.
Secara umumnya sebab musabab turun mengenai manusia melalui tiga saluran. Saluran pertama dinamakan saluran dosa. Apa saja yang turun melalui saluran ini menjadi hukuman terhadap dosa-dosa yang telah dilakukan, semuanya memberi tekanan kepada jiwa. Pemilikan harta yang banyak tidak memberi kepuasan kepadanya. Pemilikan isteri yang cantik tidak menyejukkan pandangannya. Tidak ada nikmat yang turun melalui saluran ini. Semuanya membawa tekanan kepada jiwa sebagai balasan kepada dosa-dosa yang telah dilakukan. Jika perkara-perkara yang seharusnya menyenangkan separti memiliki harta yang banyak dan isteri yang cantik masih memberi tekanan kepada jiwa, apa lagi pada perkara-perkara yang dipanggil bala bencana, tentu saja lebih menekan jiwa orang berkenaan. Juru iring atau utusan yang bartindak pada saluran ini adalah syaitan. Syaitan adalah sahabat kepada orang yang berdosa. Syaitan adalah utusan yang buruk, busuk dan keji. Walau apa pun yang turun melalui saluran ini bau busuk syaitan itulah yang diterima oleh hati. Oleh sebab itu hati tidak dapat merasakan kenikmatan, ketenteraman dan kepuasan.
Saluran kedua dinamakan saluran pembersihan. Apa saja yang turun melalui saluran ini berperanan untuk menyucikan hati. Utusan-utusan yang turun melalui saluran ini berganti-ganti antara yang baik dengan yang buruk. Utusan yang buruk berfungsi sebagai menghukum hati akibat sisa-sisa dosa yang masih melekat pada dindingnya. Utusan yang baik pula berperanan menyucikan dinding hati yang telah ditinggalkan oleh kekotoran dosa. Sebab musabab yang turun melalui saluran ini pada peringkat permulaiannya bercampur-campur di antara yang menggembirakan dengan yang menekankan. Tekanan dan kedelapangan yang berganti-ganti itu melahirkan kesabaran pada hati orang berkenaan. Bila hati sudah bersih sepenuhnya daripada dosa, maka hanya proses pembersihan yang berlaku, tidak ada lagi hukuman. Pada peringkat ini hanya utusan yang baik-baik membawa sebab musabab kepadanya. Utusan yang baik-baik itu adalah para malaikat yang membawa perintah Allah s.w.t. Bila tidak ada lagi gangguan dari utusan yang kotor hati dapat memperteguhkan kesabarannya.
Saluran ke tiga dinamakan saluran peningkatan derajat. Hati yang sudah menerima hukuman dosa dan telah pula menjalani proses penyucian, layak untuk dibawa naik kepada Allah s.w.t. Sebab musabab yang turun melalui saluran ini berperanan membawa hamba hampir dengan Tuhannya. Semua perkara yang datang dibawa oleh utusan yang baik-baik, dipelihara agar tidak diganggu oleh golongan kotor dan ditapis terlebih dahulu supaya yang dibawa itu tidak memudaratkan penerimanya. Oleh itu tidak ada sebarang tekanan dan kekeliruan pada hati yang berada di dalam saluran ini. Hati sudah melepasi peringkat sabar dan masuk ke dalam rido. Walau bala bencana yang besar turun melalui saluran ini namun, hati tidak sedikit pun terusik, keridoan sejati terhadap ketentuan Allah s.w.t menguasainya. Bala bencana itu dirasakan oleh hati sebagai nikmat.
Begitulah tiga saluran turunnya hukum sebab musabab yang menentukan nikmat atau celaka kepada hati yang menerimanya. Ada satu lagi saluran yang khusus bagi orang yang dipilih khusus oleh Allah s.w.t. Orang yang pada peringkat ini sudah selamat dari paham sebab musabab dan tidak lagi melihat kepada sebab musabab. Penglihatan mata hatinya berpindah dari melihat kepada perjalanan sebab musabab kepada memerhatikan perbuatan Allah s.w.t. Allah s.w.t tidak tunduk kepada hukum sebab musabab di dalam menentukan keputusan-Nya dan Dia tidak memerlukan sebab untuk berbuat sesuatu yang dikehendaki-Nya. Penglihatan orang pada peringkat ini hanya tertumpu kepada Allah s.w.t, baik dalam kenikmatan mau pun dalam menghadapi malapetaka. Bila Allah s.w.t menjadi terang benderang, niscaya putuslah segala hukum sebab musabab, dan apabila Allah s.w.t dapat dilihat dengan penyaksian hakiki mata hati niscaya putuslah segala nisbah.
“Dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut fikiranku sendiri.” ( Ayat 82 : Surah al-Kahfi )
Begitulah ucapan Nabi Khaidir a.s menceritakan kepada Nabi Musa a.s tentang perbuatannya menebuk perahu, membunuh kanak-kanak dan mendirikan pagar tanpa alasan yang terang. Inilah makam yang dinyatakan oleh ayat:
“Maka bukanlah kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah jualah yang menyebabkan pembunuhan mereka. Dan bukanlah engkau (wahai Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, akan tetapi Allah jualah yang melempar (untuk membinasakan orang-orang kafir).” ( Ayat 17 : Surah al-Anfaal )
Seorang murid yang masih dalam peringkat pembersihan masih lagi melihat kepada sebab musabab dan perjalanan hukum sebab musabab yang sampai kepadanya adalah melalui saluran yang kedua. Dia masih dalam perjuangan, sabar menghadapi bencana dan sabar dalam kesenangan. Dalam menghadapi bencana dia bersabar agar tidak bergoncang imannya dan dalam menghadapi kesenangan dia bersabar agar tidak terjatuh ke dalam kelalaian. Sabar begini menunjukkan dia bersyukur lantaran Allah s.w.t meletakkannya di dalam saluran yang mempunyai utusan yang baik-baik yang membawa nikmat. Dia melihat bahwa sabar itu sendiri adalah nikmat yang mesti disyukuri. Jika dia tidak bersyukur dengan kesabaran yang dikurniakan kepadanya itu dia akan jatuh ke dalam saluran yang pertama di mana apa jua yang sampai kepadanya menjadi bala yang mencengkam jiwa.
75: KURNIAAN YANG MENJADI ISTIDRAJ
TAKUTLAH KAMU TERHADAP KURNIAAN ALLAH S.W.T YANG SELALU KAMU PEROLEHI SEDANGKAN KAMU MELANGGAR PERINTAH-NYA, JANGAN SAMPAI KURNIAAN ITU SEMATA-MATA ISTIDRAJ. (FIRMAN ALLAH S.W.T DALAM SURAH AL-A’RAF, AYAT 182): KAMI AKAN BINASAKAN MEREKA PERLAHAN-LAHAN DENGAN JALAN YANG MEREKA TIDAK SADAR.
Orang kafir, musyrik, ahli maksiat, orang zalim dan lain-lain seumpama mereka, dalam kehidupan dunia ini selalu mendapat berbagai-bagai kemewahan. Merekalah yang memiliki sebagian besar kekayaan dunia. Mereka juga memiliki ilmu pengetahuan yang menjadikan mereka kuasa besar di dunia. Mereka juga menguasai bidang-bidang sukan, muzik, kesenian dan lain-lain. Kumpulan manusia yang beriman pula terdiri daripada mereka yang lemah, tidak berpendidikan tinggi dan berkedudukan rendah dalam masyarakat. Kemewahan dan kesenangan yang dimiliki oleh mereka yang tidak beriman dan ahli maksiat mempesonakan sebagian orang-orang Islam yang lemah imam.
Mereka tidak dapat membedakan kurniaan yang mengandungi nikmat dan kurniaan yang telah dicabut nikmat daripadanya. Hikmat 75 ini menguraikan perkara berkaitan kurniaan yang tidak mengandungi nikmat, yang dinamakan istidraj. Istidraj bermakna kurniaan yang dihulur terus menerus kepada ahli maksiat. Kurniaan yang separti ini membuat ahli maksiat bertambah lalai dan bertambah derhaka kepada Allah s.w.t. Apabila kelalaian dan kedurhakaan mereka telah melampaui batas maka Allah s.w.t mendatangkan bala yang besar kepada mereka. Mereka adalah umpama orang yang diangkat ke tempat yang tinggi sambil mereka menganggap pengangkatan itu sebagai satu kemuliaan namun, setelah mereka berada di tempat yang tinggi itu mereka dicampakkan ke bawah. Kejatuhan yang demikian memberi kesakitan yang lebih kuat. Allah s.w.t berfirman:
“Kemudian apabila mereka melupakan apa yang telah diperingatkan mereka dengannya, Kami bukakan kepada mereka pintu-pintu segala kemewahan dan kesenangan, sehingga apabila mereka bergembira dan bersukaria dengan segala nikmat yang diberikan kepada mereka, Kami timpakan mereka secara mengejut (dengan bala bencana yang membinasakan), maka mereka pun berputus asa (dari mendapat sebarang pertolongan).” ( Ayat 44 : Surah al-An’aam )
Ayat di atas memberi peringatan kepada kita agar jangan terpedaya dengan kurniaan yang terus menerus kita perolehi sedangkan kita terus juga tidak berbuat taat kepada Allah s.w.t, sebaliknya kita asyik dengan kemaksiatan. Sekiranya kurniaan itu turun melalui saluran istidraj, kesudahannya kita akan mengalami kejatuhan dan penderitaan yang amat sangat. Waspadalah!
Allah s.w.t senantiasa mengirimkan peringatan untuk mengajak manusia kembali ke jalan-Nya. Biasanya peringatan yang datang itu membawa bersama-samanya kesusahan yang menekan jiwa manusia agar manusia insaf dan mau kembali kepada Allah s.w.t dengan merendahkan diri. Di dalam tempuh kemelaratan itu biasanya manusia menjadi insaf dan suka berbakti pada jalan Allah s.w.t. Kemudian Allah s.w.t gantikan kemelaratan dengan kesenangan sebagai ujian untuk mengasingkan yang benar-benar insaf daripada yang pura-pura. Bila kesenangan sudah dirasai kembali orang yang tidak teguh imannya akan kembali kepada kemaksiatan dan kemunkaran.
Mereka memberi alasan bahwa kesenangan dan kesusahan adalah lumrah kehidupan sebagaimana yang pernah dirasai oleh nenek moyang mereka yang dahulu, bukan berkait dengan soal beriman atau tidak seseorang itu kepada Allah s.w.t. Mereka kembali lalai dalam arus kesenangan dunia. Ketika mereka sedang asyik leka itulah Tuhan datangkan kebinasaan kepada mereka.
Dan Kami tidak mengutus dalam sesebuah negeri seorang nabi (yang didustakan oleh penduduknya), melainkan Kami timpakan mereka dengan kesusahan (kesempitan hidup) dan penderitaan (penyakit), supaya mereka tunduk merendah diri (insaf). Setelah (mereka tidak juga insaf) Kami gantikan kesusahan itu dengan kesenangan hingga mereka kembang biak (serta senang-lenang) dan berkata (dengan angkuhnya): “Sesungguhnya nenek moyang kita juga pernah merasai kesusahan dan kesenangan (sebagaimana yang kita rasakan)”. Lalu Kami timpakan mereka (dengan azab seksa) secara mengejut, dan mereka tidak menyadarinya. ( Ayat 94 & 95 : Surah al-A’raaf )
Apabila seksaan dan kebinasaan dari Allah s.w.t datang, tidak ada siapa dapat menujungnya dan tidak ada siapa mampu menanggungnya. Orang yang menerimanya menjadi bingung, tidak tahu berbuat apa-apa.
“(Mereka tidak diberitahu akan masa itu) bahkan (yang dijanjikan) itu akan datang kepada mereka secara mengejut, serta terus membingungkan mereka; maka mereka tidak akan terdaya menolaknya, dan tidak akan diberi tempuh bertaubat.” ( Ayat 40 : Surah al-Anbiyaa’ )
Sudah banyak kaum-kaum yang dibinasakan Allah s.w.t melalui saluran istidraj. Firaun dan Namrud diberi tempuh yang panjang hidup di dalam kesenangan, kemewahan dan keseronokan. Kemudian Tuhan datangkan azab dengan tiba-tiba. Firaun dibinasakan di dalam laut dan Namrud dibinasakan oleh nyamuk. Qarun juga binasa ketika asyik dengan kekayaan. Begitu juga dengan kaum-kaum Nabi-nabi Nuh dan Luth.
Orang-orang yang beriman senantiasa mengawasi diri mereka agar kesenangan dan kemewahan tidak melalaikan mereka yang boleh menyebabkan mereka jatuh ke dalam suasana istidraj.
76: MURID YANG TERPEDAYA
SEBAHAGIAN DARI KEJAHILAN MURID IALAH : BURUK ADABNYA TETAPI BALASAN KE ATASNYA DIPERLAMBATKAN LALU DIA MENYANGKA SEKIRANYA ADABNYA ADALAH JELIK TENTU ALLAH S.W.T SUDAH MEMUTUSKAN BANTUAN DAN PASTI DIA AKAN DIJAUHKAN. KETAHUILAH! ADAKALANYA KURNIAAN TELAH DIPUTUSKAN TETAPI SI MURID TIDAK MENYADARINYA. SEKIRANYA TIDAK ADA KURNIAAN BARU ITU PUN MERUPAKAN PUTUS BANTUAN. ADA KALANYA DIA SUDAH DIJAUHKAN TETAPI DIA TIDAK MENYADARINYA, MESKIPUN HANYA DIJAUHKAN DENGAN CARA MEMBIARKANNYA MENURUT SANGKAANNYA.
Hikmat 75 menceritakan tentang istidraj yang dialami oleh orang yang lalai daripada peringatan Allah s.w.t, Hikmat 76 ini pula mengingatkan murid yang berjalan pada jalan kerohanian supaya gejala istidraj itu tidak menimpanya ketika dalam perjalanan. Bagi orang awam tidak bersyukur dengan kurniaan Allah s.w.t boleh menyebabkan tersingkirnya rasa nikmat yang mengiringi kurniaan itu. Bagi orang Mukmin di samping bersyukur adalah penting baginya memelihara adab sopan bersama-sama Allah s.w.t. Mungkin saranan supaya beradab sopan bersama-sama Allah s.w.t bunyinya janggal bagi orang awam, tetapi bagi mereka yang mendekati Allah s.w.t, mereka dapat merasakan kehadiran Allah s.w.t pada setiap masa dan di mana saja. Apabila seseorang itu meyakini bahwa Allah s.w.t senantiasa bersama-samanya walau di mana dia berada, Allah s.w.t mendengar pertuturannya dan bisikan hatinya maka dia berkewajiban memelihara adab sopan sebagai hamba yang berdiri di hadapan Tuannya. Bertambah hampir seseorang dengan Allah s.w.t bertambah pula tuntutan adab sopan ke atasnya. Perjalanan menuju Allah s.w.t bukanlah perjalanan mencari kemuliaan sama ada kemuliaan duniawi atau ukhrawi.
Perjalanan ini adalah tindakan menghinakan diri di hadapan Allah s.w.t, karena hina, lemah dan jahil adalah sifat makhluk, hanya Allah jua Yang Mulia, Yang Berkuasa dan Yang Mengetahui. Sekalian makhluk berkehendak kepada-Nya dan Dia Maha Kaya, tidak berkehendak kepada sesuatu apa pun.
Adab sopan yang paling utama dijaga adalah yang menyentuh keyakinan bahwa Allah s.w.t adalah Tuhan sekalian alam, Maha Bijaksana dan Maha Mengarti dalam urusan menkehendak dan menguruskan penghidupan sekalian makhluk yang dicipta-Nya. Seorang hamba hendaklah yakin kepada kebijaksanaan Tuannya. Terserah kepada Tuannya memilih layanan yang hendak diberikan kepada si hamba itu.
Ibrahim bin Adham telah menceritakan kisah beliau membeli seorang hamba. Berikut adalah percakapannya dengan hamba yang dibelinya itu:
Ibrahim: “ Siapakah nama kamu?”
Hamba : “ Panggil saja dengan nama apa yang tuan suka”.
Ibrahim : “ Apa yang kamu ingin makan?”
Hamba : “ Apa saja makanan yang tuan beri”.
Ibrahim : “ Apakah pakaian yang kamu perlukan?”
Hamba : “ Apa saja pakaian yang tuan mau berikan”.
Ibrahim : “ Apa pekerjaan yang kamu hendak buat?”
Hamba : “ Apa saja pekerjaan yang tuan perintahkan”.
Ibrahim : “ Apakah kehendak kamu?”
Hamba : “Apa kehendak tuan itulah kehendak hamba Seorang hamba tidak berkehendak kecuali apa yang dikehendaki oleh tuannya”.
Ibrahim bin Adham berfikir, sekiranya dia hamba Allah s.w.t tentu dia menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Beginilah adab sopan seorang hamba Allah s.w.t dengan Allah s.w.t. Seorang yang mengaku sebagai hamba Allah s.w.t tidak seharusnya membeberkan hajat keperluannya. Bukankah Allah Maha Mengarti dalam mengatur keperluan hamba-Nya. Seorang hamba berdiri di hadapan Tuannya tanpa mengemukakan tuntutan, tanpa sebarang kehendak, cita-cita dan alasan. Rido dengan perlakuan Tuannya itulah sifat hamba yang sejati.
Seorang murid yang sedang dalam perjalanan masih belum teguh sifat ridonya terhadap takdir Allah s.w.t, lantaran itu dia cenderung untuk membeberkan hajatnya kepada Allah s.w.t, seolah-olah Allah s.w.t tidak melihat keadaannya. Banyaklah permintaannya kepada Allah s.w.t. Dia mungkin meminta Allah s.w.t melepaskannya dari sesuatu yang tidak disenanginya tanpa berfikir bahwa yang tidak disenanginya itu mungkin mendatangkan kebaikan baginya. Dia mungkin meminta didekatkan kepada Allah s.w.t karena dia merasakan dia sudah layak didekatkan. Dia mungkin meminta kekeramatan agar orang banyak mengakui kebenarannya. Tuntutan-tuntutan yang demikian menunjukkan tiada sopan santun seorang hamba kepada Tuannya, yaitu Allah s.w.t yang sempurna pengartian-Nya dan sempurna pembagian-Nya.
Walaupun si hamba itu telah tidak bersopan di hadapan Allah s.w.t, mungkin dia tidak dihukumkan dengan serta-merta. Ini membuat si hamba tadi menyangka bahwa tiada salah pada adabnya. Ini menandakan kejahilannya.. Dia tidak sadar bahwa kurang beradab sopan itu sudah merupakan balasan terhadapnya. Lebih buruk lagi dia tidak dikurniakan pengalaman kerohanian yang lebih mendalam. Apabila dia memutuskan penyerahan terhadap Allah s.w.t, putus juga perjalanannya mendekati Allah s.w.t. Tetapi dia masih menyangkakan yang dia terus mendekati Allah s.w.t. Apabila dia dibiarkan menurut sangkaannya itu bermakna dia dijauhkan tanpa dia menyadarinya. Begitulah hebatnya akibat tidak menjaga adab sopan dengan Allah s.w.t. Jika seorang murid tidak mau putus kesopanannya dengan Allah s.w.t maka hendaklah dia mendekati Allah s.w.t dengan kesabaran. Pintu kesabaran adalah pintu yang paling hampir untuk masuk ke Hadrat Allah s.w.t. Senjata yang paling kuat mempertajamkan kesabaran ialah ucapan:
“ Wahai Tuhanku. Engkau berbuat sesuatu sebagaimana Engkau kehendaki”.
Dalam perkara adab sopan bersama-sama Allah s.w.t ini termasuk juga adab sopan terhadap Rasul-rasul-Nya, Malaikat-malaikat-Nya dan Kitab-kitab-Nya. Imam as-Syafi’e dalam menguraikan Hadis yang bermaksud “Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri niscaya dipotong tangannya”, dibaca oleh Imam as-Syafi’e, “Sekiranya perempuan yang mulia anak kepada lelaki yang mulia itu mencuri niscaya dipotong tangannya”. Begitulah halusnya sopan santun Imam as-Syafi’e, sehingga beliau enggan menyebut ibarat yang boleh menunjukkan kecacatan terhadap Rasulullah s.a.w dan puteri baginda yang mulia itu.
Orang-orang Islam yang beradab sopan tidak memperkaitkan Rasulullah s.a.w dengan Abu Lahab, tidak membesarkan perkara yang tidak elok yang berlaku di Makkah, tidak menyentuh al-Quran tanpa wudhuk, tidak membacanya di tempat membuang air, tidak membuang najis dengan menghadap ke kiblat dan banyak lagi perkara yang termasuk dalam adab sopan beragama yang menjadi kewajiban bagi orang yang mengaku beragama Islam menjaganya. Jangan memandangnya sebagai perkara yang remeh-temeh karena setiap raja mempunyai peraturan atau taman larangan, dan peraturan atau taman larangan Tuhan ialah adab sopan dalam majlis-Nya. Oleh sebab seseorang itu tidak luput dari penglihatan Allah s.w.t walau sejenak pun maka sepanjang masa seseorang itu berada dalam majlis-Nya dan berkewajiban memelihara adab sopan atau peraturan-Nya.
77: JANGAN MEREMEHKAN WIRID YANG LAMBAT KEDATANGAN WARID
JIKA ENGKAU MELIHAT SEORANG HAMBA YANG DITETAPKAN ALLAH S.W.T DALAM MENJAGA WIRIDNYA DI SAMPING BERTERUSAN BANTUAN ALLAH S.W.T, MAKA JANGAN ENGKAU MEREMEHKAN PEMBERIAN ALLAH S.W.T KEPADANYA SEKALIPUN BELUM TERLIHAT PADANYA TANDA ORANG ARIF (AHLI MAKRIFAT) DAN SERI CAHAYA ORANG YANG CINTA KEPADA ALLAH S.W.T (MUHIBBIN), KARENA SEKIRANYA TIDAK ADA WARID TIDAK MUNGKIN ADANYA WIRID.
Wirid dan warid yang telah disentuh pada Hikmat 64 disinggung lagi dalam Hikmat 77 ini. Orang yang berpegang teguh dengan wiridnya menempuh salah satu dari dua jalan. Jalan pertama adalah jalan ahli akhirat dan jalan kedua adalah jalan ahli Allah s.w.t. Ahli akhirat berpegang teguh pada wiridnya sesuai dengan tuntutan syariat karena dia mengharapkan balasan syurga dan dijauhkan dari azab neraka. Mereka berpeluang memperolehi kurniaan Allah s.w.t untuk mencapai makam Mukmin. Orang Mukmin adalah orang yang terjamin syurga baginya. Mereka bukan saja terjamin mendapat syurga di akhirat, bahkan semasa hidup di dunia lagi mereka mendapat berbagai-bagai kurniaan Allah s.w.t separti keberkatan pada usaha dan ketenangan pada jiwa. Orang Mukmin berada dalam makam asbab. Keberkatan yang dikurniakan kepada mereka menyebabkan mereka dapat menjalankan kehidupan mereka mengikut kedudukan asbab tanpa bercanggah dengan syariat. Kejayaan mengharmonikan berbagai-bagai anasir dalam dirinya di bawah payung syariat menyebabkan jiwanya menjadi tenang.
Jalan kedua adalah jalan ahli Allah s.w.t. Orang yang menjalani jalan ini dinamakan salikin, salik, muridin atau murid. Orang salik mengamalkan wirid bukan karena berkehendakkan balasan syurga dan bukan karena mau mengelakkan seksaan neraka. Tujuannya adalah untuk membersihkan hati dan berharap agar Allah s.w.t mengurniakan kepadanya makrifat. Makrifatullah yang dicari bukan syurga yang dituntut. Apabila memperolehi makrifat dia dipanggil orang arif, yaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Seterusnya, kehalusan adab sopannya dan kehalusan kurniaan Allah s.w.t kepadanya menjadikannya orang yang mencintai Allah s.w.t (muhibbin).
Walau jalan mana yang ditempuh, di sana terdapat mereka yang telah berpegang teguh dengan berwirid tetapi tanda-tanda orang yang berjaya sampai ke puncak tidak kelihatan pada mereka. Mereka tidak mendapat kurniaan Allah s.w.t dalam bentuk pengalaman kerohanian yang halus-halus. Tidak ada tanda ahli makrifat dan tidak ada cahaya ahli muhibbin pada mereka. Kemungkinannya mereka dipandang rendah oleh orang lain. Orang banyak menilai pencapaian berdasarkan kepada apa yang nyata, separti pembuktian dengan kekeramatan, mulut asin atau kefasihan menyampaikan ilmu makrifat. Pandangan yang demikian merupakan satu kekeliruan.
Sebenarnya kesanggupan untuk mengekalkan wirid sudah merupakan kurniaan yang besar daripada Allah s.w.t. Sekiranya Allah s.w.t tidak mengurniakan kepadanya keteguhan hati tentu mereka tidak sanggup mengekalkan wirid. Keteguhan hati dalam menjaga wirid adalah warid yang datang dari Allah s.w.t dan tidak semua orang memperolehinya. Oleh yang demikian janganlah meremehkan orang yang teguh menjaga wirid sekalipun tidak kelihatan tanda-tanda kecemerlangan pada mereka.
78: KURNIAAN ALLAH S.W.T YANG MENETAP PADA HAMBA-NYA
SEBAHAGIAN PARA HAMBA DITENTUKAN OLEH ALLAH S.W.T UNTUK BERKHIDMAT KEPADA-NYA DAN ADA PULA SEBAGIAN YANG DIISTIMEWAKAN ALLAH S.W.T DENGAN MENCINTAI-NYA. KEPADA MASING-MASING ITU DIBERIKAN BANTUAN DARI KURNIAAN TUHAN DAN KURNIAAN TUHAN ITU TIDAK TERBATAS.
Para hamba Allah s.w.t yang sampai kepada penghujung perjalanan mereka dikurniakan Allah s.w.t menetap dengan salah satu dari dua hal, yaitu sama ada berkhidmat kepada Allah s.w.t atau fana dalam mencintai-Nya. Para hamba yang ditentukan untuk berkhidmat kepada Allah s.w.t terdiri dari dua golongan. Golongan pertama adalah ahli akhirat yang mencapai makam Mukmin dan golongan kedua adalah ahli Allah s.w.t yang diserapkan oleh hal abid dan zahid. Para Mukmin adalah tentera Allah s.w.t yang berjuang menegakkan syariat Allah s.w.t dengan bersenjatakan sabar. Mereka tidak berhenti-henti berjihad pada jalan Allah s.w.t, menegakkan syariat-Nya dan memerangi hawa nafsu. Ahli jihad tersebut tidak takut mati karena mereka melihat kematian dalam jihad adalah mati syahid dan darahnya digantikan dengan syurga yang maha indah. Para Mukmin, ahli jihad yang teguh dalam kesabaran adalah para hamba yang didekatkan.
Para abid dan zahid pula adalah hamba-hamba yang telah melepasi makam sabar dan masuk kepada makam rido lalu menjadi hamba-hamba pilihan dan dimuliakan. Makam abid dan zahid sangat mulia di sisi Allah s.w.t karena mereka tidak membuat sebarang pekerjaan kecuali beribadat kepada Allah s.w.t, mentaati sekalian perintah-Nya dengan keikhlasan sejati tanpa mengharapkan sebarang balasan. Mereka tidak melihat kepada amal perbuatan mereka tetapi melihat ibadat itu sebagai kurniaan dari Allah s.w.t yang sangat berharga. Semakin banyak amal ibadat yang terdaya mereka lakukan semakin kuatlah kesyukuran mereka. Hati mereka tidak lagi diganggu oleh tarikan dunia dan rangsangan syahwat. Jika para Mukmin biasa diibaratkan sebagai orang yang menanam pokok karena mengetahui pokok tersebut akan mengeluarkan buah yang lazat rasanya, Mukmin yang abid dan zahid pula diibaratkan sebagai orang yang membaja dan menyiram pokok tersebut supaya ia bertambah subur.
Ada pula, dari kalangan Mukmin, Allah s.w.t tentukan untuk mencintai-Nya. Cinta Allah adalah sesuatu yang sangat sulit untuk diuraikan. Terlalu sedikit para hamba yang dipilih untuk memilikinya. Golongan yang sedikit itu adalah anbia dan aulia Allah s.w.t yang agung. Jika mau memahami maksud Cinta Allah, selamilah ucapan mereka yang sedang asyik dalam kecintaan tersebut. Pencinta Allah s.w.t yang paling agung, Nabi Muhammad s.a.w mengucapkan:
“Sekiranya diletakkan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku dengan menyuruh aku menghentikan dakwah yang aku lakukan, niscaya tidak akan aku berhenti, melainkan Allah s.w.t membinasakan saya atau memenangkan saya!”
“Tidak aku hiraukan walaupun sekalian makhluk-Mu memusuhi saya asalkan Engkau tidak murka kepada saya”.
Imbasan Cinta Allah s.w.t hanya dapat dilihat daripada sabda Rasulullah s.a.w dan dari kalangan umat baginda yang dipilih mewarisi Cinta tersebut. Abu Bakar as-Syubli membawa puntung kayu api karena dia mau membakar syurga dan kaabah agar Allah s.w.t dicintai dengan sebenar-benarnya, bukan karena syurga, dan agar manusia benar-benar menghadap Allah s.w.t bukan terhenti pada kaabah. Abu Yazid al-Bustami menasehatkan, “Jika kebajikan yang dikurniakan kepada Adam, kesucian malaikat Jibrail, kemuliaan Ibrahim, rindu dendam Musa dan Cinta Muhammad s.a.w, dikurniakan kepada kamu, janganlah kamu menyukainya karena itu semua adalah hijab.
"Carilah Dia dari Dia saja, maka yang lain itu semuanya kamu punya”.
"Carilah Dia dari Dia saja, maka yang lain itu semuanya kamu punya”.
Cinta Allah s.w.t adalah pengalaman kerohanian yang sangat seni dan aneh. Para hamba yang dikurniakan pengalaman tersebut telah terlebih dahulu melatihkan diri berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka berjuang tanpa henti-henti menentang hawa nafsu dan cita-cita yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Mereka mencarinya dalam ketaatan dan sopan santun terhadap Allah s.w.t. Orang yang mencintai Allah s.w.t ghaib dalam melihat Allah s.w.t hinggakan tidak sadar lagi terhadap apa saja yang selain Allah s.w.t. Fana dia dari dirinya dan sekalian alam maujud. Dia tidak dapat membedakan antara sakit dengan senang, emas dengan tanah kering. Orang yang dikuasai oleh Cinta Allah s.w.t tidak merasa apa-apa walaupun kepalanya dipancung. Abu Mansur al-Hallaj tersenyum dan ketawa bila dia disalib.
Kemudian kaki dan tangannya dipotong, matanya dicungkil, lidahnya dikerat dan akhirnya kepalanya dipancung. Cinta Allah s.w.t yang menguasainya menghilangkan ketakutan dan kesakitan. Bila kakinya dipotong dia menyaksikan kaki rohnya bebas berjalan menuju Tuhannya. Bila tangannya dipotong dia menyaksikan tangan rohnya bebas mencapai Tuhannya. Bila matanya dicungkil dia menyaksikan mata rohnya lebih terang memandang kepada Tuhannya. Bila lidahnya dikerat dia menyaksikan lidah rohnya semakin petah berkata-kata dengan Tuhannya. Bila kepalanya dipancung dia merdeka sepenuhnya untuk ‘bersanding’ dengan Tuhannya.
Jika diselami benar-benar akan didapati bahwa Cinta Allah s.w.t sebenarnya tidak dimiliki oleh siapa pun tetapi Cinta Allah s.w.t itulah yang menawan hati seseorang. Cinta Allah s.w.t itu menguasai bukan dikuasai. Cinta Allah s.w.t menarik seseorang ke dalam kefanaan dari dirinya dan segala-galanya lalu masuk ke dalam tauhid hakiki. Syarat bagi seseorang untuk layak menanggung Cinta Allah s.w.t adalah seandainya semua harta yang ada di dalam perut bumi dikeluarkan dan diberikan kepadanya, dia menolak demi Wajah Allah s.w.t. Hati yang sanggup berbuat demikian layak menerima Cinta Allah s.w.t. Orang yang benar-benar mabuk dalam percintaan tidak ingat akan harta dan dunia.
Golongan pencinta Allah s.w.t adalah tetamu Allah s.w.t yang dimuliakan. Mereka dihidangkan dengan berbagai-bagai hidangan yang tidak pernah dinikmati oleh golongan lain. Merekalah yang merasai buah dari pokok yang ditanam oleh golongan Mukmin dan dijaga oleh golongan abid dan zahid. Daya rasa mereka tidak lagi serupa dengan daya rasa manusia biasa.
Asma binti Abu Bakar as-Siddik tatkala tuanya, mengalami satu peristiwa yang luar biasa. Anaknya, Abdullah, telah dituduh sebagai pemberontak oleh pemerintah pada ketika itu. Abdullah dijatuhkan hukuman bunuh. Mayatnya diheret dari lorong ke lorong selama beberapa hari, dan mayat itu menjadi busuk. Apabila mayat itu diheret di hadapan rumah Asma, yang pada ketika itu sudah tidak boleh melihat, tercium bau yang sangat harum. Asma bertanyakan mayat siapakah yang berbau harum itu. Dia diberitahu yang mayat itu adalah mayat puteranya. Asma mengucapkan syukur kepada Allah s.w.t karena menjadikannya ibu kepada seorang pemuda yang salih.
Para pencinta Allah s.w.t adalah aneh. Mereka bukan lagi dalam kesadaran manusia dan bukan juga dalam kesadaran malaikat. Mereka bukan lagi penghuni dunia dan bukan juga penghuni langit. Mereka adalah tetamu Rumah Allah s.w.t yang tidak ada apa di dalamnya kecuali Allah s.w.t.
79: WARID TERJADI SECARA TIBA-TIBA
TIDAK TERJADI WARID (KURNIAAN) YANG LANGSUNG DARI ALLAH S.W.T KECUALI SECARA MENDADAK SUPAYA TIDAK DIDAKWA OLEH PARA HAMBA BAHWA DIA MENERIMANYA KARENA ADA PERSIAPANNYA.
Allah s.w.t adalah Maha Esa, tidak ada sesuatu bersekutu dengan-Nya. Dia tidak bersekutu dengan amal hamba-Nya, ilmu hamba-Nya, doa hamba-Nya, hajat hamba-Nya, rencana hamba-Nya, persiapan hamba-Nya dan apa saja yang zahir serta yang batin. Allah s.w.t Berdiri Dengan Sendiri, Dia tidak terikat kepada sebab dan akibat. Kurniaan yang besar untuk seseorang hamba-Nya adalah si hamba itu dipertemukan dengan hakikat bahwa Allah s.w.t Maha Berdiri Dengan Sendiri. Pertemuan dengan sifat ini membuat si hamba mengenali akan keesaan Allah s.w.t. Salah satu cara Allah s.w.t memperkenalkan sifat Berdiri-Nya Dengan Sendiri kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan kurniaan-Nya kepada hamba-Nya secara tiba-tiba hingga kurniaan itu tidak boleh disebabkan kepada sesuatu melainkan dinisbahkan kepada Allah s.w.t saja. Allah s.w.t berfirman:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir; dan Yang Zahir serta Yang Batin; dan Dialah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.” ( Ayat 3 : Surah al-Hadiid )
Dia Yang Awal tanpa permulaian, Yang Akhir tanpa kesudahan, Yang Zahir ada kenyataan-Nya pada makhluk dan Yang Batin tersembunyi dari makhluk-Nya. Dia mengetahui amal hamba-Nya sebelum si hamba itu beramal. Dia mengetahui doa hamba-Nya sebelum si hamba itu berdoa. Dia mengetahui ilmu hamba-Nya sebelum si hamba itu berpengetahuan. Bahkan Dia mengetahui gerak dan diam hamba-Nya sebelum si hamba itu diciptakan. Yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin tidak terlepas dari pengetahuan-Nya karena Ilmu-Nya adalah Ilmu Yang Awal, Ilmu Yang Akhir, Ilmu Yang Zahir dan Ilmu Yang Batin. Segala sesuatu itu telah ada dalam Ilmu-Nya dan tetap ada dalam Ilmu-Nya tanpa tertakluk kepada penciptaan makhluk-Nya.
“Tidak ada sesuatu kesusahan (atau bala bencana) yang ditimpakan di bumi, dan tidak juga yang menimpa diri kamu, melainkan telah sedia ada di dalam Kitab (pengetahuan Kami) sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya mengadakan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah s.w.t.” ( Ayat 22 : Surah al-Hadiid )
Tarikan yang langsung dari Allah s.w.t menghela pandangan mata hati daripada benda-benda alam dan kejadian alam kepada Pencipta alam, Pengatur segala urusan. Beginilah Allah s.w.t memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya. Proses ini dinamakan pengalaman hakikat yang menghasilkan makrifat. Ilmu tentang hakikat atau biasanya dipanggil ilmu hakikat, dinamakan juga ilmu Rabbani (ilmu yang dinisbahkan kepada ketuhanan) atau ilmu laduni (ilmu yang diterima secara langsung dari Allah s.w.t), tidak didapati dengan belajar atau dengan beramal. Tidak ada jalan atau persiapan yang memastikan seseorang akan memperolehinya. Ia adalah semata-mata kurniaan dari Allah s.w.t. Hanya Allah s.w.t yang layak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya. Hanya Allah s.w.t yang mengetahui siapakah dari kalangan hamba-hamba-Nya yang layak mengenali-Nya. Hanya Allah s.w.t yang berhak menetapkan bila dan bagaimana Dia harus dikenali.
Bila Allah s.w.t berkehendak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya disampaikan kepada hamba-Nya itu ilmu hakikat, ilmu Rabbani atau ilmu laduni. Tiba-tiba saja Nur Ilahi menerangi hati si hamba itu dan terbukalah mata hatinya untuk syuhud kepada Tuhannya. Hamba itu pun berpengetahuan bahwa Ilmu Allah s.w.t yang sempurna meliputi sejak azali hingga kepada tiada kesudahan. Dia pun berpengetahuan bahwa Allah s.w.t Berdiri Dengan Sendiri, tidak ada sesuatu apa pun yang ikut campur dalam urusan-Nya. Dia pun berpengetahuan tentang keesaan Allah s.w.t. Semakin mendalam makrifatnya semakin luas pula ilmu pengetahuannya, bertambah teguhlah pegangan tauhidnya.
80: TANDA KEJAHILAN AHLI HAKIKAT
JIKA KAMU MELIHAT SESEORANG (AHLI HAKIKAT) MENJAWAB SETIAP PERTANYAAN DAN MENERANGKAN SETIAP PENGLIHATAN (MATA HATI) DAN MENCERITAKAN SETIAP YANG DIKETAHUINYA, MAKA KETAHUILAH BAHWA YANG DEMIKIAN ITU ADALAH TANDA KEJAHILANNYA.
Manusia digesa supaya menggunakan akal fikirannya untuk mengkaji tentang kejadian-kejadian alam maya ciptaan Tuhan Maha Pencipta. Semakin mendalam pengetahuan tentang ciptaan Allah s.w.t, semakin kelihatan kebesaran dan keagungan-Nya. Bertambah pula keinsafan tentang kelemahan yang ada pada diri manusia terutamanya dalam menguraikan hal ketuhanan. Ilmu pengetahuan yang mahir dalam perbahasan tentang makhluk menjadi tidak bermaya apabila mencoba menyingkap Rahasia-rahasia ketuhanan. Bila mengakui akan kejahilan dirinya seseorang itu menyerahkan dirinya dengan beriman kepada Allah s.w.t. Penyerahan ini dinamakan aslim dan orang yang berbuat demikian dinamakan orang Islam. Orang yang beriman tidak membahaskan tentang Allah s.w.t karena mereka mengakui kelemahan akal dalam bidang tersebut.
Bidang yang tidak dapat diterokai oleh akal masih mampu dijangkau oleh hati. Hati yang suci bersih mengeluarkan cahayanya yang dinamakan Nur Kalbu. Nur Kalbu menerangi akal dan bersuluhkan cahaya Nur Kalbu ini, akal dapat menyambung kembali perjalanannya dari ‘stesen’ ia telah berhenti. Perjalanan akal yang diterangi oleh cahaya Nur Kalbu mampu menyingkap perkara-perkara yang ghaib dan beriman dengannya walaupun akal manusia umum menafikannya.
Terdapat perbedaan yang besar antara akal biasa dengan akal yang diterangi oleh nur. Akal biasa beriman kepada Allah s.w.t berdasarkan dalil-dalil yang nyata dan logik. Akal yang beserta nur mampu menyelami di bawah atau di sebalik yang nyata yaitu perkara ghaib, dan beriman kepada Allah s.w.t berdasarkan pengalaman tentang perkara-perkara ghaib. Walaupun perkara ghaib itu tidak dapat diterima oleh akal biasa, tetapi akal yang bersuluhkan nur tidak sedikit pun ragu-ragu terhadapnya. Pengetahuan yang terhasil dari cetusan atau tindakan nur ini dinamakan ilmu hakikat, ilmu ghaib, ilmu Rabbani atau ilmu laduni.
Walau apa pun istilah yang digunakan, ia adalah pengetahuan tentang ketuhanan yang didapati dengan cara mengalami sendiri tentang hal-hal ketuhanan, bukan menurut perkataan orang lain, dan juga bukan menurut sangkaannya sendiri. Hatilah yang mengalami hal-hal tersebut dan pengalaman ini dinamakan pengalaman rasa, zauk atau hakikat. Apa yang dialami oleh hati tidak dapat dilukiskan atau dibahasakan. Lukisan dan bahasa hanya sekadar menggerakkan pemahaman sedangkan hal yang sebenar jauh berbeda. Jika hal pengalaman hati dipegang pada lukisan dan bahasa ibarat, maka seseorang itu akan menjadi keliru. Jika lukisan dan simbol diiktikadkan sebagai hal ketuhanan maka yang demikian adalah kufur!
Pemegang ilmu ghaib terdiri daripada dua golongan. Golongan pertama adalah orang yang terlebih dahulu memasuki bidang pembelajaran tentang tauhid dan latihan penyucian hati menurut tarekat tasawuf. Pembelajaran dan latihan yang mereka lakukan tidak membuka bidang hakikat. Ini membuat mereka mengarti akan nilai dan kedudukan ilmu ghaib yang sukar diperolehi itu. Mereka hanya dapat belajar, melatih diri, kemudian menanti dan terus menanti. Jika Allah s.w.t berkenan maka dikurniakan sinaran nur yang menerangi hati si murid itu. Si murid itu pun mengalami dan berpengetahuan tentang hakikat. Pengetahuan yang diperolehi itu sangat berharga baginya dan dijaganya benar-benar, tidak dibukakannya kepada orang lain karena dia tahu yang orang banyak sukar memahami perkara yang telah dialaminya itu.
Pemegang ilmu ghaib golongan kedua tidak pula melalui proses pembelajaran dan latihan separti golongan pertama. Golongan ini tiba-tiba saja dibukakan hakikat kepada mereka (hanya Allah s.w.t mengetahui mengapa Dia berbuat demikian).
Oleh sebab mereka memperolehinya dengan mudah dan tanpa asas pengetahuan yang kuat, mereka tidak mengetahui nilai sebenar pengetahuan yang mereka perolehi itu. Mereka menyangkanya sebagai ilmu biasa. Lantaran mereka memahaminya mereka menyangka orang lain juga memahaminya. Sebab itu mereka mudah memperkatakan ilmu tersebut di hadapan orang banyak. Oleh sebab ilmu ini tidak dapat diceritakan kecuali dengan ibarat, satu daripada dua kemungkinan akan berlaku. Pertama, lantaran orang banyak melihat latar belakang orang hakikat tadi tidak mempunyai asas agama yang kuat, bukan orang alim, maka mereka menganggapnya pembohong dan pembawa cerita khayal. Kedua, kemungkinan ada orang yang mempercayainya tetapi kepercayaan itu tertuju kepada ibarat bukan kepada yang diibaratkan. Kedua-dua kemungkinan tersebut adalah tidak sehat. Sebab itu dilarang keras memperkatakan tentang ilmu hakikat kepada bukan ahlinya. Orang yang membeberkannya dengan mudah disebut orang jahil yang tidak tahu nilai berlian yang ada padanya.
...bersambung